Berita Nasional
Sosok John Lie, Pejuang Indonesia Keturunan Tionghoa, Dijuluki Hantu Selat Malaka oleh Belanda
John Lie dijuluki hantu laut lantaran bisa menyelamatkan Kapal The Outlaw yang sudah sekarat akibat tembakan meriam kapal patroli Belanda.
Akan tetapi, keajaiban terjadi, usai memutar dan agak menukik, pesawat meninggalkan "The Outlaw". Seketika John Lie masuk ke kabin kemudian berlutut.
John Lie berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, "The Outlaw" menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.
Belakangan, diketahui pesawat Belanda pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi perdana pun sukses. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.
Keberhasilan "The Outlaw" menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand terus terjadi pada misi-misi berikutnya.
Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama "The Black Speedboat".
Profil Jhon Lie
Jhon Lie lahir di Manado dengan nama John Lie Tjeng Tjoan pada 9 Maret 1911.
Ia adalah cina peranakan dari Manado. Lahir dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio.
Leluhur Jhon Lie datang dari Fuzhou dan Xiamen, menetap di Minahasa sejak tahun 1790. Dia adalah generasi kelima dari leluhurnya.
Keluarga Jhon Lie kala itu termasuk orang berada. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan pengangkutan Vetol.
Sejak usia belasan tahun, Jhon Lie sudah tertarik dengan dunia pelayaran.
Meski begitu, Jhon Lie sempat menamatkan pendidikannya di sekolah berbahasa Belanda, Hollands Chinese School (HCS), lalu Christelijke Lagere School.
Menginjak usia 17 tahun keinginannya menjadi pelaut semakin kuat.
Di usia itu ia memilih meninggalkan kota kelahirannya, Manado, demi mengejar mimpinya menjadi pelaut. Jhon Lie memutuskan pergi ke Batavia.
Di Batavia, Jhon Lie bekerja sebagai buruh. Disela-sela kesibukannya, Jhon Lie juga serius mengikuti kursus navigasi.
Atas ilmu yang dipelajarinya itu, sebuah perusahaan pelayaran Belanda menjadikan Jhon Lie sebagai klerk mualim III, kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij.
Pada tahun 1942 Jhon Lie ditugaskan ke suatu daerah bernama Koramshar, Iran, dan mendapat pendidikan militer di sana.
Setelah Perang Dunia II usai, Agustus 1945, Indonesia lewat Soekarno memproklamirkan kemerdekaan.
Jhon Lie yang kala itu masih berada di Koramshar mendengar berita kemerdekaan Indonesia.
Ia pun pulang ke tanah air untuk memberikan pengetahuan dan pengalamannya demi mengisi kemerdekaan.
Pada 1950, John Lie dipanggil oleh KASAL Laksamana TNI R Soebijakto.
Kemudian, ia ditugaskan sebagai Komandan Kapal Perang Rajawali.
Di masa berikutnya, John Lie aktif dalam penumpasan Republik Maluku Selatan dan PRRI/Semesta.
Karena terlalu sibuk menjalankan tugasnya di medan tempur, Jhon Lie menikah nanti pada usia 45 tahun.
Ia memilih seorang pendeta bernama Margaretha Dharma Angkuw sebagai pendamping hidupnya.
Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Jhon Lie menghembuskan nafas terakhirnya pada 27 Agustus 1988 karena stroke, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (*)
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL: