OPINI
Catatan Kritis terhadap Pengesahan PP Kebiri
Pembatasan hak asasi manusia seperti hukuman kebiri kimia hanya dapat dilakukan dengan syarat yang sangat ketat dan merupakan upaya terak
Oleh: Haswandy Andy Mas
Praktisi Hukum dan HAM / Direktur LBH Makassar 2016-2020)
Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020, tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Beleid tersebut diteken Jokowi pada 7 Desember 2020 lalu.
Pertimbangan Presiden, PP ini diharapkan antara lain dapat mengatasi kekerasan seksual terhadap anak sekaligus memberi efek jera terhadap pelaku serta mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Berikut ini catatan kritis saya terhadap pengesahan PP tersebut yang lebih mudah diingat sebagai PP Kebiri.
Pertama bahwa PP Kebiri yang mengatur teknis tindakan kebiri kimia khusus bagi bagi terpidana yang melakukan tindak pidana berulang kekerasan seksual terhadap anak (residivis) atau korbannya lebih dari satu, sebenarnya adalah aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2O16 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Kedua bahwa dalam perspekti hak asasi manusia, hukuman kebiri kimia bagi terpidana adalah salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi karena menimbulkan rasa sakit baik fisik maupun mental.
Hal ini ditentang dan dilarang berdasarkan Konvensi Internesional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan UU No.5 Tahun 2008.
Baca juga: Daftar Miliarder China yang Sempat Menghilang Seperti Jack Ma, Ternyata Bukan Hal Aneh
Ketiga bahwa pembatasan hak asasi manusia seperti hukuman kebiri kimia hanya dapat dilakukan dengan syarat yang sangat ketat dan merupakan upaya terakhir jika semua upaya pencegahan (misalnya hukuman pemenjaraan dan layanan rehabilitasi) telah dilakukan secara optimal namun tidak efektif mencegah terjadinya kejahatan tindakan kekerasan seksual terhadap anak.
Keempat bahwa sejauh ini belum ada data yang menunjukkan bahwa tindakan kebiri kimia (paling lama selama 2 tahun) akan dapat memperbaiki mental dan perilaku terpidana agar tidak lagi melakukan perbuatan yang sama.
Hal ini tersirat dalam ketentuan Perpu No 1 Tahun 2016 dan UU No 35 Tahun 2014, yang mensyaratkan kebiri kimia tetap disertai Rehabilitasi (medis, psikiatri dan sosial) dan Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik.
Dengan begitu, secara implisit terdapat kesan dalam ketentuan hukum tersebut mengakui bahwa selama ini ada persoalan mendasar dalam pelaksanaan rehabilitasi (medis, psikiatri dan sosial) di rutan dan lapas serta proses Reintegrasi sosial terhadap narapidana paska menjalani hukuman pemenjaraan.
Jangan-jangan ada persoalan managemen dan koordinasi antara petugas layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Salah satunya koordinasi intensif dan keseinambungan data assesment dan perkembangannya antara petugas lapas dan petugas PK-Bapas serta lembaga-lembaga terkait atau persoalan kuantitas petugas layanan rehabilitasi?
Baca juga: 4 Zodiak Paling Tangguh, Tak Mudah Menyerah Saat Hadapi Tantangan, Kamu Termasuk?
Sehingga proses rehabilitasi tidak efektif berjalan yang mengakibatkan adanya terpidana yang kembali mengulangi perbuatannya (kembali melakukan kekerasan seksual saat keluar dari penjara).
Ini mengingat persoalan kelebihan jumlah tahanan dan narapidana (overcroading) dibandingkan jumlah petugas lapas dan rutan, yang hingga saat ini belum teratasi.
Kelima, sejauh ini pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan HAM, belum pernah melakukan evaluasi dan kajian secara komprehensif mengenai sejauhmana kualitas dan kuanititas.
Mencakup managemen pengelolaan data dan koordinasi antar petugas layanan agar pelaksanaan rehabilitasi (kesehatan medis, kejiawan/ mental dan sosial) yang dijalankan di Rutan dan Lapas serta proses reintegrasi sosial bagi terpidana dapat berjalan efektif.
Indikatornya adalah masih banyaknya terpidana yang kembali mengulangi perbuatannya seusai menjalani hukuman pemenjaraan di Lapas.
Padahal ketika terpidana menjalani pemenjaraan di lapas, terpidana juga telah diberikan layanan rehabilitasi.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan sebenarnya saat ini bukan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku tetapi terlebih dahulu melakukan evaluasi secara mendalam dan konfrensif terhadap pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial selama ini.
Hal ini dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan Rehabilitasi dan Reintegrasi termasuk pelibatan dan pemberdayaan masyarakat sekitar.
Sehingga terpidana benar-benar tidak lagi mengulangi perbuatannya dan anak-anak Indonesia benar-benar aman dari ancaman kekerasan seksual. (*)
Makassar, 5 Januari 2021