Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Putusan MK: Demokratis untuk Jangka Pendek, Berbahaya Bagi Tata Kelola Pemerintahan Daerah

MK dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024  terkait uji materi Undang-undang (UU) Pilkada yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.

Editor: Arison Tombeg
Kolase Tribun Manado/ist
Ferry Daud Liando, Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat. MK dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024  terkait uji materi Undang-undang (UU) Pilkada yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. 

Ferry Daud Liando
Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat

MAHKAMAH  Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024  terkait uji materi Undang-undang (UU) Pilkada yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Putusan MK ini mengubah ketentuan pasal 40 ayat 3 UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil pemilu atau 20 persen kursi DPRD

Putusan ini mengandung konsekuensi akan munculnya banyak calon yang akan berkompetisi.

Jika mengacu pada syarat dan ketentuan perolehan suara hasil pemilu yang wajib dipenuhi parpol pengusung calon maka kemungkinan peserta pilkada berpotensi di atas dari 5 pasangan calon.

Jika keadaan ini akan terjadi maka resikonya adalah legitimasi politik terhadap calon yang terpilih yang sangat rendah.

Jika terdapat 7 pasangan calon maka pemenang pilkada bisa jadi hanya di dukung oleh 20 persen suara pemilih. Sementara 80 persen suara lainnya terbagi merata pada 6 pasangan calon lainnya.

Andaikan 6 pasangan calon yang kalah masing-masing meraih 10-15 persen suara, maka pemenangnya bisa jadi hanya mendapatkan perolehan suara 18 hingga 20 persen suara.

Kepala daerah yang terpilih tidak berdasarkan suara diatas 50 persen akan sulit menjalankan pemerintahan secara efektif karena tidak didukung oleh legitimasi politik yang kuat dari pemilih.

Kebijakan-kebijakanya akan berpotensi ditolak, dan kalaupun di terima akan berdampak pada ketidakpeduliannya dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah.

Harusnya MK juga harus mempertimbangkan syarat kemenangan calon kepala daerah harus diatas 40 atau 50 persen suara. Dalam hal ketentuan itu belum dicapai, maka perlu dilakukan putaran kedua. 

Peserta pilkada pada putaran kedua adalah peraih suara terbanyak pertama dan kedua hasil putaran pertama.
Kebijiakan ini tetap juga akan mengandung risiko. Paling tidak soal efisiensi pembiayaan.

Namun perlu dicarikan jalan keluar agar kepala daerah terpilih tidak sekedar karena memperoleh suara terbanyak akan tetapi memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat yang akan di pimpinnya. 

Menyimpang dari Tujuan Pemilu

Pemilu itu adalah kompetisi antar Parpol utk berkuasa. Parpol yg berkuasa adalah parpol yg mendapatkan suara mayoritas dari hasil pemilu.

Di DPR, Parpol yg berhak meraih kursi di DPR adalah parpol yg meraih suara 4 persen dari total suara hasil pemilu. 

Untuk menguasai eksekutif, parpol harus memiliki kursi sebanyak 20 persen kursi dari jumlah kursi DPR. Hal yang sama juga berlaku untuk dukungan parpol terhadap calon kepala daerah. 

Kebijakan ini merupakan hak atas parpol yang memperoleh suara mayoritas hasil pemilu.

Putusan MK yang menyebut semua parpol peserta pemilu meski tidak memiliki kursi di DPRD sepanjang persyaratan perolehan suara maksimal terpenuhi sesungguhnya menjadikan pemilu tidak berguna sama sekali.

Sebab kalau ternyata parpol peraih suara minoritas  yang menyebabkan parpol itu tidak mendapatkan kursi di DPRD tetap berhak mengusung calon lalu buat apa ada pemilu.

Kemudian Putusan MK yang membolehkan semua parpol peserta pemilu sepanjang ketentuan perolehan suara hasil pemilu terpenuhi berpotensi akan mengganggu stabilitas tata kelola pemerintahan pasca pilkada. 

Jika kepala daerah pemenang pilkada tidak memiliki kursi di DPRD atau tidak memiliki kursi mayoritas di DPRD maka kemungkinan besar segala kebijakan kepala daerah yang oleh aturan harus membutuhkan persetujuan di DPRD seperti RPJMD, Perda atau APBD akan sulit mendapat persetujuan di DPRD. 

DI beberapa kabupaten/kota di Sulut memiliki banyak pengalaman buruk ketika Kepala Daerah dan DPRD tidak satu suara soal rancangan kebijakan.

Polemik menjadi panjang dan ujung2nya rakyat juga yang menerima resiko itu.

Di beberapa tempat, banyak kepala daerah terpaksa harus menyuap Oknum DPRD karena mengharapkan dukungan DPRD atas suatu kebijakan kepala daerah yg harus membutuhkan persetujuan DPRD.

Meski demikian atas putusan MK itu peluang bagi parpol peraih suara mayoritas ikut pilkada memungkinkan dari sisi demokratisasi untuk jangka pendek. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved