Ex Philosophia Claritas
Merawat Ekologi, Memperlakukan Alam dengan Baik
Sebetulnya tidak ada bencana alam, yang ada justru bencana bagi manusia karena tidak memahami alam, dan karena itu, kenali alam, patuhi hukum-hukumnya
Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado
Pegiat Filsafat
LATAR yang membingkai refleksi ini adalah buku ‘Filsafat Lingkungan’ karya Sonny Keraf yang sangat ‘up date’ saat ini.
Betapa tidak, selang seminggu atau dua minggu yang lalu, bencana alam melanda beberapa kota di Indonesia. Bencana alam itu datang di saat bencana nonalam belum usai.
Di balik semua bencana ini, tentu ada permasalahan pelik yang harus dicarikan solusinya.
Masalah ini tentu menjadi seksi dan sensitif, karena akan menyentuh akar masalah, yang atas cara tertentu, kembali kepada sikap manusia terhadap alam.
Terkait bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, kita sering mendengar keluhan seperti pemerintah tidak mampu mengatur tata lingkungan kota dan daerahnya.
Sering pula ada anggapan bahwa pembabatan hutan menjadi penyebab berkurangnya daerah resapan air.
Demikian juga banjir yang terjadi disinyalir karena daerah aliran sungai (DAS) yang semakin diperkecil ruangnya karena pembangunan gedung, dan sekian banyak alasan lain yang dikemukanan seputar penyebab bencana yang dimaksud.
Kendati demikian, kita tidak mutlak harus menyalahkan pemerintah sebagai orang-orang yang paling bertanggung jawab.
Demi mencari jawaban atas akar masalah bencana ini, kita perlu memahami bagaimana alam dan lingkungan pada dirinya, termasuk perilaku kita atasnya.
Proses pemanfaatan alam, sejauh bisa dimanfaatkan dengan baik, tentu harus mempertimbangkan analisis dampak lingkungannya.
Ketika akan membangun sebuah bangunan, seyogyanya dampak terburuknya yang bisa saja terjadi, harus dipertimbangkan, dan seharusnya juga dampak yang akan ditimbulkan telah dipikirkan oleh siapapun ‘stakeholder’ yang bertanggung jawab atas pembangunan itu.
Kendati sedemikian menyata dalam kehidupan kita, bencana alam bukan sepenuhnya kesalahan alam.
Saya mengutip pendapat sang filsuf wanita Indonesia, demikian saya menyebutnya, Dr Karlina Supeli, yang pernah mengatakan bahwa tidak ada bencana alam.
Alam dan hukumnya sudah seperti begitu. Manusia dengan ketidakpahaman mengintervensi alam. Alam dieksploitasi secara membabi buta, tanpa patuh pada hukum-hukumnya. Hasilnya yaitu bencana bagi manusia.
Dalam kondisi demikian, kita menolak menyalahkan diri sendiri dengan menyatakan bahwa ini bencana alam.
Jadi sebetulnya tidak ada bencana alam, yang ada justru bencana bagi manusia karena tidak memahami alam, dan karena itu, kenali alam, patuhi hukum-hukumnya.
Dari statement tersebut, nyatalah bahwa alam harus dijaga agar tidak membawa bencana pada manusia.
Lingkungan alam yang secara nyata menyatu dengan dan dikelola manusia, adalah tempat tinggal manusia, dia harus diperlihara dengan baik.
Terkait hal ini, kita perlu mengurai kembali apa itu lingkungan.
Lingkungan hidup dipahami sebagai ‘oikos’ yang berarti habitat tempat tinggal.
‘Oikos’ adalah keseluruhan alam semesta serta seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya, yakni di antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya.
‘Oikos’ adalah rumah, rumah semua makhluk hidup (bukan hanya manusia) yang sekaligus rnenggambarkan interaksi dan keadaan seluruhnya yang berlangsung di dalamnya. (Keraf 2014: 42).
Demikian juga, ‘oikos’ disepadankan dengan ‘logos’, sehingga menjadi ‘oikos-logos’- ekology-ekologi.
Maka, ekologi berarti ilmu tentang lingkungan, juga berarti ilmu tentang ekosistem yang menyangkut segala hubungan, serta saling pengaruh di antara ekosistem dan isinya, termasuk dinamika dan perkembangannya.
Dalam proses interaksi dengan lingkungan, semua saling menyesuaikan dan saling memengaruhi. Maka dalam ekologi itu yang paling penting adalah kehidupan dan interaksi yang terjalin. (ibid.)
Jadi, lingkungan adalah segalanya yang ada di sekitar kita. Termasuk semua yang hidup dan yang tidak hidup yang dengannya kita berinteraksi.
Dan itu mencakup jaringan hubungan kompleks yang menghubungkan kita satu sama lain dan dengan dunia tempat kita tinggal. (Miller & Spoolman, Essential Ecology, 2009).
Bencana alam yang terjadi menegaskan bahwa kita sedang mengalami krisis yang serta merta mengancam kehidupan pada umumnya.
Mengutip apa yang dikatakan Fritjof Capra, sebagaimana Keraf menyatakan dalam ‘Filsafat Lingkungan’, dikatakan bahwa kita sedang mengalami sebuah fase krisis yang mendalam yang melanda seluruh dunia.
Krisis yang kompleks dan multidimensi itu menyentuh berbagai aspek kehidupan kita. Maka dalam kondisi demikian kita perlu mencari sebuah sumber masalah. (Keraf, 2014).
Pencarian sumber masalah dan pengambilan keputusan untuk ‘memperlakukan alam’, pada akhirnya menjadi pertimbangan logis di saat kita mengalami bencana.
Sudah seharusnya kita fokus pada langkah konkret yang saling menguntungkan. Ekosistem alam harus dibuat sedemikian menguntungkan manusia, tetapi juga memerdekakan alam itu.
Valentino Lumowa, akademisi Unika De La Salle, dalam paparannya “Daur Ulang Relasi dengan Alam” (Manado Post 25/01/21) menegaskan bahwa keputusan yang paling bijak adalah mengarusutamakan kebaikan tempat kita tinggal, sambil memperhatikan kreativitas kita di bidang ilmu pengetahuan yang seharusnya sebuah komunitas global yang ramah alam.
Demikian juga, keseimbangan ekologi harus menduduki level tertinggi pertimbangan. Maka daur ulang relasi manusia dengan alam, sangat mendesak harus ditempuh demi kemungkinan berkurangnya bencana bagi semua.
Dari sini, apakah mendaur ulang relasi dengan alam hanya dijalankan oleh masyarakat-rakyat saja? Ataukah ada kelompok tertentu yang harus bertanggung jawab dalam upaya yang dimaksud?
Menjawab pertanyaan ini, hemat penulis, harus ada sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, kelompok masyarakat, dan atau para pengkaji/ilmuwan di bidang alam dan lingkungan.
Demikian juga, peran pemerintah adalah peran protagonis, demikian kata Lumowa, yang seharusnya bekerja sama dengan dengan pusat penelitian tertentu, yang bertujuan mengidentifikasi pencegahan, penanggulangan, serta rehabilitasi.
Peran ini tidak sekadar motivasi saja, pelibatan ilmuan-ilmuan tentu akan melahirkan sebuah aksi nyata bagi masyarakat, karena masyarakat butuh harmoni dengan alam.
Akhirnya, saat ini, kita sangat perlu mendaur ulang relasi kita dengan alam, sambil tentu mendasarkan proses pendaurulangan itu pada pemahaman yang benar pada ekologi yang benar, tepat dan terukur.
Niscaya mendaur ulang ini bisa menjadi salah satu cara untuk bisa merawat alam, merawat lingkugan dan akhirnya manusia dan alam dalam relasi satu sama lain, bisa terawat pula. (*)
• Kuasa Hukum FPI: Polisi Kok Masih Sebut FPI? Kan Sudah Dibubarkan
• Jangan Anggap Remeh, Kekurangan Vitamin A Bisa Berbahaya, Ini 8 Tandanya
• Honda Mobilio Bekas Taksi Jadi yang Paling Diminati, Harga Dijual Mulai Rp 100 Jutaan