Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Orang Indonesia di Jerman

Sejarah Pilu Pesta Rakyat di Stuttgart Akibat Letusan Tambora

Ini Cerita Orang Indonesia di Jerman. Tertarik pada masalah sosial-budaya dan olahraga.

Dokumentasi Pribadi Meike Juliana Matthes
Ini tentang Pesta Rakyat di Jerman, tepatnya di kota Stuttgart yang sejarahnya berhubungan dengan meletusnya gunung Tambora di Indonesia. 

OLEH: Meike Juliana Matthes

Ini tentang Pesta Rakyat di Jerman, tepatnya di kota Stuttgart yang sejarahnya berhubungan dengan meletusnya gunung Tambora di Indonesia.

Hormat saya,
Meike Juliana Matthes

Meike Juliana Matthes. Foto terbaru dikirim Oktober 2023.
Meike Juliana Matthes

MUSIM gugur sudah datang menyapa Masyarakat Jerman. Sinar matahari terasa tidak lagi terlalu terik menyengat kulit dan suhu pun perlahan-lahan turun, tapi dedaunan masih tampak hijau menghiasi pepohonan.

Di waktu ini, sekitar dua minggu terakhir di bulan September sampai minggu pertama bulan Oktober, masyarakat Jerman bersukaria dalam merayakan Volkfest atau pesta rakyat.

Perayaan ini berlangsung di dua kota, Munich di Bavaria (Bayern) yang dikenal dengan sebutan Oktoberfest dan Cannsstatter Volkfest atau Cannstatter Wasen yang berlangsung di Stuttgart tepatnya di distrik Bad Cannstatt yang termasuk pada negara bagian Swabia (Baden- Württemberg).

Penduduk atau pengunjung yang datang ke festival tahunan tersebut banyak terlihat memakai Trachten atau pakaian tradisional, baik anak maupun dewasa. Wanitanya mengenakan Dirndl yaitu gaun daerah dari Jerman selatan (Swabia dan Bavaria) dan prianya mengenakan Lederhose atau celana selutut berbahan kulit dipadu kemeja putih atau yang bermotif kotak-kotak.

Ada perbedaan dari awal mula kedua perayaan ini. Oktoberfest pertama kali berlangsung pada 12 Oktober 1810. Mulanya merupakan perayaan pernikahan antara Putra Mahkota Bavaria yang kelak menjadi Raja Ludwig I dengan Putri Theresa dari Sachsen Hildburghause.

Pesta pernikahan yang berlangsung selama enam hari itu pun lantas berubah menjadi pesta rakyat. Ini sangat berbeda dengan Cannstatter Volksfest di Stuttgart yang berawal dari kisah pilu.

Tersebutlah suatu masa, tepatnya pada tahun 1816, adalah tahun yang kelam bagi sebagian penduduk dunia termasuk di Jerman.

Pada tahun itu, Raja Wilhelm Friedrich Karl atau dikenal sebagai Wilhelm I dan Ratu Katharina adalah sebagai penguasa Baden-Württemberg.

Mereka baru saja naik tahta tapi hanya mewarisi negeri yang miskin. Rakyatnya kelaparan akibat gagal panen. Ladang-ladang tidak menghasilkan.

“Tuhan sudah meninggalkan negeri kami.” Itu yang dirasakan penduduknya saat itu.

Atmosfer seperti diselubungi kabut gelap. Hari-hari berhujan mengaburkan sinar matahari untuk sampai ke bumi. Tahun yang disebut “Jahr ohne Sommer“ atau tahun tanpa musim panas.

Semua ini terjadi akibat dampak bencana alam akibat letusan gunung Tambora di Indonesia.

Gunung Tambora adalah gunung berapi aktif di pulau Sumbawa. Pada tanggal 10-15 April 1815 terjadi letusan dahsyat dari gunung tersebut. Itu adalah letusan terbesar dalam 10.000 atau bahkan mungkin 25.000 tahun terakhir, yang dipicu oleh pergerakan lempeng tektonik kerak bumi.

Letusan Tambora adalah yang terbesar setelah letusan di Taupodi Selandia Baru sekitar 26.500 hingga 25.000 tahun lalu.

Abu vulkaniknya mencapai Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Maluku. Menewaskan hingga 70.000 orang di Sumbawa dan Lombok, belum terhitung di wilayah lain. Material yang dikeluarkan dari letusan itu menyebabkan perubahan iklim global, sampai ke benua Eropa dan Amerika Utara.

Debu vulkanik Tambora terlempar tinggi ke Atmosfer dan menutupi seluruh bumi seperti selubung. Inilah yang disebut sebagai “Jahr ohne Sommer“ atau tahun tanpa musim panas.

Ada juga sebutan lain yaitu “Achtzehnhundertunderfroren” atau tahun seribu delapan ratusan yang beku.

Di Eropa Tengah, badai yang berlangsung sepanjang musim panas menyebabkan banyak banjir dan gagal panen, yang pada gilirannya mengalami kelaparan dan epidemi seperti penyakit tifus dan kolera. Diperkirakan 100.000 orang meninggal di seluruh dunia.  (www.segu-geschichte.de)

Di Baden-Württemberg sendiri, pasangan Raja Wilhelm Friedrich Karl dan Ratu Katharina memerlukan waktu tiga tahun untuk meletakkan dasar-dasar kemakmuran. Penduduknya pun bekerja keras.

Pada tahun 1818, keadaan negeri membaik, kesejahteraan penduduk dan ladang-ladang pun memberi hasil kembali. Rasa ucapan syukur atas musim penuaian yang datang lagi, dirayakan pertama kali pada 28 September 1818 dan disebut sebagai Landwirtschaftlichen Hauptfest atau Festival Besar Pertanian. Ini adalah asal-muasal pesta rakyat, Cansstatter Volkfest ini.

Tapi sayang sekali Sang Ratu tidak bisa lebih lama melihat kegembiraan negerinya. Dia mangkat di tahun 1819.

Dari hal di atas bisa dilihat secara spesifik bahwa suatu festival itu ada, jika dihubungkan dengan karakter yang sangat khas pada masyarakat Jerman khususnya di Swabia atau Baden- Württemberg, yaitu apa yang mereka sebut sebagai “Erst Arbeit, dann das Vernügen” yang artinya, pertama bekerja kemudian bersenang-senang.

Pada Jumat, 22 September kemarin, pesta yang bertempat di tepi sungai Neckar dengan luas 16 Ha itu, dibuka secara resmi oleh Walikota Stuttgart, Frank Nopper.

Festival ini akan berlangsung selama 17 belas hari lamanya sampai tanggal 8 Oktober.

Berbagai wahana mainan tersedia, sebut saja diantaranya, komidi putar anak-anak dan komidi putar spektakuler, kereta hantu, kincir raksasa terbesar di dunia, setinggi 55m dengan 42 gondola berdesain modern.

Bagi pecandu adrenalin tersedia Fortress Tower atau menara terjun bebas setinggi 80 m, karosel rantai Aeronaut bisa membawa ke ketinggian yang memusingkan hingga 70 m.

Infinity yaitu ayunan raksasa yang melemparkan pengunjung 65m ke udara dengan kecepatan 120 km/h, The best XXL atau pendulum raksasa dengan kecepatan 126 km/h, Hot Shot yaitu mainan seperti bola katapel yang melayang cepat di udara di mana di dalam bolanya duduk dua orang.

Shake atau mainan kursi berlomba berputar-berguncang vertikal-horizontal dimana saat baru saja berbelok, tiba-tiba terlihat dunia seperti terbalik.

Loop Fighter adalah ayunan besar yang menghantar kita ke udara dengan beberapa kali putaran dan akhirnya menggantung terbalik di udara di ketinggian 26m.

Serta masih banyak lagi wahana bermain lainnya. Bukan itu saja, tersedia juga banyak kios yang menjual mainan anak-anak tradisional dari kayu, boneka buatan tangan, kaos kaki wol karena sebentar lagi musim dingin akan datang. Juga ada kios yang menjual manisan dan roti kering berbumbu, terdapat pula tenda-tenda dengan pertunjukan musik atau lagu-lagu dengan irama tradisional Jerman, Schlagermusik.

Kalau di Indonesia dikenal seperti musik dangdut yaitu musik yang merakyat.

Banyak pengunjung dari luar Jerman atau turis yang khusus datang berkunjung untuk melihat secara langsung perayaan tahunan yang sudah mendunia ini.

Jika dilihat sepintas, festival ini seperti tempat untuk bersenang-senang bagi kawula muda, tetapi dari sekitar empat juta pengunjung setiap tahunnya, ada banyak anak-anak yang datang berkunjung beserta orang tuanya, atau bersama dengan paman dan bibinya atau dengan kakek dan neneknya. Mereka datang berkumpul sebagai hari keluarga sekedar makan-dan minum, naik karosel atau anak-anak memancing bebek-bebek plastik, melempar kaleng berhadiah, dan melakukan banyak permainan tradisional lainnya.

Begitulah setiap tahunnya masyarakat Swabia merayakan hari terbebasnya mereka dari masa kelam.

Mereka larut dalam pesta rakyat ini, terlihat raut bersuka-cita di wajah mereka seperti raut wajah yang sangat mungkin ditampakkan oleh kakek dan nenek moyang mereka tahun 1818 di awal mula festival ini diadakan, di saat mereka keluar dari masa sulit sebagai dampak meletusnya gunung Tambora di Sumbawa, Indonesia.

Pesta rakyat yang dilangsungkan sebagai bentuk ucapan syukur dengan keyakinan bahwa jika mereka bekerja keras maka Tuhan tidak akan meninggalkan negeri mereka.

Kernen im Remstal (Baden-Württemberg), 30 September 2023

(Penulis termasuk dalam grup menulis Masyarakat Indonesia di Jerman yang tertarik pada
masalah sosial-budaya dan olahraga.)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved