2. Bibi AA Maramis
Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu.
Maria Walanda Maramis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara di mana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries.
Andries Maramis adalah ayah dari Alexander Andries Maramis yang terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
3. Yatim Piatu Usia 6 Tahun
Maria Walanda Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat.
Paman Maria Walanda Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana.
Maria Walanda Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi.
Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah.
Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maria Walanda Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Maria Walanda Maramis memperoleh ketrampilan dari Pendeta orang Belanda yang tinggal di Maumbi.
"Jadi makam ini bertempat di Maumbi, karena suaminya orang Maumbi. Ibu Maria Walanda Maramis ini orang asli Kema. Ketika lahir sekitar 6 tahun ayah dan ibunya meninggal kemudian diasuh oleh kakak dari ibundanya. Walanda itu marga suaminya," turunan Maria Walanda Maramis, Dra Anatje Maramis, mantan Hukum Tua Desa Maumbi beberapa tahun silam
4. Miliki 4 Anak
Maria Walanda Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890.
Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis.
Mereka mempunyai tiga anak perempuan.
Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta).
Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.
"Setelah dia dewasa menikah dengan suaminya. Kemudian dikaruniai empat orang anak, 3 putri dan 1 putra. Memperoleh ketrampilan dari Pendeta orang Belanda yang tinggal di sini. Ketika meninggal, ia dimakamkan di pekuburan umum desa Maumbi. Gubernur Rantung dicari kemudian dikembalikna ke tempat ini," tutur turunan Maria Walanda Maramis, Dra Anatje Maramis, mantan Hukum Tua Desa Maumbi beberapa waktu lalu.
5. Hak Pilihan Wanita di Minahasa
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad.
Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tetapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya.
Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tetapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan
tersebut.
Usahanya berhasil pada tahun 1921 di mana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
6. Dorongan Bumi Minahasa
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terbagi banyak klan (walak) yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia Belanda.
Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah
kuasa soerang residen.
Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota
lain tumbuh seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Langowan.
7. Mendirikan PIKAT
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang.
Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya.
Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917.
Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling.
Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya
Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969. (Aldiponge/wikipedia/dok.tribunmanado)