Segini Total Utang Indonesia Hingga Kini, Bikin Terkejut, Ini Penjelasan Luhut Binsar Pandjaitan
Luhut pun menyebutkan, tingkat utang pemerintah Indonesia saat ini jauh lebih aman dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Selain kereta api cepat Jakarta-Bandung, proyek-proyek besar yang menggandeng inisiatif ini adalah Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah senilai Rp 80 triliun, tol Probolinggo-Banyuwangi di Jawa Timur senilai Rp 21 triliun, dan Kawasan Industri Teluk Weda di Halmahera Tengah senilai Rp 70 triliun.
Utang China mudah didapat tapi sulit diakhiri?
Menurut pengamat ekonomi Center of Economic and Law Studies atau CELIOS, Bhima Yudhistira, ada banyak faktor yang membuat Indonesia tertarik dengan pinjaman dari China.
“Yang pertama, tenor utangnya jangka panjang. Kedua, secara bunga jauh lebih rendah dibandingkan kompetitor di negara lain,” kata Bhima kepada BBC Indonesia.
“Kajian awal terhadap proyeknya juga tidak dilakukan seketat kreditur lainnya. Misalnya dibandingkan dengan lembaga multilateral seperti bank dunia atau Asian Development Bank, penilaian awal mereka relatif sangat detail dan ini dianggap memakan waktu terlalu lama,” kata Bhima.
Ia juga menambahkan bahwa pinjaman dari China menjadikan standar lingkungan, sosial, dan pemerintahan relatif dikesampingkan dan tidak menjadi syarat utama pinjaman dan hanya bersifat pelengkap.
“Di sinilah pinjaman China itu dianggap 'easy to get.' Mudah prosesnya dibanding pinjaman dari kreditur lainnya. Tapi cara-cara pinjaman dengan penilaian ataupun perencanaan yang sudah bermasalah dari awal, yang penting prosesnya cepat,” kata Bhima.
“Ya ini ternyata menimbulkan banyak problem dalam proses maupun dalam penyelesaiannya.”
Menurut Bhima, meski yang mengambil pinjaman adalah BUMN, jika ada kendala maka risiko tetap ditanggung pemerintah atau APBN.
Utang non-pemerintah menjadi salah satu faktor yang membuat Sri Lanka berada di titik kebangkrutan.
“Sri Lanka, Laos juga yang terdekat,” kata Bhima. “Mereka konsepnya adalah utang dengan ‘B to B’ memang. Membentuk konsorsium dan kemudian utang itu sebagian besar digunakan untuk proyek infrastruktur yang memang perencanaannya dari awal sudah bermasalah dan dipaksakan seperti Pelabuhan Hambatonta di Sri Lanka,” kata Bhima.
“Ketika gagal bayar, ada konsesi yang diberikan kepada China maupun BUMN China, dalam jangka yang sangat panjang (pelabuhan) dikelola mereka.” (*)
Artikel ini telah tayang di TribunPekanbaru.com