TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemerintah dan DPR RI menyepakati penghapusan tenaga honorer.
Di Sulut, sejumlah daerah masih mengoleksi honorer dalam jumlah banyak.
Penelusuran Tribun Manado, keberadaan honorer tak lepas dari sisi politik.
Jelang Pilkada, jumlah honorer kian membengkak.
Diduga itu jadi salah satu kiat petahana untuk mendulang suara.
• UNBK Digelar Bulan Maret, Ini Penjelasan Kabid SMK Dinas Pendidikan Sulut
Pun sehabis pilkada, honorer pun membengkak. Diduga itu proses balas jasa terhadap tim sukses.
Keluarga mereka berbondong - bondong masuk honorer.
Kepala Badan Kepegawaian, Pemberdayaan dan Pendidikan (BKPP) Bolmong Umarudin Amba mengakui di pemerintahan sebelumnya banyak honorer yang direkrut secara politis.
"Mereka tak kompeten, akhirnya membebani APBD," katanya.
• Kader BMR Maju di Pilgub 2020? Antara Posisi Wakil Gubernur atau Jabatan Sekprov
Sebut Amba, pihaknya mulai mengurangi tenaga honorer. Dari 1.600 menjadi 500. "Yang tersisa hanyalah cleaning service, penjaga kantor dan Satpol pp," beber dia.
Pengamat politik Taufik Tumbelaka menilai fenomena politik dalam penunjukan tenaga
honorer sulit dipungkiri.
"Ada titip titipan, itu yang terjadi, selalu ada intervensi politik," kata dia.
• Ini Tanggapan BKD Sulut Mengenai Penghapusan Tenaga Honorer
Sebut dia, intervensi politik ini adalah warisan orde baru.
Presiden Soeharto melanggengkan kekuasaannya lewat ABRI, Partai Golkar dan PNS.
"Sekarang ABRI dan Partai Golkar sudah tidak lagi, yang masih nampak adalah PNS," kata dia.
Menurut Taufik, faktor utama dari masalah honorer adalah pemetaan. Pemerintah tak pernah benar benar melakukan pemetaan.
• Para PNS Pendidik Akan Gunakan Atribut Pangkat Juga, Dimulai dari Kepsek