Junta Militer Myanmar
Sebanyak 706 Warga Sipil Tewas Dibunuh Aparat Keamanan Myanmar, Tindak Kekerasan Terus Berlanjut
Ratusan warga sipil di Myanmar terus berjatuhan akibat dari aksi pasukan keamanan. Kerusuhan Junta Militer Myanmar terus berlanjut.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sudah sebanyak 706 orang tewas dalam kerusuhan penolakan kudeta junta militer di Myanmar.
Ratusan warga sipil di Myanmar terus berjatuhan akibat dari aksi pasukan keamanan.
Aparat keamanan Myanmar kini masih menggunakan kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa menentang pemerintah militer atau Junta Myanmar.
Mengutip dari Channel News Asia, ada laporan di media sosial mengatakan, telah terjadi penembakan oleh pasukan keamanan di Kota Tamu, di barat laut Myanmar pada Senin (12/4).
Bukan hanya itu, polisi juga membubarkan aksi protes di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, dengan menggunakan kekerasan.
Data rincian korban akibat tindakan pasukan keamanan tersebut sulit diketahui, karena Junta telah membatasi akses internet broadband dan layanan data seluler.
(Foto: Seorang polisi (tengah) mengacungkan senapannya dalam bentrokan melawan massa yang ikut dalam demonstrasi menentang kudeta militer Myanmar di Naypyidaw, pada 9 Februari 2021. HIngga kini sudah 706 orang tewas di tangan aparat keamanan Myanmar./STR via AFP)
Ketika dimintai keterangan, seorang juru bicara Junta juga tidak dapat dihubungi.
Sementara itu, pada Jumat (9/4) lalu, sebanyak 82 demonstran dilaporkan tewas dibunuh pasukan keamanan di Kota Bago,
sekitar 70 kilometer timur laut Kota Yangon, Myanmar. Banyak penduduk kota yang telah melarikan diri, menurut akun di media sosial.
Salah seorang demonstran bernama Ye Htut, mengungkapkan, penembakan dimulai sebelum fajar akhir pekan lalu dan berlanjut hingga sore hari.
"Ini seperti genosida, mereka menembaki setiap bayangan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), hingga kini total kematian akibat kekerasan pasukan keamanan yakni 706 jiwa, termasuk 46 anak-anak.
Juru bicara Junta, Mayjen Zaw Min Tun, pada konferensi pers Jumat (9/4) di ibukota Nay Pyi Taw, mengatakan,