TRIBUNMANADO.CO.ID - 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasanya memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan atau emansipasi wanita.
Kartini memang dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia.
Atas keputusan ayahnya, meski dirinya menentang poligami, RA Kartini harus terseret dalam derita poligami dengan menjadi istri ke-4 Bupati Jepara.
Kartini pun harus mengambil jalan lain yaitu menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat.
RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang bernama Adipati Djojoadiningrat saat usianya 24 tahun.
Ia pun menuliskan beberapa surat tentang cinta pada sahabatnya.
Kartini sering berkorespondensi dengan teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Abendanon dan diterbitkan sebagai buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kartini meninggal di usia 25 tahun yakni 17 September 1904, setelah melahirkan seorang anak laki-laki.
Setelah meninggal dunia, Mr JH Abendanon yang merupakan sahabatnya Kartini, mengumpulkan surat-surat yang Kartini kirimkan.
Mr JH Abendanon kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis tot Licht" yang pertama kali diterbitkan pada 1911.
Pada 1922 buku tersebut terbit dalam bahasa melayu yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan Balai Pustaka.
Walanda Menggugat Kartini
Ternyata perjuangan tokoh asal Sulawesi Utara Maria Walanda Maramis dianggap jauh lebih besar dari RA Kartini untuk kemerdekaan kamu perempuan.
Tribun Manado pernah memuat artikel tajuk tamu berjudul "Walanda Menggugat Kartini" tulisan Fotografer, Denny SE Taroreh yang diunggah pada Kamis, 21 April 2016 silam.
Simak tulisan lengkapnya perbandingan perjuangan Maria Walanda Maramis dan RA Kartini di bawah ini: