BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan Tegaskan Layanan Operasi Katarak dan Faskes di Pelosok Tetap Dijamin
Tujuannya agar seluruh peserta JKN, tanpa terkecuali, bisa mendapatkan layanan yang setara meski tinggal jauh dari kota besar.
TRIBUNMANADO.CO.ID - BPJS Kesehatan memastikan bahwa layanan kesehatan untuk tindakan operasi katarak masih ditanggung sepenuhnya oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Selain itu, BPJS juga menegaskan komitmennya dalam menjamin akses layanan di fasilitas kesehatan (faskes) di daerah terpencil dan pelosok Indonesia.
Kepastian ini disampaikan guna merespons kekhawatiran masyarakat terkait isu berkurangnya cakupan layanan JKN, khususnya untuk operasi katarak yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat lanjut usia.
Baca juga: Kabar Baik, Harga Emas Antam di Pegadaian Tembus Rp 2 Juta per Gram Hari Ini
Di sisi lain, BPJS juga terus memperluas kerja sama dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan lanjutan di berbagai wilayah, termasuk di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Tujuannya agar seluruh peserta JKN, tanpa terkecuali, bisa mendapatkan layanan yang setara meski tinggal jauh dari kota besar.
Langkah ini sejalan dengan misi pemerintah untuk memastikan akses kesehatan merata dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menegaskan bahwa pelayanan kesehatan katarak tetap menjadi bagian dari manfaat yang dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menjelaskan bahwa tidak ada pembatasan layanan katarak selama memenuhi indikasi medis serta tersedia sarana dan prasarana yang memadai di fasilitas kesehatan (faskes).
“Tidak benar jika disebut bahwa BPJS Kesehatan membatasi layanan katarak. Layanan tersebut tetap diberikan kepada peserta sesuai kebutuhan medisnya. Justru kami memastikan pelayanan berjalan dengan tepat sasaran dan efisien,” ujar Rizzky dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (14/6/2025).
Sebagai penyelenggara program JKN, BPJS Kesehatan juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pembiayaan pelayanan kesehatan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.
Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah potensi kecurangan (fraud) dan moral hazard, sebagaimana pernah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait temuan kecurangan layanan katarak beberapa waktu lalu.
“Prinsip kehati-hatian ini merupakan bagian dari proses evaluasi berkelanjutan untuk meningkatkan efektivitas dan keadilan pelayanan kesehatan yang melibatkan banyak pihak profesional, di antaranya Pusat Pembiayaan, Pelayanan Klinis, dan Tim Koding Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPJS Kesehatan, PB IDI, Perdami, serta Kolegium Mata,” jelas Rizzky.
Pada 2024, pemanfaatan layanan kesehatan mata, baik di rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL) maupun rawat inap tingkat lanjutan (RITL), mencapai 16,9 juta kasus dengan total biaya pelayanan mencapai Rp 8,1 triliun.
Khusus kasus katarak, terdapat 3,5 juta kasus dengan biaya pelayanan mencapai Rp 5,4 triliun.
Dekatkan faskes di daerah pelosok
Rizzky juga menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan berupaya memastikan akses layanan kesehatan hingga ke pelosok negeri, khususnya bagi peserta yang tinggal di daerah belum tersedia faskes memenuhi syarat (DBTFMS) untuk mendekatkan faskes.
Langkah tersebut diambil untuk menjawab tantangan kondisi geografis Indonesia yang luas dan menantang sehingga menyebabkan faskes belum merata.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diperkuat oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, setiap peserta program jaminan kesehatan berhak mendapatkan manfaat jaminan kesehatan.
Jaminan tersebut mencakup pelayanan perorangan, seperti pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang dibutuhkan.
Namun, Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan berat dalam upaya menyediakan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Salah satu persoalan yang dihadapi adalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai serta disparitas distribusi tenaga kesehatan. Selain itu, faskes dan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis, juga masih terpusat di kota-kota besar.
Rizzky menjelaskan, tugas utama BPJS Kesehatan adalah memberikan jaminan pelayanan kesehatan untuk upaya kesehatan perorangan atau personal health, bukan upaya kesehatan masyarakat atau public health.
“Secara prinsip, BPJS Kesehatan tidak dibebani tanggung jawab atas ketersediaan faskes atau pemenuhan kebutuhan di sisi supply side,” kata Rizzky.
Meski demikian, BPJS Kesehatan tak lantas berdiam diri. Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan kepada seluruh peserta JKN, termasuk mereka yang tinggal di wilayah terpencil dan DBTFMS.
"BPJS Kesehatan tetap memberikan penjaminan bagi peserta yang tinggal di wilayah terpencil dan kepulauan serta daerah tanpa faskes yang memenuhi syarat," kata Rizzky.
BPJS Kesehatan juga melakukan implementasi terbatas pemberian kompensasi bagi DBTFMS dalam bentuk kerja sama dengan fasilitas kesehatan bergerak, kerja sama dengan kriteria khusus, dan pengiriman tenaga kesehatan.
Rizzky menjelaskan, regulasi terkait layanan kesehatan pada DBTFMS juga telah diatur dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid mengamanahkan pemberian kompensasi pada DBTFMS yang lebih lanjut diatur oleh Kemenkes.
“Tentu, kami berharap ada koordinasi lintas kementerian dan lembaga dalam distribusi tenaga kesehatan dan faskes di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Selain itu, diperlukan juga penyusunan regulasi pendukung dalam penjaminan layanan di wilayah yang belum tersedia faskes memenuhi syarat,” kata Rizzky.
Pada 2024, BPJS Kesehatan mengupayakan akses layanan di 56 titik wilayah dari 11 provinsi yang masuk kategori DBTFMS.
Salah satu upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah menyediakan faskes melalui kerja sama dengan pihak lain. Salah satunya adalah penyediaan faskes bergerak, seperti RS Apung Ksatria Airlangga, RS Apung Nusa Waluya II, dan RS Apung Lie Dharmawan II, dalam memberikan pelayanan kesehatan di wilayah yang ditetapkan sebagai DBTFMS.
Kompensasi juga diberikan melalui pengiriman tenaga kesehatan ke wilayah yang telah ditetapkan sebagai DBTFMS serta bekerja sama dengan fasilitas kesehatan dengan kriteria khusus.
“Dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan program JKN, BPJS Kesehatan terus melakukan evaluasi berkala serta berkoordinasi dengan pemangku kepentingan, seperti Kemenkes, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan KPK,” kata Rizzky.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
-
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini
Daftar 21 Layanan dan Jenis Penyakit yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan |
![]() |
---|
BPJS Kesehatan Layani 278 Juta Peserta Warga Indonesia, Wujudkan Pemerataan Layanan hingga Pedalaman |
![]() |
---|
21 Jenis Penyakit dan Tindakan yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan |
![]() |
---|
Begini Cara Kerja Tim Kendali Mutu Kendali Biaya di BPJS Tondano, Independen dan Berperan Strategis |
![]() |
---|
BPJS Kesehatan dan Kemenag Sulut Perkuat Kerja Sama untuk Kepesertaan JKN Calon Jemaah Haji |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.