Hikmah Ramadhan
Belajar Ikhlas dari Kisah Tiga Laki-Laki dalam Goa
Diceritakan sebuah riwayat mengenai tiga orang laki-laki yang tengah berjalan-jalan hingga masuk ke dalam sebuah goa.
Oleh: Prof. Dr. KH. Ahmad Rajafi, M.H.I
Rektor IAIN Manado dan Rois Syuriah PCNU Manado
Termaktub di dalam Kitab Riyadhus Shalihin dalam Bab Pertama tentang Keikhlasan.
Diceritakan sebuah riwayat mengenai tiga orang laki-laki yang tengah berjalan-jalan hingga masuk ke dalam sebuah goa, lalu tiba-tiba jatuh batu besar yang mentupi pintu goa.
Sebagai bentuk usaha untuk keluar dari goa tersebut, maka mereka dengan sepenuh tenaga mendorong batu besar tersebut, namun sayang batu besar itu tidak bergerak sedikitpun.
Dalam keputusasaan, akhirnya salah satu dari mereka berdoa kepada Allah SWT:
“Ya Allah, sungguh di dalam rumahku terdapat kedua orang tua yang sudah sangat renta, istri, dan anak-anakku.
Satu hari aku mencari kayu bakar dan memerah susu kambingku, sesampainya di rumah ku lihat kedua orang tuaku tertidur lelap sehingga aku takut membangunkan mereka, akhirnya aku terus berdiri menunggu keduanya terbangun sembari memegang susu untuk mereka hingga pagi hari, sedangkan istri dan anak-anakku menahan lapar hingga pagi pula, karena aku tak ingin mereka mendahului kedua orang tuaku menikmati susu tersebut.
Bila amal ini merupakan nilai keikhlasan yang ku perbuat semata-mata karena mengharap ridha-Mu, maka tolong bukalah batu besar ini.”
Maka tiba-tiba bergerak batu besar itu dan tersingkaplah sedikit cahaya dari luar, namun mereka masih belum bisa keluar.
Melihat hal tersebut, lalu pemuda yang kedua mengangkat tangannya sembari berdoa:
“Ya Allah, aku memiliki sepupu perempuan yang begitu cantik sehingga aku terpikat dengannya, maka satu hari ia datang kepadaku karena permasalah ekonomi yang menimpanya dan ia membutuhkan 120 dinar.
Karena hal itu, aku meminta kepadanya, andaikan ia mau berzina denganku, maka akan aku berikan 120 dinar tersebut padanya, akhirnya ia setuju.
Ketika aku akan menzinainya, tiba-tiba ia berkata “takutlah kepada Allah, sungguh cincin tidak boleh dilepas kecuali oleh orang yang berhak”, maka akupun takut melakukan perbuatan itu, lalu aku tinggalkan dia beserta dinar emas yang ku berikan padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Bila ini adalah amal keikhlasan semata-mata mengharap ridha-Mu, maka bukalah batu besar ini.”
Lalu tiba-tiba terbukalah sedikit lagi batu besar tersebut namun mereka masih belum bisa keluar.
Karena kedua temannya berhasil menggerakkan batu besar tersebut dengan doa, akhirnya orang ketiga mengikuti keduanya dan berdoa:
“Ya Allah, aku memiliki beberapa pegawai di kantorku, satu hari aku berikan gaji mereka masing-masing kecuali satu orang yang tak datang dan tak mengambil gajinya.
Karena sudah begitu lama, akhirnya gaji tersebut aku investasikan hingga berkembang.
Lalu setelah sekian lama berlalu, tiba-tiba orang itu datang dan meminta haknya, mak aku serahkan semua hasil investasi yang telah berkembang tanpa ku ambil sepeserpun dari hasil keuntungan yang ada dan ia mengambilnya semua.
Maka ya Allah, jika aku lakukan semua itu karena berharap ridha-Mu, maka bebaskanlah aku dari apa yang aku alami ini.”
Lalu batu itu bergerak sehingga akhirnya mereka dapat keluar meninggalkan tempat tersebut.
Kisah di atas menggambarkan betapa keikhlasan dapat dilatih dari tiga hal:
Pertama, keikhlasan ketika mengurus orang tua hingga ajal mendatangi mereka, dan jalan keikhlasan ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena bersentuhan langsung dengan kepentingan dan kebebasan hidup pribadinya, walhasil banyak yang tidak siap dan tidak ikhlas ketika mengurus orang tua, apalagi bila dibenturkan dengan pilihan, apakah memilih kepentingan istri dan anak-anak atau orang tua.
Kedua, keikhlasan dalam menjalani pertaubatan kepada Allah atas kemaksiatan yang telah dilakukan, dan jalan pertaubatan diawali dengan ketakwaan (ingat dan takut akan murka Allah swt) baik karena kesadaran pribadi atau karena nasihat orang lain;
Ketiga, keikhlasan dalam berbagi kepada sesama.
Mengenai hal ini, manusia memiliki potensi kuat untuk terpedaya dengan gemerlap duniawi, sehingga Allah mengingatkan melalui hadirnya QS. At-Takatsur.
Oleh karenanya, demi mendapatkan keiklhasan pada konteks materi ini, Islam mengajarkan beberapa pola berbagi.
Dari mulai nafkah di dalam keluarga, infak untuk urusan agama, sedekah demi kepentingan sosial, hingga zakat sebagai kewajiban personal sebagai abdi Tuhan menuju kesalehan sosial.
Dan ketika seseorang sudah tidak memiliki apa-apa lagi, tidak akan ada rasa kesal dan bersedih dalam dirinya karena ia merasa bahwa pada hakikatnya harta hanyalah titipan Allah swt. Wallahua’lam.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.