Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Konsekuensi Pembatalan Presidential Threshold

Presidential Threshold (PT) merupakan istilah yang gunakan sebagai persyaratan partai politik (parpol) dalam mengajukan calon presiden

Penulis: Fernando_Lumowa | Editor: Chintya Rantung
IST
Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat, Ferry Liando. 

Oleh: Ferry Liando, Dosen Kepemiluan FISIP Universitas Sam Ratulangi Manado 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Presidential Threshold (PT) merupakan istilah yang gunakan sebagai persyaratan partai politik (parpol) dalam mengajukan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). 

Menurut pasal 222 UU Pemilu bahwa syarat parpol yang bisa mengajukan pasangan calon adalah parpol yang memiliki sebanyak 20 persen kursi dari total jumlah kursi anggota DPR RI atau memiliki 25 persen suara hasil Pemilu. 

Oleh karena pemilihan amggota DPR RI dan Pilpres dilaksanakan serentak, maka angka itu diambil berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.

Namun kebijakan PT itu baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Desember 2024 melalui putusan nomor 62/PUU-XII/2024.

Putusan itu memungkinan semua parpol peserta Pemilu dapat mengajukan capres dan cawapres. Jika pada Pemilu 2029 terdapat 20 parpol peserta pemilu yang akan ditetapkan KPU RI, maka tidak mustahil jika peserta pilpres 2029 akan diikuti 20 pasangan calon (paslon) Pilpres. 

Negara yang menerapkan demokrasi "liberal" seperti Indonesia, putusan tersebut tentu disambut baik. Namun beberapa konsekwensi yang berpotensi melahirkan risiko atas putusan tersebut.

Pertama. Salah satu tujuan Pemilu adalah melahirkan sebuah legitimasi atau pengakuan publik terhadap institusi politik yang akan berkuasa. Salah satu peserta Pemilu adalah parpol. 

Parpol yang memperoleh suara tertinggi dalam Pemilu mengindikasikan bahwa parpol itu diakui dan dipercaya reputasinya dan diberi kesempatan untuk mengelola kekuasaan. 

Semakin tinggi perolehan suara suatu parpol maka legitimasinya kuat. Sehingga parpol yang memiliki legitimasi diganjar dengan hak diikutsertakan dalam pembagian kursi di DPR dan berhak mengajukan capres dan cawapres.

Bagi parpol yang mendapatkan suara terendah mengindikasikan parpol tersebut belum diakui keberadaannya dan seharusnya tidak layak untuk mengelola kekuasaan. 

Parpol yang diberikan hak mengelola kekuasaan tanpa legitimasi politik mayoritas merupakan anomali dalam sistim demokrasi perwakilan. "Siapa yang ia wakili"?

Kedua. Jika ternyata semua parpol peserta Pemilu berhak mengajukan paslon Pilpres maka parpol berpotensi menjadi bancakan oleh kelompok yang berusaha memasuki arena kekuasaan guna kepentingan pragmatis. 

Pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya bahwa pendirian parpol hanya sekedar alat agar elit-elitnya kebagian job dalam kekuasaan. 

Terdapat beberapa parpol yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan kriteria peserta Pemilu menurut UU Pemilu. 

Namun entah bagaimana caranya parpol-parpol itu lolos menjadi peserta Pemilu.

Akhirnya ketika diikutsertakan sebagai peserta Pemilu, parpol itu ternyata tetap tidak memperoleh legitimasi pemilih. 

Terbukti dengan hasil suara yang tidak mencapai ambang batas parliamentary treshold 4 persen.

Namun sebagian elit-elit parpol yang memperoleh dukungan minoritas itu tetap bisa menikmati kekuasaan saat ini. 

Preposisi bahwa mendirikan parpol agar elit-elit politiknya mendapatkan pekerjaan, terbukti jelas pada hasil Pemilu 2024.

Mencegah konsekwensi ini, DPR RI sebagai pembuat undang-undang perlu merespon putusan MK itu dengan pengaturan syarat parpol untuk bisa mengajukan paslon pilpres adalah parpol yang pernah minimal sekali mengikuti pemilu.

Ketiga. Jika semua parpol peserta Pemilu bisa mengusung capres dan cawapres maka legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih sangat lemah. 

Jika jumlah parpol sebanyak 20 dan jumlah paslon Pilpres menjadi 20 maka pemenangnya bisa saja hanya mendapat dukungan 10 persen suara pemilih. 90 persen lainnya terbagi-bagi pada 19 calon lainnya. 

Untuk mendapatkan suara mayoritas memerlukan pilpres dua putaran. Namun pilpres dua putaran beresiko juga pada antara lain pembiyaan Pemilu menjadi dua kali lipat. 

Kemudian peserta Pilpres putaran kedua pasti akan merangkul peserta yang tidak lolos pada putaran kedua untuk berkoalisi. 

Koalisi parpol untuk pilpres nyatanya tidak bermanfaat untuk rakyat. Koalisi tidak didasarkan pada kesamaan visi politik akan tetapi sekedar bagi-bagi jabatan. 

Negara merugi karena sebagian besar anggaran negara sekedar membiayai tunjangan para pejabat negara yang adakan guna mengakomodasi para tim sukses, artis-artis, tokoh berpengaruh dan pihak yang berkontribusi. 

Teori rekrutmen menjelaskan bahwa kebutuhan sumber daya manusia didasarkan pada kebutuhan organisasi.

Namun dalam kekuasaan pragmatis, jabatan dan lembaga dibentuk karena untuk mengakomodasi pihak-pihak yang berkontribusi pada pemenagan Pilpres. Makanya ada usaha untuk menaikan pajak publik guna pembiayaan itu.

Keempat. Jika ternyata semua parpol peserta Pemilu berhak mengajukan anggota atau kader parpol untuk menjadi paslon pilpres, maka DPR sebagi pembuat UU harus membuat kritera khusus siapa yang disebut anggota atau kader parpol. 

Selama ini terdapat calon baik di pilpres, Pilcaleg dan Pilkada langsung mengklaim sebagai anggota atau kader parpol ketika dicalonkan. Padahal yang bersangkutan tidak pernah terdaftar sebagai anggota parpol. 

Kartu Tanda Anggota (KTA) baru dicetak dan ditanda tangani saat tahapan pemilihan di mulai.

Karena syarat pencalonan harus memiliki KTA. 

Konflik internal parpol kerap terjadi karena ada pertentangan munculnya orang-orang luar yang memaksa diri untuk dicalonkan. Uang mahar kerap menjadi penyakit dalam proses kandidasi di parpol.

Yang kebagian mahar akan diam, dan yang tidak, akan membuat perhitungan.

Istilah anggota atau kader parpol harus dirumuskan dengan baik dalam UU Pemilu. Perlu pengaturan hak untuk mendaptkan KTA harus didahului dengan kewajiban sebagai syarat. 

Misalnya sudah berapa lama terdaftar sebagai anggota, apa saja kontribusi positif baik terhadap parpol maupun di masyarakat.

Apakah kepemimpinannya teruji, moralitasnya baik serta memenuhi kriteria-kriteria khusus yang ditentukan oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga parpol.

Kriteria penentuan anggota dan kader parpol penting dirumuskan agar parpol : 

1. tidak disusupi penumpang gelap dalam proses pemilihan. 

2. SK dukungan parpol tidak diperjualbelikan. 

3. Menghindari adanya kutu loncat. 

4. Menghindari adanya calon titipan baik dari pemilik modal, elit penguasa nasional dan titipan kerbat keluarga. 

5. Menghindari calon yang instan yang muncul tanpa pengalaman kepemimpinan. (ndo) 

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved