Pengucapan Sulut
Pengucapan Serentak Sulut 10 September 2023, Dampak Buruk Menanti, Sudah Jadi Tradisi Setiap Tahun
Pngucapan syukur di Sulut itu digelar serentak pada 10 September 2023 dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-89 GMIM Bersinode.
Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
Anda juga jangan naik mobil bak terbuka dan over kapasitas.
Mobil yang kapasitas 7 orang pun jangan Anda bikin jadi kapasitas lebih dari 10 orang, itu bisa merugikan Anda nantinya.

6. Jangan golojo (rakus)
Nah bagi Anda yang ingin datang ke pengucapan syukur Sulut, jangan golojo ya (rakus).
Terlebih bagi Anda yang memiliki penyakit kolestrol dan darah tinggi.
Menu serba enak yang disuguhkan tuan rumah tentu sangat menggoda.
Sayangnya banyak menu makanan yang disediakan itu diolah dari santan dan daging.
Hal ini sudah pasti memicu kolestrol dan darah tinggi naik.
Jika Anda sampai kalap, bisa-bisa ini merugikan Anda, kematian mendadak pun bisa menghantui Anda.
Sekadar info, intinya pengucapan di culture Minahasa dipahami sebagai bagian dari ucapan syukurnya kepada sang pencipta (Tuhan) dan berkembang menjadi satu budaya positif yakni bagian dari sarana mempererat kekeluargaan dan kebersamaan antar sesama.
Nah, dalam perkembangannya budaya positif ini diharapkan dikelola lebih baik lagi dengan campur tangan pemerintah dan swasta, sehingga 'pengucapan' bisa menjadi sarana yang mendorong meningkatnya pariwisata di tanah Minahasa.
Dalam Pengucapan ada dua hal yang selalu ada.
Apa itu?
Pesta yang merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil yang diperoleh.
Haruskah ada pesta? Pasti sebagian besar masyarakat Minahasa akan mejawab 'harus'.
Kenapa 'harus'?
Karena pesta itu merupakan simbol syukur kepada Tuhan atas hasil panen kebun, pertanian dan berkat lainnya yang diperoleh selama ini.
Hanya memang ada sedikit pergeseran makna.
Sebab yang utama sebenarnya dalam pengucapan syukur adalah mempersembahkan hasil kebun terbaik di gereja.
Hal ini dipahami sebagai bentuk syukur orang Minahasa yang sebagian besar beragama nasrani kepada Tuhan yang diyakininya.
Setelah mempersembahkan hasil terbaik di gereja, syukur kepada Tuhan ini dilanjutnya dengan mengajak sesama 'berpesta'.
Maksudnya agar sesama (manusia) juga merasakan berkat yang diberikan Tuhan kepada masing-masing keluarga.
Maknanya kemudian agak bergeser.
Masyarakat saat ini lebih cenderung memaknai pengucapan syukur atau biasa disebut kebanyakan orang Minahasa dengan 'pengucapan' ini dengan mendahulukan menyiapkan makanan istimewa yang berbeda dengan hari biasa dan mengundang saudara, kerabat dan kenalan lainnya untuk datang makan bersama.
Padahal yang seharusnya mengucap syukur terlebih dahulu dengan membawa hasil yang diberikan bumi kepada Tuhan yang direfleksikan dengan membawa hasil panen ke gereja, kemudian dilanjutkan dengan 'pengucapan' di rumah setiap keluarga.
Hanya memang harus diakui pengucapan model saat ini sudah membudaya sehingga sulit dihilangkan.
Terbukti, meski tokoh agama dan tokoh masyarakat selalu mengimbau agar pengucapan dilakukan secara sederhana.
Namun yang terjadi masyarakat tetap membuat pengucapan dengan berpesta pora.
Karena itu ada kalangan yang berpikir pengucapan ini diatur lebih baik lagi oleh gereja dan pemerintah sehingga kebiasaan pengucapan menjadi situs pariwisata di tanah Minahasa.
Satu di antara alasan mendasar, biasanya setiap pengucapan anggota keluarga yang berada di luar daerah, bahkan luar negeri sering menjadwalkan kedatangannya bersamaan dengan pengucapan di tempat kelahirannya.
Meski selalu ditunggu setiap tahunnya, tapi ternyata pengucapan syukur mempunya dampak negatif.
Artikel ini telah tayang di TribunManado.co.id
Baca Berita Lainnya di: Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.