Hikmah Ramadhan
Bulan Ramadhan, Bulan Sambung Rasa Dengan Si Miskin
Sebagai manusia yang hidup di era serba modern, kita telah dijangkiti hubungan antar manusia dengan keterlibatan diri dan jiwa serta perasaan yang ter
Oleh: Dr. Mastang Ambo Baba, S.Ag., M.Ag
Wakil Rektor 3 IAIN Manado
TRIBUNMANADO.CO.ID - Salah satu perintah Allah SWT kepada manusia adalah senantiasa menolong dan membantu orang lain yang kesusahan.
Salah satunya adalah pada kaum dhuafa. Allah menciptakan manusia di muka bumi bukan tanpa sebuah misi.
Manusia diperintahkan untuk menjadi khalifah fi al-Ard atau pemimpin di muka bumi, yang mampu menegakkan hukum-hukum keadilan dan keseimbangan.
Teknisnya, kita bisa memilih sektor yang kita mampu dan dengan keahlian yang kita miliki. Di sanalah akan tercipta interaksi sosial sesama manusia.
Ibadah puasa itu sesungguhnya untuk Allah, tetapi ibadah ini memiliki dimensi sosial yang sangat nyata. Puasa dengan mengendalikan seluruh nafsu dan segala macam bentuk egosentrisme, adalah refleksi dari keseriusan menuju keridloan Allah, tetapi ketika manusia mengendurkan egonya dan mengendalikan nafsunya itulah, dia menjadi solider, menjadi peduli terhadap sesamanya.
Apalagi bagi kaum yang serba berkecukupan, rasa lapar dan dahaga akan mengingatkan pada penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh fakir miskin sepanjang hidupnya.
Dalam kehidupan sehari-hari dan kesibukan kita, terasa hablun min al-Naas mulai terasa kering.
Kita masih bisa tertawa dan tersenyum saat berinteraksi dengan orang lain, namun kita rasakan dan insafi dalam hati kita bahwa senyum yang tertawa itu tidak setulus, tidak seikhlas dan tidak sespontan masa-masa lalu.
Sebagai manusia yang hidup di era serba modern, kita telah dijangkiti hubungan antar manusia dengan keterlibatan diri dan jiwa serta perasaan yang terbatas.
Hablun min al-Naasnya bersifat superfisial, parsial, dan fungsional, bahkan yang lebih parah lagi hubungan antar manusia hanya dilihat dari segi berguna ataukah membawa keuntungan atau tidak kepada dirinya, Na’udzubillah, mari kita berlindung dari hubungan semacam itu yang sebagaimana firman Allah Swt.
Dalam surat al-Mudatsir:6 yang berbunyi: وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُۖ … “Jangan memberi dengan maksud lebih banyak menerima”.
Dengan demikian, dalam rangka syukur atas nikmat yang Allah telah berikan dan menjauhi kufur nikmat, pada bulan Ramadhan kita perlu mengkaji satu dampak negatif tersebut karena terkait langsung dengan inti agama dan inti budaya bangsa kita yang bersifat ukhuwah atau kekeluargaan.
Ibadah puasa adalah ibadah yang melatih fisik dan jiwa untuk melibatkan diri dan perasaan yang amat dalam dengan ikut merasakan penderitaan kaum dhu’afa. Ayat Q.S. al-Baqorah:183-184, menegaskan bahwa diwajibkan atas kamu berpuasa, dalam beberapa hari yang telah ditentukan kecuali bagi kamu yang sakit dan yang dalam perjalanan (musafir).
Ini bisa dibayar dengan puasa pada hari lain di luar bulan Ramadhan atau memberi fidyah (memberi makan orang miskin). Tapi, dalam ayat 184 dikunci dengan indah sekali yakni ,membayar dengan puasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Di sinilah letak perbedaan fidyah dan puasa pengganti, yaitu fidyah meringankan penderitaan kaum dhu’afa tanpa melibatkan diri kita secara intens, bagaimana rasanya si miskin lapar.
Bulan Ramadhan merupakan momen menyalurkan infaq, zakat, dan shadaqah kita sehingga kaum miskin terhindar dari kefakiran, padahal kefakiran mendekatkan dengan kekufuran.
“Hal ini seperti disampaikan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis:
“Hampir-hampir saja kefakiran akan menjadi kekufuran dan hampir saja hasad mendahului takdir”.
Penting bagi kita meningkatkan kesalehan sosial kita sehingga dapat mengurangi kemiskinan, dan kita yang diberi kemampuan berkewajiban membantu kaum miskin.
Mencintai orang miskin akan membuahkan sifat tawadhu’ dan qona’ah. Orang yang mencintai si miskin akan memberikan pengaruh baik pada dirinya yaitu semakin tawadhu’ (rendah diri) dan selalu merasa cukup (qona’ah) karena ia selalu memperhatikan bahwa ternyata Allah masih memberinya kelebihan materi dari yang lainnya. Inilah sifat mulia yang diajarkan Islam pada umatnya.
Nabi Saw. Bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu” (HR. Muslim no. 2963).
Setiap Muslim dilatih melalui puasa agar menjadi insan yang mampu merasakan derita sesamanya dan melahirkan sikap ta’awun, yakni semangat saling menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus dan baik. Jika dia kaya, harus berbagi dengan saudaranya yang miskin.
Kalau dia berilmu, harus mau mencerdaskan orang lain dengan ilmunya. Manakala dia memiliki kekuasaan, dapat dimanfaatkannya untuk menyejahterakan orang banyak.
Apabila dia berkecukupan dalam apa saja terpanggil untuk menolong siapa saja yang kekurangan.epedihan yang dialami oleh fakir miskin sepanjang hidupnya.
Puasa mengajarkan manusia agar lebih peduli kepada sesama dan banyak melakukan sedekah. Rasa lapar dan haus juga bisa meningkatkan solidaritas sosial kepada orang miskin sehingga kita turut bisa merasakannya.
Ada beberapa manfaat dan keutamaan berbagi pada kaum dhuafa yang perlu diketahui:
1. Menjadi hamba yang selalu bersyukur
Dengan kita berbagi pada kaum dhuafa, kita akan melihat bagaimana kehidupan mereka. Mungkin kita akan merasakan bahwa kehidupan kita tidak lebih buruk daripada apa yang mereka alami. Untuk itu, kita akan mulai bersyukur dan merasakan bahwa ada banyak sekali nikmat dari Allah Swt. yang diamanahkan untuk kita.
2. Membangun perasaan empati pada sesama manusia
Dengan berbagi kita bisa ikut melihat dan merasakan apa yang mereka alami. Empati sosial adalah skill. Artinya, ia harus diasah agar bisa muncul dan perlu membiasakan diri untuk berbagi. Tidak muncul secara tiba-tiba bahkan empati juga dibentuk dari kebiasaan atau tanaman nilai di masa kecil. Dengan berempati, in Syaa Allah dorongan kita untuk berbagi juga akan semakin besar.
3. Merasakan hidup lebih manfaat.
Berbagi artinya kita memberi dari apa yang dimiliki. Dengan begitu hidup lebih bermanfaat karena membuat orang lain menjadi lebih bahagia dan terpenuhi kebutuhannya. Berbagi juga bisa mengusir kesedihan mereka serta membuat mereka menjadi lebih baik.
4. Membangun silaturahmi dan persaudaraan
Dengan berbagi kita bisa membangun silahturahmi dengan mereka yang membutuhkan dan terbangun persaudaraan. Jika seseorang memberikan bantuan dengan ikhlas, dengan penuh penghargaan, dan etika yang baik tentu penerima manfaat pun akan senang dengan perlakuan ang diberikan. Sikap ini akan menciptakan persaudaraan dan silaturahmi yang erat.
5. Motivasi untuk lebih banyak beribadah dan berikhtiar
Jika seseorang sudah merasakan manfaat dan nikmatnya berbagi, kita tidak akan pernah berhenti melakukannya hanya sekali saja. Ini seperti hukum kenikmatan dan kebahagiaan, kita akan selalu berusaha mengejarnya karena ingin mendapatkannya kembali. Sama seperti kebahagiaan dalam beribadah.
Dengan puasa Ramadhan, sikap ta’awun atau soldaritas sosial yang luhur itu merupakan hasil dari proses transendensi (hablu min Allah) yang membuahkan sifat kemanusiaan yang luhur (hablu min al-Naas) yang bersifat serba utama.
Di sinilah sejatinya inti dari berpuasa, agar bagaimana seorang yang memiliki kelebihan bisa merasakan bagaimana orang miskin itu merasakan lapar dan dahaga.
Semoga puasa ini semakin meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial kita dan bisa menjadi hamba Allah yang ringan untuk berbagi dan bersedekah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.