Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

HUT Kopassus

SOSOK Alexander Evert Kawilarang, Perintis Pasukan Komando, Seorang Tentara Asli yang Jujur

Alexander Evert Kawilarang adalah tokoh dibalik pembentukan komando pasukan khusus (Kopassus) TNI, pasukan elit di tubuh angkatan darat.

Penulis: Gryfid Talumedun | Editor: Gryfid Talumedun
Tribunnews
SOSOK Alexander Evert Kawilarang, Perintis Pasukan Komando, Seorang Tentara Asli yang Jujur 

Selanjutnya tanggal 18 Maret 1953, Markas Besar (Mabes) Angkatan Bersenjata Republi Indonesia (ABRI: nama TNI waktu itu) mengambil alih dari komando Siliwangi dan kemudian mengubah namanya menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD).

Selanjutnya pada tahun 1955 namanya diubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dengan menambah kualifikasi Para kepada setiap prajuritnya.

Tahun 1966 satuan ini kembali berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI AD (PUSPASSUS TNI AD).

Berganti lagi menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha disingkat KOPASSANDHA pada tahun 197.

Terakhir tahun 1985 satuan ini berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) sampai sekarang.

Mengkritik Lewat Jalan Pedang

Permesta saat berdamai dengan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI: Sekarang <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/tni' title='TNI'>TNI</a>).

Sejumlah perwira di Sulawesi yang kecewa dengan pemerintah pusat mengambil langkah keras dengan melakukan perlawanan bersenjata. 

Alasan mereka karena tidak puas dengan pemerintah pusat yang dinilai kurang memperhatikan keadaan di daerah-daerah tertinggal. 

Pada tanggal 2 Maret 1957, seorang tokoh bernama Ventje Sumual mendeklarasikan gerakan Permesta  Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta.

Dilansir dari wikipedia berbahasa Indonesia, gerakan permesta terpusat di Manado dan Minahasa. Gerakan ini bersatu dengan gerakan terpisah di Sumatra yang disebut Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Kawilarang memantau situasi dari Washington dan kemudian menyimpulkan bahwa pemerintah pusat di Jawa yang menjadi penyebab krisis regional tersebut.

Ia pun memutuskan bergabung dengan Permesta. Ada sumber lain yang menyebut bahwa Kawilarang terpaksa bergabung dengan Permesta karena kampung halamannya, Manado dibombardir tentara Republik Indonesia.

Pada bulan Maret 1958, ia memberi tahu Duta Besar Indonesia untuk AS, Murkoto, bahwa ia akan berangkat ke Sulawesi Utara.

Ia meninggalkan jabatannya pada 22 Maret 1958 dan dengan bulat bergabung dengan Permesta. Sang loyalis Republik Indonesia ini memilih mengkritik lewat jalan pedang. 

Sekembalinya ke tanah air, ia menjabat sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI (1958) dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat mayor jenderal dari Februari 1959 hingga Februari 1960.

Ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa Kawilarang belum sepenuhnya menerima sisi PRRI karena menurutnya PRRI sejalan dengan ekstrimis agama.

Kawilarang adalah satu-satunya perwira yang tidak segera diberhentikan oleh pemerintah pusat secara tidak hormat atas partisipasi mereka dalam Permesta dan PRRI.

Karena keraguannya terhadap PRRI, pemerintah pusat masih berharap bahwa dia akan berubah pikiran.

Namun ia tetap mendukung Permesta dan menjadi Panglima angkatan bersenjata Permesta.

Pada tahun 1961 pasukan dari pemerintah pusat berhasil meredam perlawanan pasukan Permesta.

Pasukan dari Jakarta ini terdapat perwira-perwira yang dulu di bawah pimpinan Kawilarang.

Konflik ini dapat diselesaikan secara damai melalui upaya FJ Tumbelaka. Beberapa upacara diadakan pada bulan April dan Mei 1961 di mana pemerintah Indonesia secara resmi menerima kembali pasukan Permesta.

Kawilarang berpartisipasi dalam upacara pada tanggal 14 April yang dihadiri oleh Mayjen Hidayat dan Brigjen Achmad Yani dari TNI, keduanya kenal baik dengan Kawilarang.

Namun menurut Kawilarang, sebelumnya telah tercapai kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak komunis di Jawa.

Karenanya, Kawilarang merasa menyesal ketika Nasution tidak menepati janjinya.

Des Alwi, seorang tokoh pemuda 1945 menyebut Kawilarang sebagai seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik.

Tindakannya menempeleng Soeharto tampaknya tidak pernah dimaafkan oleh presiden kedua RI itu, sehingga sampai Kawilarang meninggal, ia tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu.

Baru setelah Soeharto turun dari jabatannya dan digantikan oleh B.J. Habibie, Kawilarang memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya.

Juga karena perannya dalam Permesta, ia tidak pernah menerima penghargaan militer seperti perwira-perwira sesamanya.

Pada tanggal 15 April 1999, Kawilarang akhirnya memperoleh pengakuan atas jasa-jasanya dalam ikut membentuk Kopassus.

Pada peringatan hari jadi Kopassus ke-47, Kawilarang diterima sebagai Warga Kehormatan Kopassus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Sebagai tandanya, ia dianugerahi sebuah baret merah dan pisau komando.

Meski terlibat dalam gerakan bersenjata Permesta, namun sejumlah tokoh militer Indonesia tak percaya bahwa Kawilarang adalah seorang penghianat. 

Letnan Jenderal (Purn.) Sajidiman Suryohadiprojo salah satunya.

Dikutip dari tulisan Hendi Johari yang terbit di Historia.id, berjudul Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot, Sajidiman tidak percaya sama sekali jika seniornya di Siliwangi, Kolonel (Purn) Alex Evert Kawilarang adalah seorang pengkhianat.

"Alih-alih mencap-nya sebagai petualang, Sajidiman justru menyebut Alex (panggilan akrab A.E. Kawilarang) sebagai seorang patriot. Buktinya cukup banyak, ujar mantan Wakasad itu. Sejak tercatat sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR, cikal bakal TNI) pada 1945, Alex banyak terlibat dalam berbagai peristiwa bersejarah yang menegaskan dirinya adalah seorang loyalis Republik," tulis Hendi Johari.

Latihan Khusus Pasukan Baret Merah

Mengenang Alexander Evert Kawilarang, Tokoh Perintis <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/kopassus' title='Kopassus'>Kopassus</a>, Pejuang di Masa Revolusi Indonesia

Mengenal lebih dalam pasukan kopassus, mungkin banyak orang bertanya-tanya seperti apa latihan para prajurit baret merah ini

Sebagai pasukan khusus, tentunya latihan prajurit Kopassus agak 'berbeda' dan memang dilatih secara khusus di beberapa bidang tertentu.

Latihan prajurit Kopassus sempat diceritakan oleh mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dalam bukunya yang berjudul 'Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan'

Dalam buku biografinya, Pramono Edhie Wibowo yang juga pernah bertugas di korps baret merah itu ceritakan latihan terberat prajurit Kopassus sudah menanti saat sampai di Cilacap.

Ini merupakan latihan tahap ketiga yang disebut latihan Tahap Rawa Laut, calon prajurit komando berinfliltrasi melalui rawa laut.

Di sini, materi latihan meliputi navigasi Laut, Survival laut, Pelolosan, Renang ponco dan pendaratan memakai perahu karet.

Para prajurit Kopassus harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.

“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, oleh karena itu ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka"

"Yang paling berat, materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’,” tulis Pramono dalam bukunya.

Dalam latihan itu, para calon prajurit Kopassus dilepas tanpa bekal pada pagi hari, dan paling lambat pukul 10 malam sudah harus sampai di suatu titik tertentu.

Selama “pelolosan” calon prajurit Kopassus harus menghindari segala macam rintangan alam dan tembakan dari musuh yang mengejar.

Dalam pelolosan itu, kalau ada prajurit yang tertangkap maka berarti itu merupakan 'neraka' baginya karena dia akan diinterogasi seperti dalam perang.

Para pelatih yang berperan sebagai musuh akan menyiksa prajurit malang itu untuk mendapatkan informasi.

Dalam kondisi seperti itu, para prajurit Kopassus harus mampu mengatasi penderitaan, tak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya.

Untuk siswa yang tidak tertangkap bukan berarti mereka lolos dari neraka.

Pada akhirnya, mereka pun harus kembali ke kamp untuk menjalani siksaan.

Selama tiga hari pra prajurit Kopassus menjalani latihan di kamp tawanan.

Dalam kamp tawanan ini semua prajurit Kopassus akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati daya tahan manusia.

“Dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa. Namun, para calon prajurit Komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi"

"Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya,” tulis Pramono Edhie.

Beratnya persyaratan untuk menjadi prajurit kopassus dapat dilihat dari standar calon untuk bisa mengikuti pelatihan.

Nilai standar fisik untuk prajurit nonkomando adalah 61, namun harus mengikuti tes prajurit komando, nilainya minimal harus 70.

Begitu juga kemampuan menembak dan berenang nonstop sejauh 2000 meter.

“Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando. Peserta yang gagal akan dikembalikan ke kesatuan Awal untuk kembali bertugas sebagai Prajurit biasa,” tutup mantan Danjen Kopassus ini.

Atase Militer Indonesia di Amerika Serikat

Pada bulan Agustus 1956, Mayjen Nasution sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat menunjuk Kawilarang sebagai Atase Militer Indonesia di Amerika Serikat dengan pangkat brigadir jenderal.

Des Alwi, seorang tokoh pemuda 1945 menyebut Kawilarang sebagai seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik.

Pada tanggal 15 April 1999, Kawilarang akhirnya memperoleh pengakuan atas jasa-jasanya dalam ikut membentuk Kopassus.

Pada peringatan hari jadi Kopassus ke-47, Kawilarang diterima sebagai Warga Kehormatan Kopassus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.

Sebagai tandanya, ia dianugerahi sebuah baret merah dan pisau komando.

Pada tahun 1961, Kawilarang menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui Keppres 322/1961.

Namanya kemudian direhabilitasi.

Kawilarang kemudian pensiun dari dinas TNI, namun pangkatnya diturunkan menjadi kolonel purnawirawan.

Kawilarang menikah dua kali. Pertama dengan Petronella Isabella van Emden pada tanggal 16 Oktober 1952.

Mereka bercerai pada tahun 1958. Kedua dengan Henny Olga Pondaag, mantan istri Ventje Sumual, sahabatnya dalam perjuangan Permesta.

Dari pernikahannya yang pertama, ia memperoleh dua orang anak: Aisabella Nelly Kawilarang dan Alexander Edwin Kawilarang.

Dari pernikahannya yang kedua, ia memperoleh seorang anak yakni Pearl Hazel Kawilarang.

(Tribunmanado.co.id/Gryfid)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved