Tjahjo juga menyebutkan, tidak undang-undang yang mengatur ASN yang dilanggar dalam rencana Menag itu. "Saya kira sah-sah saja, kalau pak Menteri Agama mengeluarkan larangan (penggunaan cadar), kemudian diminta untuk berpakaian rapi, bergaya khas Indonesia," katanya.
Jika penggunaan cadar tersebut berkaitan dengan kepercayaann seseorang, maka dipersilakan dipakai sesuai tempatnya. "Kalau anda pegawai kantor, harus (ikuti) kantor punya aturan. Mohon maaf, orang mau bercadar di rumah boleh. Tapi kalau pegawai saya, terus bercadar saya mau lihat, loh saya kan punya aturan dong," sambung Tjahjo.
Politisi PDIP itu pun belum berencana menerapkan pelarangan aturan pelarangan cadar di wilayah KemenPan-RB, mengingat selama ini pegawainya selalu mengikuti aturan yang ada. "Kami lihat sikon dulu, selama ini di KemenPan-RB semua ikuti aturan, orang boleh pakai jilbab, ikuti aturan yang sah," ujar Tjahjo.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyebut ada dua hal yang harus dilihat secara seksama terkait rencana kebijakan Kemenag itu .
• Demi Keamanan, Menag Fachrul Razi Usulkan Larangan Penggunaan Cadar? Berikut Lengkapnya
Pertama, kata Abdul, soal alasan kode etik kepegawaian. Kalau mereka adalah pegawai, maka siapapun harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi.
"Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tapi juga mereka yang berpakaian tidak sopan yang tidak sesuai dengan norma agama, susila, dan budaya bangsa Indonesia," kata Abdul Mu'ti saat dikonfirmasi Tribunnews, Kamis (31/10).
Kedua, Abdul menyebut, dalam ajaran Islam terdapat kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki atau perempuan. Di kalangan ulama terdapat ikhtilaf mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat.
Sebagian besar ulama berpendapat bercadar bukanlah wajib. Perempuan boleh menampakkan muka dan telapak tangan. "Muhammadiyah berpendapat bahwa bercadar tidak wajib. Yang perlu diluruskan adalah pemahaman mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan," jelas Abdul.
Karenanya, ia menyebut, kebijakan Menteri Agama tersebut tidak ada yang salah. "Kebijakan Menteri Agama yang melarang perempuan bercadar tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM. Kebijakan tersebut harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik," jelasnya.
Bikin gaduh
Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan Yaqut Cholil Qoumas meminta Menag Fachrul Rozi untuk terlebih dahulu mempelajari makna radikal dan terorisme. Menurutnya, radikal merupakan sesuatu yang tidak tampak, lebih kepada ajaran atau ideologi.
"Dari pada ngurusin yang tampak mending Menag itu ngurusin yang subtansial aja deh. Karena soal radikalisasi, soal terorisme dan seterusnya itu bukan soal penampakan, bukan apa yang keliatan, tapi ini soal ideologi," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10).
Selain itu, ia menerangkan sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, bangsa dan ras, Indonesia harus menghormati warga yang menggunakan niqab.
"Indonesia kan dimerdekakan salah satunya oleh ras Arab juga. Sah-sah saja dong kalau ada budaya Arab, ada budaya China, Jawa dan lain-lain, sebaiknya saling menghargai. Itu lebih penting," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini.
Sementara Ketua Komisi VIII DPR RI F-PAN Yandri Susanto menyayangkan rencana Menag Fachrul Rozi tersebut. Menurutnya, pernyataan Menag tersebut menimbulkan kegaduhan baru di tengah-tengah masyarakat.
Sebab, tak ada hubungan antara orang berpakai cadar dengan radikalisme.
"Jadi apa yang disampaikan oleh menteri agama saya kira terlalu jauh karena belum ada korelasi yang pasti antara pakaian dan radikal, belum ada penelitiam, belum ada kesimpulan. Ada orang pakai celana rapi pakai, pakaian milenial bisa juga nembak seperti di New Zealand," kata Yandri di DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10).