Suap dengan total sebesar Rp900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani disangka melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Harun dan Saeful dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
• Warga Masih Buru Ular Piton, Daripada Kita yang Dimangsa Lebih Baik Kita yang Memangsanya
Dua orang diduga utusan PDIP
Dalam konferensi pers penetapan tersangka, KPK membuka identitas kedua inisial itu, yakni Saeful yang disebut sebagai pihak swasta dan Doni, advokat yang juga caleg PDIP.
Saeful pun telah menjadi tersangka dalam kasus ini.
Sedangkan, Doni hanya menjadi terperiksa setelah giat OTT dilakukan.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan Doni bukannya lolos dari status tersangka.
Ia menyebut tahapan penyidikan terus dikembangkan.
Bisa saja, kata Lili, tersangka bakal bertambah.
"Belum tentu kata-kata lolos atau jangan-jangan lagi ada bertambah. Tinggal di penyidikan nanti dikembangkan," kata Lili di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
Lili mengatakan, Doni berperan mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 peraturan KPU 3 2019 tentang Pemungutan Perhitungan Suara ke Mahkamah Agung.
Pengajuan ini terkait dengan meninggalnya caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas, pada Maret 2019.
PDIP ingin suara Nazarudin, sebagai pemenang pemilu legislatif, masuk kepada Harun Masiku.
Gugatan ini dikabulkan MA pada Juli 2019.