Opini
Pinjol dan Keadilan Hukum di Indonesia
Namun, alih-alih memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut, masyarakat justru merasa terbebani oleh berbagai kebijakan.
Oleh: Bunga Nurul Alsha Paputungan (Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, asal Sulawesi Utara).
Di tengah kondisi ekonomi yang kian memprihatinkan, praktik pinjaman online menjadi salah satu upaya masyarakat untuk bertahan hidup di tengah tekanan kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Masyarakat yang semakin terhimpit oleh mahalnya pajak yang ditetapkan oleh pemerintah merasakan adanya suatu ketidakadilan dan ketimpangan dalam posisi mereka.
Pajak yang tinggi seharusnya berfungsi sebagai instrumen negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui subsidi, pelayanan publik yang lebih baik, dan stabilitas harga.
Namun, alih-alih memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut, masyarakat justru merasa terbebani oleh berbagai kebijakan yang dinilai kurang berpihak pada mereka, terutama kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Penghasilan yang stagnan, bahkan sering kali cenderung tidak tetap, harus bersaing dengan biaya hidup yang semakin melonjak.
Dalam kondisi seperti ini, banyak masyarakat terbuai oleh efisiensi yang ditawarkan oleh para oknum pinjaman online ilegal, meskipun pada kenyataannya mereka justru tengah menjerumuskan diri ke dalam jeratan hutang yang tak berkesudahan.
Banyak dari mereka sebenarnya sudah menyadari konsekuensi yang mungkin timbul ketika berurusan dengan pelaku pinjaman online, terutama yang ilegal.
Namun, kondisi ekonomi yang mendesak dan keterbatasan akses terhadap sumber pembiayaan yang aman membuat mereka merasa tidak memiliki pilihan lain untuk memperoleh dana dalam jumlah tertentu secara cepat.
Dampak dari fenomena ini tidak bisa dianggap sepele.
Tak sedikit korban dari para pelaku pinjaman online ilegal memilih mengakhiri hidupnya karena merasa terjebak dalam utang berlapis, dihantui rasa malu, dan kehabisan akal untuk melunasi pinjaman tersebut.
Hal ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua, terutama bagi pemerintah, untuk dapat membenahi setiap kebijakan yang dibuat dan memastikan setiap masyarakatnya mendapatkan perlindungan dengan prinsip keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana cara agar masyarakat dapat lebih sadar akan
bahaya pinjaman online dan memilih untuk menjauhinya?
Berangkat dari pertanyaan tersebut, penulis menyadari bahwa ada cara untuk melepaskan diri dari belenggu hutang yang tidak berkesudahan ini.
Salah satunya adalah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa perjanjian yang timbul dari pinjaman online ilegal tidak dapat membentuk ikatan hukum yang sah.
Merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1) Adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengikatkan diri, 2) Kecakapan para pihak dalam membuat perikatan, 3) Objek yang tertentu (perjanjian menjadi tidak sah jika objeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan), dan 4) Sebab yang halal.
Yang dimaksud dengan 'sebab yang halal' pada poin keempat adalah bahwa suatu perjanjian tidak dapat dibuat jika bertentangan dengan aturan yang telah diatur dalam undang-undang.
Jika suatu perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah dan dianggap batal oleh hukum. Hal ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab yang sah, atau yang dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 1337 KUHPerdata secara khusus mengatur bahwa suatu sebab dianggap terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Oleh karena itu, perjanjian yang lahir dari praktik pinjaman online ilegal, yang tidak memenuhi unsur keabsahan, menimbulkan akibat hukum berupa pengembalian kepada keadaan semula, atau yang dikenal dengan prinsip restitutio in integrum.
Prinsip ini mengacu pada ketentuan hukum yang mengharuskan kedua belah pihak dikembalikan ke posisi semula sebelum perjanjian dibuat, karena perjanjian yang batal tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Namun, hal ini tidak serta-merta membebaskan debitur dari kewajiban membayar utangnya.
Debitur tetap wajib melunasi pokok utang kepada kreditur, tetapi tidak dibebani dengan bunga yang terlampau tinggi dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
Pemahaman inilah yang perlu disebarluaskan kepada masyarakat, khususnya mereka yang masih memiliki keterbatasan dalam literasi hukum.
Langkah ini merupakan bagian penting dari upaya kolektif dalam membangun kesadaran hukum, memberdayakan masyarakat, serta melindungi mereka dari praktik-praktik keuangan yang merugikan dan melanggar hukum.
Diharapkan pula para pelaku pinjaman online ilegal jera, karena masyarakat semakin sadar bahwa perjanjian yang tidak sah secara hukum tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut debitur, khususnya dalam hal menagih bunga yang melanggar hukum atau menggunakan ancaman.
Terlebih lagi, praktik intimidasi seperti penyebaran data pribadi yang dijalankan oleh para pelaku dapat dilaporkan secara hukum karena melanggar hak privasi individu yang dilindungi undang-undang.
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Bergabung dengan WA Tribun Manado di sini >>>
Simak Berita di Google News Tribun Manado di sini >>>
Baca Berita Update TribunManado.co.id di sini >>>
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.