TRIBUNMANADO.CO.ID - Persoalan pelik dihadapi Pemerintah Kota Manado untuk mewujudkan kebersihan kota.
Apalagi status sebagai kota terkotor sudah mencoreng Manado yang berbenah menuju kota pariwisata dunia.
Status kota terkotor tersebut kembali mengemuka di lokakarya Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang diselenggarakan Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulawesi Utara di Hotel Aston, Jalan Sudirman, Wenang, Manado, Rabu (21/8/2019).
Isu diangkat Sergius Agama dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kelurahan Taas.
"Kenyataannya begitu (kotor)," ujar Sergius.
Banyak petugas kebersihan di Kota Manado, tapi yang tertangani hanya sampah di jalan, sementara di selokan dan drainase jadi tempat tertampung sampah.
Sergius menyinggung dulu di Manado ada program yang bernama Jumpa Berlian (Jumat Pagi Bersihkan Lingkungan Anda).
Namun, aksi tersebut belakangan sudah hilang. Ia perlu menyoroti persoalan ini karena saat ini Kota Manado jadi tujuan wisata.
"Kota ini terlihat bersih di jalan raya tapi di selokan?" ungkapnya.
Ia mengambil contoh satu di antara kota di Jawa yang berhasil mengatasi sampah. Di selokan maupun di sungai tak ada sampah.
"Kenapa di Manado tak bisa?" kata dia.
Broery Bangun, Perwakilan Bappeda Kota Manado yang hadir di lokakarya tersebut menyampaikan terima kasih atas isu Manado kota terkotor yang disorot kembali.
Ia menjelaskan, Pemkot Manado sebenarnya sudah menjadikan kebersihan sebagai prioritas pada tahun terakhir ini. Ia mencontohkan dari sisi anggaran.
"Anggaran tahun ini Rp 60 miliar untuk masalah sampah," ungkap dia.
Baca: Sampah sebagai Resonansi Politik Permisif
Baca: Belum Miliki TPA, Warga Jadikan Jalan Tempat Sampah
Ia mencontohkan di Kecamatan Tikala saja ada 100 petugas sampah. Dikalikan gaji Rp 3 juta per bulan, maka ada Rp 300 juta sebulan untuk bayar petugas di satu kecamatan saja.
Belum lagi pengadaan mobil sampah, truk dan motor sampah.
"Ini sudah jor-joran memerangi sampah, jadi prioritas nomor satu wali kota," ujarnya.
Dengan dana yang besar, persoalan sampah yang tak tertangani maksimal menjadi pertanyaan. Broery pun menyinggung perilaku warga.
"Setelah kita evaluasi, ditemukan kita ini tukang buang sampah. Jadi, perilaku masyarakatnya (sehingga Manado kotor)," ungkap dia.
Kata dia, bukan pemandangan langka menyaksikan orang dari mobil enteng saja buang sampah.
"Kenapa buang sampah? Setelah dievaluasi lagi, karena punishment tidak jalan," ungkap dia.
Baca: Satpol PP Manado Jaring 52 Pelanggar Perda Sampah dan Trantib di Taman Kesatuan Bangsa
Baca: Kena OTT, 24 Pelanggar Perda Sampah dan Trantib Ikut Sidang di Tuminting
Ia menyoroti soal aturan peraturan daerah (perda) sampah yang pernah diterapkan.
Para pembuang sampah sembarang disidang dan diberi hukuman. Namun, tindakan ini juga tak menggema lagi.
"Kalau jalan, hanya beberapa kali setahun, setelah itu tak kelihatan lagi," ujarnya.
Ia menyebut penegakan hukum faktor penting untuk memberi efek jera.
Hukuman berlaku untuk orang dewasa, sementara anak-anak diberi pembinaan baik di sekolah maupun di rumah.
TPA Ilo-ilo
Selain beberapa faktor di atas, Kota Manado juga diperhadapkan pada operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo yang sudah tak layak lagi.
Pemkot pun mengambil kebijakan pengelolaan sampah di tiap kecamatan dengan menggunakan insinerator atau alat pembakar sampah sambil menunggu selesainya pembangunan TPA Regional Iloilo di Desa Wori, Minahasa Utara.
Baca: Wali Kota: TPA Bakal Dijadikan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Olahraga
Baca: TPA Iloilo Wori Segera Dibangun Gantikan TPA Sumpompo, Telan Anggaran Ratusan Miliar
Hanya saja, Manado hanya memiliki satu insinerator yang saat ini ditempatkan di Pasar Restorasi Malalayang.
"Alat pembakar sampah tersebut menjadi alat pembakar sampah satu-satunya saat ini di Kota Manado," ujar Wali Kota GS Vicky Lumentut.
Kata Wali Kota, pada 2019 pemkot berencana membeli lima unit insinerator melalui APBD Perubahan.
Selanjutnya, tahun depan akan dianggarkan lagi untuk memenuhi semua jumlah kecamatan di Manado.
Kata Wali Kota, insinerator itu menjadi solusi terbaik sambil menunggu selesainya pembangunan TPA Iloilo di Desa Wori yang merupakan program dari pemerintah provinsi.
"Insinerator yang digunakan juga tidak sembarangan, karena ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Jadi kami menggunakan insinerator yang direkomendasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup," bebernya.
Selain itu, Pemkot Manado juga akan menyiapkan insinerator khusus sampah medis.
"Kalau ada rumah sakit yang belum memiliki insinerator untuk patologi wajib untuk memproses pembakarannya di alat yang akan kami siapkan," ucapnya.
Baca: Gaji Petugas Sampah Belum Dibayar Dua Bulan, Sampah Pun Menumpuk, Ini Tanggapan Wawali
Baca: Sekolah Ini Ubah Mesin Cuci Bekas Jadi Tempat Sampah
Vicky Lumentut juga mengajak peran aktif masyarakat untuk mewujudkan Manado bersih dan sehat.
"Salah satu menekan volume sampah yang akan dibuang ke TPA selain melalui alat pembakaran sampah juga melalui pengelolaan sampah rumah tangga oleh masyarakat secara mandiri," kata dia.
67,78 Ha Daerah Kumuh di Sulut
Dari lokakarya Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), sedikitnya 392,91 haktare ditetapkan sebagai daerah kumuh di Provinsi Sulut.
Masalah daerah kumuh ini coba diatasi dengan program Kotaku.
Teddy Sulangi, Team Leader Program Kotaku Sulut, menyebut, total luasan kumuh yang harus ditangani di Sulawesi Utara berdasarkan surat keputusan wali kota atau bupati.
Sejak dihelat pada 2017 luasan daerah kumuh di Sulut terus menyusut.
"Melalui program Kotaku, hingga tahun 2018 luasan kumuh berkurang sebanyak 325,13 hektare," kata dia kepada tribunmanado.co.id, di sela Lokakarya di Hotel Aston Manado.
Baca: Kawasan Pecinan Kumuh, Vicky Lumentut Ajak Warga Hidupkan Pecinan
Baca: Bantuan Kawasan Kumuh, Untuk Kotobangon Rp 1 Milliar
Lanjut dia, hingga saat ini masih tersisa 67,78 hektare yang harus ditangani.
Dalam program Kotaku ada tujuh aspek dinilai daerah itu kategori kumuh, yakni perumahan/gedung, jalan lingkungan, drainase, air minum, sanitasi, persampahan dan proteksi kebakaran.
Dari 7 aspek ini kemudian kepala daerah mengeluarkan SK terkait luasan kumuh.
Sesuai SK ini, khusus di Kota Manado ada 27 kelurahan kategori kumuh.
Program Kotaku sebelumnya sudah dimulai sejak 2015.
Tim turun melakukan pendataan semisal panjang jalan, darinase, jumlah rumah tangga yang belum ada aksea air minum, dan aspek lainnya.
Pendanaannya pun dimulai 2017. Di Sulut kecipratan Rp 40,1 miliar dibagi ke 7 kabupaten/kota yang memiliki daerah kumuh.
Seiring waktu, luasan daerah kumuh mulai menyusut, kini 2019 anggaran Kotaku tinggal Rp 8 miliar diperuntukkan bagi 4 kabupaten/kota, yakni Kotamobagu, Minahasa, Bitung dan Sangihe.
BERITA POPULER:
Baca: Mahasiswi Ini Jadi Ayam Kampus Setelah Mahkota Direnggut Pacar saat SMA, Sekali Kencan Rp 10 Juta
Baca: VIDEO VIRAL Ustadz dan Pendeta Bertemu, Saling Merangkul dan Bilang Jamaah oh Jamaah Alhamdulillah
Baca: TEROR BOM, Kantor DPP Golkar Dilempari Molotov, Polisi Periksa CCTV, Ini Ciri-ciri Pelaku
Kota Manado tak lagi kecipratan dana Kotaku, tapi berganti plot yang lebih besar yakni Dana Skala Kawasan Rp 25 miliar dengan fokus penataannya di bantaran DAS Tondano.
Teddy mengatakan, penanganan daerah kumuh harus dilakukan dengan keroyokan, tak hanya bertumpu ada program Kotaku saja.
Lewat Lokakarya ini, diundang semua pemangku kepentingan agar ada sinergi semua potensi yang ada kota/kabupaten.
Tujuan dalam rangka penangan dana kumuh, ia mengatakan, misalnya ada dana desa, bisa berkontribusi untuk pengurangan daerah kumuh.
"Kalau hanya Kotaku pasti lambat penanganannya," ujar dia. (*)
Baca: Monyet Liar Seret Bayi 40 Hari saat Ibunya Cuci Popok
Baca: Mike Tyson Habiskan Rp 500 Juta dan 10 Ton Ganja Sebulan
Baca: Siswi Ini Dikeroyok Oleh Tiga Orang Tak Jauh Dari Sekolahnya, Dijambak, Dicekik, Ditendang