Ancaman Zoonosis di Sulut
Kisah Tini Kondoj, Penjual Hewan Ekstrim Pasar Kawangkoan Minahasa, Jarinya Sering Digigit Kelelawar
Tini Kondoj mengaku sering digigit kelelawar hampir setiap hari dan jari-jarinya nyaris jadi santapan kelelawar yang mengamuk.
Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sabtu 7 Oktober 2023 sekitar pukul 08:47 Wita, di tengah hiruk pikuk Pasar Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara ( Sulut ), bau khas rambut terbakar tercium jelas sekira 20 meter di pintu masuk belakang pasar.
Hanya perlu satu tarikan nafas, sumber baunya bisa langsung diidentifikasi asalnya.
Bau itu bersumber dari sebuah lapak yang berada di seberang jalan pintu masuk belakang pasar.
Di lapak itu ada kelelawar yang tengah dibakar oleh perempuan paruh baya memakai blower yang tenaganya bersumber dari tabung gas berukuran 3 kilogram.
Terlihat mulut kelelawar dimasukkan potongan bambu yang sudah dipotong kecil bak tusuk sate, hanya saja ini lebih besar. Bambu tersebut dijadikan alat untuk mempermudah wanita paruh baya untuk membakar kelelawar.
Di samping daging kelelawar, terlihat ada anjing yang menunggu giliran untuk dibakar.
Di mulut si anjing masih ada darah segar yang meleleh mengenai sejumlah kelelawar yang telah dibakar sebelumnya. Tak hanya anjing yang menunggu dibakar, di situ juga ada babi hutan, babi putih, tikus, kucing hingga ular.
Di tempat pembakaran itu semua hewan ekstrim berjejer di meja panjang yang terbuat dari kayu. Wajah si ibu terlihat serius, dan sesekali tangan kanannya menyeka keringat yang mengucur dari dahi jatuh ke hidung dan mengenai bibirnya, sembari tangan kiri dengan cekatan membakar daging-daging paniki,-sebutan masyarakat Minahasa untuk kelelawar.
Di tengah kesibukan si ibu membakar kelelawar, suara seorang pemuda bertubuh gemuk mengagetkannya. Tubuh si ibu terlihat bergetar layaknya seperti orang kaget.
"Ci berapa ini satu kilo?" Tanya si pria sambil telunjuknya menunjuk anjing hidup yang ada di kandang depan lapak si ibu.
“35 ribu satu kilo nyong," teriak si ibu dan kembali membelakangi pemuda itu untuk melanjutkan proses bakar kelelawar.
Kalau daging anjing yang masih hidup dijual 35 ribu rupiah satu kilogramnya. Sedangkan daging anjing yang mati dan sudah dibersihkan dijual 40 ribu rupiah satu kilogram.
Ketika terjadi kesepakatan antara si ibu dan pemuda tersebut, seorang pria paruh baya yang mengenakan kupluk motif bergaris dan berkaus biru panjang langsung berdiri dari kursinya.
Pria dewasa itu meraih balok yang ada di dekat lapak hewan extrim tadi.
Sepertinya pria itu adalah algojo anjing. “Puk! puk! puk!,”.
Pukul si pria ke arah kandang anjing yang sudah usang dan mulai bolong-bolong disusul dengan suara lolongan anjing menyayat, seolah menangis menjemput kematian.
Suara tangisan anjing rupanya membuat fokus si ibu yang membakar kelelawar terganggu.
Si ibu yang ternyata bernama Tini Konjoj itu kemudian berdiri dari kursi plastik berwarna merah.
Dirinya kemudian membantu pria berkupluk tadi menarik kepala anjing menggunakan besi panjang yang sudah dibengkokkan.
Satu tarikan dari si ibu yang menjepit kepala anjing, dan satu pukulan si pria yang ternyata bernama Berti Sumampouw itu membuat anak anjing tak bisa bergerak lagi.
Darah merah agak kecoklatan melelah dari telinga, hidung dan mulut si anjing.
Anjing yang sudah tak bergerak itu kemudian diangkat dan diletakkan di samping kelelawar dan anjing lain yang sedari tadi mengantre giliran untuk dibakar.
Terlihat tak ada space khusus lagi di antara daging kelelawar dan hewan lainnya.
Hewan-hewan itu diletakkan di satu meja panjang. Hanya beberapa yang ditata,
kebanyakan hanya diletakkan begitu saja.
Tini Kondoj dan Berti Sumampouw ternyata pasangan suami istri. Sudah 30 tahun mereka berjualan daging ekstrim termasuk kelelawar.
Tini dan Berti Sumampouw adalah warga Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan ( Minsel ), Sulut.

Di Pasar Kawangkoan ini mereka hanya berjualan setiap hari sabtu saja.
Sementara untuk jadwal lainnya: hari senin, rabu, kamis, jumat, dan minggu, sepasang suami istri ini berjualan keliling ke pasar-pasar lainnya di Minahasa, antara lain Pasar Tareran dan Pasar Langowan. Praktis dalam seminggu mereka hanya istirahat tidak berjualan di hari selasa.
Saat disinggung soal zoonosis, Tini Kondoj mengaku awam dengan istilah tersebut. Namun kalau soal informasi bahwa kelelawar memiliki virus, Tini pernah mendengarnya terutama ketika virus Covid-19 sedang melanda dunia, tak terkecuali di Minahasa.
Hanya saja, kata Tini, jika virus dari kelelawar itu menjangkiti manusia, ia beranggapan dirinya kemungkinan sudah meninggal dunia sejak lama, serta tidak akan berjualan daging ekstrem , termasuk kelelawar hingga puluhan tahun lamanya.
Baca juga: Ancaman Zoonosis di Balik Perdagangan dan Konsumsi Satwa Liar di Minahasa Sulawesi Utara
Ia bahkan mengaku sering digigit kelelawar hampir setiap hari dan jari-jarinya nyaris jadi santapan kelelawar yang mengamuk.
“Kelelawar itu kalau menggigit, mereka ganas sekali. Bahkan tidak mau melepas gigitannya, jadi kami kalau kena gigitan harus mengerahkan seluruh tenaga untuk berkelahi dengan kelelawar,” ungkap Tini sembari menujukkan seluruh jari bekas gigitan kelelawar.
Ketika digigit kelelawar, Tini mengaku dampaknya hanya terasa demam.
Ia akan meminum obat anti biotik dan panasnya akan segera turun.
Tini mengingat-ingat, sepanjang digigit kelelawar, ia tidak pernah sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Kelelawar yang dijual Tini dan Berti adalah kelelawar hitam. Kelelawar itu dipasok Tini dari Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Setiap kali jualan, puluhan kilogram daging kelelawar laku terjual. Seperti yang terjadi pada Sabtu pagi itu. Tujuh puluh kilogram kelelawar ludes dalam waktu 3 jam.
Kalau saja masih ada stok 30 kilogram daging kelelawar, kata Tini Kondoj pagi itu mungkin bisa 100 kilogram paniki ludes terjual sebelum siang. Untuk harga yang dijual juga bervariasi. Mulai dari 70 ribu rupiah perkilogram dan 80 ribu rupiah perkilogram.
Dari amatan Tribun Manado, di sekitar Tini dan Berti menjual daging ekstrem, ada banyak yang jualan ikan, sayur, rempah-rempah, pakaian, sendal, dan alat-alat kebutuhan rumah tangga lainnya.
Semuanya bercampur di satu tempat. Sehingga penjagalan hewan seperti anjing di pasar tersebut menjadi pemandangan yang lumrah bagi pengunjung pasar, terutama anak-anak yang hendak membeli sendal atau kebutuhan lainnya.
Selain di Pasar Kawangkoan, para pedagang daging ekstrem juga banyak ditemui di Pasar Langowan.
Di Pasar Langowan, satu pedagang bisa menjual 50 kilogram sampai 100 kilogram daging kelelawar dalam waktu 5 sampai 6 jam.
Untuk satu kilogram berisi 2, 3 sampai 5 ekor daging kelelawar.
Namun paling sering untuk satu kilogram daging paniki itu berisi 3 ekor kelelawar utuh termasuk sayapnya.
Jika dikalkulasi, 100 kilogram daging paniki sama dengan 300 ekor kelelawar yang bisa dijual satu pedagang saja.
Dari pantauan Tribun Manado, di pasar Langowan ini kurang lebih terdapat 15 lapak yang menjual daging kelelawar dan bercampur dengan daging lainnya seperti babi hutan dan anjing.

Recky Lolong (39), pedagang daging ekstrem di Pasar Langowan, mengatakan sumber daging kelelawar yang dijual juga sama berasal dari Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Mereka mempunyai jaringan pemasok dan memiliki “bos” yang bisa dipesan dagingnya, dan jika terjadi kenaikan harga, maka itu biasanya berasal dari “bos”.
“Menjadi pedagang daging kelelawar cukup menjanjikan hasilnya. Sehari bisa laku puluhan kilogram. Hari biasa kadang habis 50 kilogram, hari libur bisa sampai 70 kilogram, sedangkan kalau ada perayaan seperti pengucapan, natal dan tahun baru, setiap penjual kelelawar bisa laku hingga 100 kilogram dalam beberapa jam saja,” ungkap Recky.
Sementara di Pasar Tomohon, yang lebih dulu terkenal dan banyak mendapat perhatian publik, kini sudah ada larangan menjual dan eksekusi anjing dan kucing secara langsung di depan pembeli.
Meski demikian, daging ekstrem yang diperjualbeikan masih bisa ditemui. Mulai dari anjing, tikus, ular piton, babi hutan hingga kelelawar dapat ditemui di Pasar Tomohon. Sumber daging kelelawar di pasar ini juga berasal dari Gorontalo dan daerah lainnya di Sulawesi. Namun harganya sedikit lebih mahal, berkisar antara 90 ribu rupiah-100 ribu rupiah perkilogram.
Dalam sebuah penelitian berjudul “Peran dan Fungsi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dalam Menangani Kasus Perdagangan Daging Anjing di Indonesia” (Herzalia Maya, 2020), menjelaskan bahwa perdagangan dan konsumsi anjing memiliki dampak negatif, di antaranya adalah kesehatan dan psikologis anak.

Untuk kesehatan disebutkan bahwa anjing menjadi penular utama penyakit rabies di Indonesia, yakni sebesar 98 persen serta 2 persen berasal dari kucing dan monyet.
Selain itu, mengonsumsi daging anjing juga menyebabkan penyakit hipertensi, gangguan saluran pencernaan, juga menimbulkan penyakit kolera.
Sementara dampak terhadap psikologis anak dijelaskan dengan mencontohkan perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon, yaitu penjagalan dilakukan dengan sangat kejam dan juga dilakukan di tempat yang sama dengan tempat penjualannya.
Pasar tersebut sangat ramai dikunjungi dari berbagai kalangan, baik muda ataupun tua, artinya bahwa kekejaman tersebut diperlihatkan pula kepada anak-anak. (Ind)
Baca Berita Lainnya di: Google News
Penerapan Konsep One Health di Tengah Kebiasaan Masyarakat Sulut Menjual dan Mengonsumsi Satwa Liar |
![]() |
---|
Ternyata Hanya 3 Hewan ini yang Dimakan Leluhurnya Orang Minahasa, Ular dan Kelelawar Tak Termasuk |
![]() |
---|
Masyarakat Sulut Konsumsi 12 Ribu Ekor Kelelawar per Hari, Pengucapan dan Natal Capai 100 Ribu Ekor |
![]() |
---|
Minahasa Berpotensi Jadi Daerah Penyebar Penyakit, Minum Saguer, Jual dan Makan Paniki Jadi Pemicu |
![]() |
---|
Ancaman Zoonosis di Balik Perdagangan dan Konsumsi Satwa Liar di Minahasa Sulawesi Utara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.