Tajuk Tamu
Patronase Birokrasi: Antara Netralitas dan Keterpaksaan ASN Bumi Nyiur Melambai
Ardiansyah ASN di Mitra yang juga Mahasiswa Pascasarjana Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Penulis: Nielton Durado | Editor: Chintya Rantung
Jika kita lihat Selama era Orde Baru, dengan kebijakan monoloyalitas, Birokrasi, khususnya ASN, sering kali dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk melakukan mobilisasi politik demi mendukung
kekuatan pemerintahannya.
Setelah kejatuhan Orde Baru dan memasuki era reformasi pada tahun 1998, sistem politik Indonesia mengalami perubahan signifikan, terutama dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sistem yang dulunya sentralistik kini bertransformasi menjadi lebih otonom dan terdesentralisasi, perubahan ini dapat membawa dampak positif, karena memungkinkan peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Warga negara kini memiliki lebih banyak peluang untuk terlibat dalam proses politik pada level yang lebih lokal.
Namun, di sisi lain, desentralisasi ini juga
menimbulkan tantangan baru, di mana ASN menjadi terfragmentasi ke dalam berbagai kepentingan politik praktis.
Kompetisi di tingkat lokal yang semakin ketat dapat membuat ASN terjebak dalam
praktik politik yang tidak etis, sehingga tidak jarang mereka melakukan pelanggaran terhadap kode etik yang seharusnya dijunjung tinggi dan terlibat dalam politik praktis seperti yang terjadi pada ASN daerah Suljt tersebut.
Namun, tidak sedikit juga para ASN yang kesulitan untuk menolak bujukan halus ataupun tekanan dari pihak-pihak berkepentingan.
Tekanan semacam ini menempatkan ASN dalam situasi dilematis, antara mempertahankan profesionalisme dan menghadapi kemungkinan risiko terhadap
karier mereka.
Dalam birokrasi yang masih dikelola dengan cara paternalistik, ASN sering merasa terpaksa untuk mendukung kandidat yang berkuasa atau memiliki peluang menang dalam Pilkada.
Suka ataupun tidak, mereka harus patuh sepenuhnya karena khawatir akan mendapatkan sanksi seperti pemberhentian karier atau terpinggirkan dalam struktur birokrasi.
Meskipun aturan tentang netralitas ASN sudah jelas, pada kenyataannya masih banyak yang terjebak dalam lingkaran
kepentingan politik praktis.
Hal ini tidak lepas dari masalah yang menyangkut kelangsungan karier, status, hingga keamanan pribadi para ASN itu sendiri.
Netralitas ASN adalah faktor krusial untuk menjamin pelaksanaan pilkada yang adil, bebas dari keberpihakan, dan transparan.
ASN sebagai pelayan publik kemudian memiliki kewajiban untuk tidak terlibat dalam politik praktis serta dalam hal memberikan dukungan dalam konteks di luar bilik suara kepada para kandidat pemilu tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, telah diatur dengan jelas bahwa ASN dilarang untuk mendukung atau melakukan kegiatan politik praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.