TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Pundi-pundi penjualan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) terus bertambah. Pendapatan pra penjualan atau marketing sales pengembang properti tersebut telah mendekati Rp 5 triliun.
Marketing sales teranyar diperoleh dari penjualan proyek Citra Garden Puri Jakarta Barat. "Dari proyek ini sekitar Rp 700 miliar," ujar Tulus Santoso, Direktur CTRA, kepada KONTAN (10/10).
• PP Infrastruktur Memacu Proyek Air
Marketing sales CTRA hingga saat ini sudah terkumpul sekitar Rp 4,8 triliun. September lalu CTRA mencatat marketing sales Rp 4,1 triliun.
Tahun ini, CTRA menargetkan perolehan marketing sales sekitar Rp 6 triliun. Artinya, realisasi marketing sales perusahaan ini telah mencapai sekitar 80% dari target.
Peluncuran proyek Citra Garden Puri juga terbilang sukses. CTRA menawarkan sekitar 600 unit rumah. Adapun harga yang ditawarkan mulai dari Rp 900 juta.
Perusahaan ini mencatat, lebih dari 1.000 calon pembeli mengantre. Padahal, proyek ini baru diluncurkan pada pekan terakhir bulan lalu.
Citra Garden Puri dikembangkan di atas lahan seluas 18 hektare (ha). Ini merupakan hunian dengan konsep serviced residence atawa rumah dengan layanan lengkap selayaknya apartemen.
• PAN soal Twit Hanum Rais: Belum Tentu untuk Wiranto
Semula, CTRA berencana menjual proyek tersebut secara bertahap, dimulai dengan penjualan dua klaster atau setara 250 unit rumah terlebih dahulu. Jangka waktu penjualannya direncanakan selama tiga tahun, sebelum akhirnya proyek tersebut laku keras dalam waktu singkat.
Selain proyek itu, CTRA juga terus mengerjakan proyek potensial lainnya. Salah satunya Citra Raya Maja. Saat ini, area yang telah dikembangkan seluas 500 ha dan sekitar 16.000 unit rumah telah terjual.
Adapun total luas lahan di proyek tersebut mencapai 2.600 ha. Saat ini, pengembangannya sudah memasuki tahap kedua. Tahun depan, CTRA akan melanjutkan pengembangan tahap ketiga.
Pinjaman Menanjak, NPF Fintech Ikut Merangkak Naik
Di saat penyaluran pinjaman fintech lending sedang menanjak, ternyata rasio kredit bermasalah juga ikutnaik. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPF fintech di Agustus berada di level 3,06%.
Rasio ini meningkat dibandingkan Juni 2019 di posisi 1,75% maupun di Desember 2018 di level 1,45%. Namun Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyatakan hal ini tidak membahayakan dan cukup logis.
“Bila jumlah peminjaman dan peminjam terus meningkat, masa iya TWP (tingkat wanprestasi pinjaman) nya menurun. Kalau mau ekspansi maka harus berasi ambil risiko,” ujar Hendrikus di Jakarta Kamis (10/10).
Menurut dia, kerugian akan langsung ditanggung oleh pemberi pinjaman (lender). Namun sejak awal para lender juga sudah mengetahui risiko. Terkait perlunya batasan TWP, Hendrikus menyatakan model bisnis fintech ditentukan oleh lender dan borrower.
• PAN soal Twit Hanum Rais: Belum Tentu untuk Wiranto
Lender bebas memilih berinvestasi uang untuk segmen dan penerima pinjaman manapun. Lender juga bebas memilih bunga yang hendak diinginkan, nah bunga ini akan seiring dengan risiko yang akan diterima. “Inilah proses pinjam meminjam yang sangat demokratis. Anda bebas menentukan bunga, peminjam, dan tujuan pengunaan pinjaman,” tutur Hendrikus.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga menilai rasio pinjaman bermasalah yang naik masih dalam batas wajar. “Kami melihat lebih jauh, institusi keuangan yang lebih prudent saja, batas kredit macet 5%. Kalau kami, di bawah itu, jangan dibilang jelek,” ujar Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede di Jakarta pada Kamis (10/10).
Lanjut Ia, fintech memiliki ruang untuk menyasar para masyarakat yang unbankable dan undeserved. Sebab, fintech tidak menggunakan jaminan, hanya mengolah berbagai data sebagai analisis mengukur risiko suatu pinjaman.
“Bukan berarti ini bagus, kami juga terlena. Pelaku akan jaga dan terus meningkatkan mitigasi risiko, agar lender tidak kabur tapi lebih ramai. Tapi ingat prinsip keuangan high expectation return, high risk,” tambah Tumbur. (Maizal Walfajri/Dityasa Hanin Forddanta)