Berita Nasional
Sosok John Lie, Pejuang Indonesia Keturunan Tionghoa, Dijuluki Hantu Selat Malaka oleh Belanda
John Lie dijuluki hantu laut lantaran bisa menyelamatkan Kapal The Outlaw yang sudah sekarat akibat tembakan meriam kapal patroli Belanda.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie atau yang dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia dijuluki hantu laut lantaran bisa menyelamatkan Kapal The Outlaw yang sudah sekarat akibat tembakan meriam kapal patroli Belanda.
Kemenangan demi kemenangan di pertempuran darat sering kali tidak terlepas dari suksesnya tugas-tugas di laut.
Hal itu sebagaimana yang ditunjukan Jhon Lie atau Jahja Daniel Dharma, pada masa-masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Jhon Lie membaktikan keahliannya demi membela kemerdekaan ibu pertiwi.
Istri John Lie, Margareitha Angkuw (TRIBUNMANADO/CHRISTIAN WAYONGKERE)
Aksi-aksi Jhon Lie di laut membuat dirinya diingat betul oleh pihak musuh.
Dikenal sebagai penyelundup ulung di laut, Jhon Lie punya julukan sendiri, Hantu Selat Malaka.
Dalam tulisan Fabian Januarius Kuwado berjudul: Kisah John Lie, "Hantu Selat Malaka", Pahlawan Penyelundup Senjata, yang terbit di Kompas.com, Jhon Lie adalah satu-satunya pejuan Republik keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia.
Atas segala jasa dan pengabdiannya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995, B
Tanggal 9 November 2019, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Jhon Lie dengan Bintang Mahaputera Adipradana, dan gelar pahlawan dengan SK no 058/TK/tahun 2009.
Tak cukup sampai di situ, pada tanggal 13 Desember 2014 pemerintah Indonesia meresmikan Kapal perang kelas korvet yang diberi nama KRI Jhon Lie 358.
Lantas bagaimana kisah aksi-aksi Jhon Lie di laut sehingga dirinya mendapat julukan Hantu Laut?
Aksi Jhon Lie bersama Kapal The Outlaw yang melegenda
Dikutip dari buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran yang ditulis wartawan Kompas, Iwan Santosa, suatu ketika di awal Agustus 1949, "The Outlaw" kapal yang dinahkodai Jhon Lie harus menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang.
Selesai perbaikan, "The Outlaw" kembali ke Phuket menjemput awak kapal. Mereka berlayar kembali ke Aceh.
Pagi-pagi buta, saat kapal memasuki Delta Tamiang, kapal Belanda menghadang. Dengan membabibuta, kapal terebut menembakkan meriam ke badan "The Outlaw".
Suasana waktu itu sangat mencekam. Desingan peluruh dan deru ombak membaur jadi satu. Tak lama kemudian ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung.
Tembakal musuh itu mengakibatkan The Outlaw kritis. Dalam kondisi seperti itu The Outlaw sama sekali tidak berdaya.
Namun ajaib, kapal Belanda mengalami kandas di karang sehingga tidak bisa bergerak lagi. "The Outlaw" pun memanfaatkan momen itu dengan melarikan diri bersembunyi di Delta Tamiang.
Lolos dari sergapan armada laut Belanda, kini udara yang memburu. Namun, lagi-lagi keajaiban terjadi.
Pesawat dengan juru tembaknya hanya berputar-putar di atas delta. Mereka seakan-akan tidak melihat "The Outlaw" yang porak poranda di bawahnya.
"Roh Kudus membungkus kami," ujar John Lie dalam sebuah memoarnya.
Lorong Tempat Kelahiran John Lie, Pahlawan Nasional Indonesia yang dijuluki Hantu Selat Malaka oleh Belanda. (Kolase Tribun Manado)
Tidak berhenti sampai di situ. John Lie kemudian memutuskan kembali ke Penang.
Apalagi, satu baling-baling mesinnya copot. Sulit pasti melarikan diri jika dikejar Belanda.
Pagi-pagi buta keesokan harinya, "The Outlaw" sudah sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Namun, di tengah kegelapan malam, sebuah kapal tanker milik Belanda melintas.
Nakhoda kapal tangker itu kemudian menghubungi patroli militer Belanda. Benar saja. Tidak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang "The Outlaw".
Tembakan meriam Bofors dan senapan mesin 12,7 milimeter memecah kesunyian laut. Sadar jarak ke Penang masih jauh, John Lie dan awak pasrah.
Seisi kapal berserah pada Tuhan. Bahkan, John Lie tidak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar "The Outlaw" menyerah.
Namun, ajaib. Tiba-tiba cuaca buruk melanda perairan. Kabut menyelimuti permukaan laut. Hujan turun dengan sangat deras.
Gelombang laut tiba-tiba berkecamuk. Kapal Belanda tidak sanggup mengejar "The Outlaw" dengan cuaca yang demikian.
Perjalanan menyeramkan Phuket-Aceh itu terus dipantau radio BBC di London. Penyiar menyebut, "The Outlaw" dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan itu di luar nalar.
Bahkan, saat John Lie untuk kesekian kalinya bertandang ke Phuket, wartawan Roy Rowan dari majalah Life mengulas secara khusus operasi-operasi "The Outlaw" dari halaman 49 sampai 52.
Jhon Lie pertama kali bergabung dengan pejuang Republik Indonesia pada Mei 1946. Kala itu, ia Jhon Lie yang baru balik dari Iran, menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng.
Ia diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis.
Dari Maramis itulah John Lie diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta. Diawali dialog yang dramatis, John Lie diterima di ALRI.
September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat.
Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.
John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya memimpin sebuah kapal cepat bernama "The Outlaw".
Tidak disadari, perannya sebagai penyelundup dimulai seketika. Operasi perdana, "The Outlaw" melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.
Pada Oktober 1947, John Lie mencatat "The Outlaw" memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.
Sesampainya di Labuan Bilik, pesawat Belanda tampak terbang rendah mengitari pelabuhan. Pesawat meminta "The Outlaw" meninggalkan pelabuhan.
Namun, John Lie nekat berbohong dengan mengatakan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.
John Lie bisa melihat jelas dua juru senjata pesawat sudah mengarahkan senapan mesin ke arah "The Outlaw", siap menarik pelatuknya.
Akan tetapi, keajaiban terjadi, usai memutar dan agak menukik, pesawat meninggalkan "The Outlaw". Seketika John Lie masuk ke kabin kemudian berlutut.
John Lie berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, "The Outlaw" menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.
Belakangan, diketahui pesawat Belanda pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi perdana pun sukses. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.
Keberhasilan "The Outlaw" menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand terus terjadi pada misi-misi berikutnya.
Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama "The Black Speedboat".
Profil Jhon Lie
Jhon Lie lahir di Manado dengan nama John Lie Tjeng Tjoan pada 9 Maret 1911.
Ia adalah cina peranakan dari Manado. Lahir dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio.
Leluhur Jhon Lie datang dari Fuzhou dan Xiamen, menetap di Minahasa sejak tahun 1790. Dia adalah generasi kelima dari leluhurnya.
Keluarga Jhon Lie kala itu termasuk orang berada. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan pengangkutan Vetol.
Sejak usia belasan tahun, Jhon Lie sudah tertarik dengan dunia pelayaran.
Meski begitu, Jhon Lie sempat menamatkan pendidikannya di sekolah berbahasa Belanda, Hollands Chinese School (HCS), lalu Christelijke Lagere School.
Menginjak usia 17 tahun keinginannya menjadi pelaut semakin kuat.
Di usia itu ia memilih meninggalkan kota kelahirannya, Manado, demi mengejar mimpinya menjadi pelaut. Jhon Lie memutuskan pergi ke Batavia.
Di Batavia, Jhon Lie bekerja sebagai buruh. Disela-sela kesibukannya, Jhon Lie juga serius mengikuti kursus navigasi.
Atas ilmu yang dipelajarinya itu, sebuah perusahaan pelayaran Belanda menjadikan Jhon Lie sebagai klerk mualim III, kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij.
Pada tahun 1942 Jhon Lie ditugaskan ke suatu daerah bernama Koramshar, Iran, dan mendapat pendidikan militer di sana.
Setelah Perang Dunia II usai, Agustus 1945, Indonesia lewat Soekarno memproklamirkan kemerdekaan.
Jhon Lie yang kala itu masih berada di Koramshar mendengar berita kemerdekaan Indonesia.
Ia pun pulang ke tanah air untuk memberikan pengetahuan dan pengalamannya demi mengisi kemerdekaan.
Pada 1950, John Lie dipanggil oleh KASAL Laksamana TNI R Soebijakto.
Kemudian, ia ditugaskan sebagai Komandan Kapal Perang Rajawali.
Di masa berikutnya, John Lie aktif dalam penumpasan Republik Maluku Selatan dan PRRI/Semesta.
Karena terlalu sibuk menjalankan tugasnya di medan tempur, Jhon Lie menikah nanti pada usia 45 tahun.
Ia memilih seorang pendeta bernama Margaretha Dharma Angkuw sebagai pendamping hidupnya.
Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Jhon Lie menghembuskan nafas terakhirnya pada 27 Agustus 1988 karena stroke, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (*)
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL: