Opini
Pilkada Dalam Cengkeraman Oligarki
MENGUTIP Pidato Bung Karno “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum
Penulis : Donny Rumagit
(Petani Marhaenis, Aktivis GMNI, mantan Jurnalis)
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - MENGUTIP Pidato Bung Karno “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan lantas engkau menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk-amuk belaka,” kata Bung Karno sebagai Presiden RI pada 17 Agustus 1966. Pidato ini dikenal dengan judul : “JAS MERAH”.
Saya mendapat undangan dari Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Tomohon Leon Wilar, untuk memantik diskusi akhir tahun bersama kader Marhaenis
"Pilkada dalam Cengkeraman Oligarki",
Senin (21/12/2020), yang dirangkaikan dengan ibadah menyambut Natal dengan tema Memperat Solidaritas Pasca Pilkada di Wisma Trisakti, Tomohon.
Apa itu Pilkada? Yaitu Sarana kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi (Pilgub) dan Kabupaten/Kota (Bupati/ wali kota). Dipilih dalam salah satu pasangan calon yang diusung Parpol/gabungan Parpol atau jalur calon perseorangan secara Luber dan Jurdil.
Baca juga: Sekda Marzanzius Ohy Bantah Jika Kabupaten Bolsel Masuk Zona Merah Covid-19
Apa itu kedaulatan rakyat? Kedaulatan rakyat merupakan suatu sistem yang menempatkan kekuasaan tertinggi di suatu negara berada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadikan rakyat memiliki kesempatan untuk mengatur hajat hidup dan menjadikan posisi pejabat publik sebagai representatif. Pada kedaulatan rakyat menunjukan gagasan, bahwa yang terbaik dalam masyarakat adalah yang dianggap baik oleh semua orang.
Pengertian kedaulatan sendiri adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu Negara. Kedaulatan rakyat pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bawah kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Implementasi kedaulatan rakyat mencerminkan dan mewujudkan kondisi demokrasi yang efektif. Masyarakat bisa menyampaikan aspirasi kepada lembaga negara lewat para wakilnya.
Kedaulatan rakyat merupakan teori yang mengatakan bahwa kekuasaan suatu negara di tangan rakyat.
Teori rakyat berusaha untuk mengimbangi kekuasaan tunggal raja atau pemimpin agama. Sumber ajaran atau dasar dari kedaulatan rakyat itu adalah demokrasi dan itu sudah dirintis di Yunani. Istilah demokrasi berasal dari kata Yunani, demos (rakyat) dan kratein (memerintah) atau kratos (pemerintah).
Maka demokrasi mengandung pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Baca juga: Dr Jannus Siahaan: Reshuffle Kabinet untuk Partai dan Pengusaha?
Sejarah Pilkada langsung di Indonesia dimulai sejak tahun 2005, namun pada tahun 2014 di era Presiden SBY terbit UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dikembalikan pada DPRD.
Hal ini mendapat penolakan luas dari rakyat, maka SBY mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada secara langsung dan di era Jokowi keluar lagi UU Nomor 1 tahun 2015 ttg pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, di era ini dimulainya istilah pemilihan serentak di 269 daerah yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota (Sulut, Tomohon Cs).
Pilkada serentak 2017 diikuti 101 daerah yaitu 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten (DKI, Sangihe dan Bolmong) dan Pilkada serentak 2018 di 171 daerah yaitu 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota ( Minahasa, Mitra Cs) dan selanjutnya Pilkada 2020, awalnya akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020.
Akan tetapi, karena pandemi virus Corona, pelaksanaan pilkada dilaksanakan pada 9 Desember 2020, di 270 daerah, dengan perincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang saat ini hasilnya telah kita ketahui bersama.
Pertanyaannya apakah dengan Pilkada langsung, rakyat sebagai pemilik kedaulatan sudah sejahtera?
Pilkada dalam cengkeraman Oligarki
Oligarki? Adanya dominasi kekuasaan oleh segolongan elite dan golongan tertentu. Praktik demokrasi di Indonesia berlaku secara prosedural, namun dijalankan dengan prinsip- prinsip oligarki. Perjalanan sejarah Pilkada langsung sejak tahun 2005 lalu, meminjam istilah dari Jefrey A. Winter lewat bukunya oligarcy, pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Indonesia masuk dalam kategori ruling oligarchy yakni para oligarki mampu menggunakan pengaruhnya untuk melakukan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi demi keuntungan kaum oligarkis, yaitu mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan.
Salah satu problem proses demokrasi di Indonesia adalah rakyat sebagai pemegang kedaulatan belum mampu bersikap dan bertindak secara mandiri, rasional dan kritis ketika terlibat dalam proses politik.
Sebagian besar rakyat akan bergerak kalau dibayar atau kalau ada kepentingan yang menguntungkan pribadi, misalnya proyek, jabatan/kedudukan di pemerintahan.
Baca juga: Total Kekayaan 6 Menteri Baru Kabinet Indonesia Maju, Sandiaga, Risma hingga M Luthfi
Realitas inilah yang menjadi problem demokratisasi di Indonesia saat ini. Ketika ruang partisipasi politik terbuka lebar namun tidak disertai dengan pemahaman, cara berpikir dan bertindak politik yang rasional maka yang muncul adalah pragmatisme kemudian melahirkan oligarki politik.
Masyarakat yang cenderung pragmatis dan irasional inilah dimainkan oleh kekuatan kekuatan oligarki (Birokrasi, Kapital, elit parpol).
Pada sesi diskusi, saat moderator Leon Wilar memberikan kesempatan para peserta secara bergantian menyampaikan pandangan terkait dengan topik diskusi.
Salah satunya datang dari Juan Ratu, kader GmnI Manado yang pendapatnya diminta khusus untuk dinyatakan kembali.
Ratu yang baru saja dipercayakan sebagai Sekertaris Gerakan Minahasa Muda, menjelaskan
Pilkada di tengah cengkeraman Oligarki. Sebuah kata yang sangat relevan terjadi. Bagi kaum bernalar dan berdaya kritis, ini jelas di depan mata. Terutama dalam realitas interaktif di Indonesia. Saya menarik secara semiotika, Pilkada dengan cengkeraman. Secara analisis kerja kata cengkeraman, adalah kerja aktivitas yang dilakukan oleh tangan.
Dalam KBBI, diartikan cengkeraman, memegang erat-erat. Dengan kata lain, ada aktivitas tangan di sana. Tangan punya bahasa latin, manus. Dan kata manus inilah yang menjadi akar dari pembentukan, manage, yang menjadi disiplin ilmu management. Ilmu untuk menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien.
Namun, di lain sisi, kata manus juga, adalah akar dari istilah manipulasi. Yang artinya penyelewengan. Inilah yang sering terjadi dalam tahapan Pilkada, atau kontestasi Pilkada. Kondisi penyelewengan aturan yang terlihat terang-terangan ini, yang memiliki dasar munculnya ketidakpercayaan publik.
Terlihat penyelewengan elit penguasa dan pengusaha, yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok inilah, yang tersusun rapih dalam genggaman oligarki setiap sumber daya untuk hiduplah. Perlawanan secara massif dari masyarakat harus dilihat sebagai bentuk protes. Dan saya menilai, setiap perlawanan adalah tanda perjuangan.
Golput secara kajian kritis, pastilah akan dipertentangkan. Golput dalam masa awal penyelenggaraan pemilu adalah bentuk tidak terdaftarnya dalam sistem. Atau seorang terbuang secara sistemik untuk menggunakan haknya. Akan tetapi, masyarakat Indonesia yang mulai kritis.
Dengan sistem lewat aturan yang ada hanya membatasi figur untuk dipilih. Figur yang muncul sering memiliki track record yang tidak jelas ataupun lahir dari dinasti politik. Menambah daftar hitam kekecewaan masyarakat kritis. Dan, golput menjadi bukti perlawanan. Golput adalah hak, berarti golput adalah bagian dari gerakan politik.
Gerakan politik dari golput ini, menunjukan eksistensi dan hitung-hitungan, bahwa apakah pemimpin yang terpilih adalah hasil politik dari rakyat? Memiliki legitimasi hukum dan politik? Secara hukum dapat diklaim legitimasinya, lewat analisis positivistik legal. Akan tetapi, legitimasi politis sangat sulit dibuktikan.
Bila mau berkaca pada keberadaan hukum demokrasi klasik, 50% + 1, kemenangan hasil suaranya harus melampaui jumlah DPT, agar dapat dikatakan sebagai kondisi sah secara politis. Apabila tidak, sebenarnya secara sistemik politik, terjadinya abuse of politic atau politic vacuum. Dan, gerakan golput beserta gerakan yang kurang menghendaki pemimpin tersebut adalah bagian dari perjuangan untuk menghindari dari kemapanan struktural dari oligarki yang sementara membangun dinastinya.
Merujuk ke dalam keberadaan parpol, secara analisis, keberadaan reformasi yang hakiki hanya berlangsung dari 1998-2003, karena di era itulah rakyat yang mengatur negara secara bebas dan mandiri. Akan tetapi, era reformasi tinggalah nama, dengan kondisi yang hari ini terjadi.
Parpol di Indonesia sudah tidak ada lagi yang memiliki ideologi secara komprehensif ideal. Semua menjadi kabur kala kepentingan berkuasa lebih diutamakan, sehingga terkikisnya daya literasi dan pendidikan politik secara murni di masyarakat.
Ramalan Bung Karno, akan waspada terhadap kebangkitan neo kolonialisme dan neo imperialisme, hadir di era modern, dengan variabel post truth, pendekatan kekuasaan cenderung kolutif. Melahirkan neo orba. Terbukti dari kecenderungan pola koalisi di dewan dan di akar rumput. Secara ideologis, terbagi 3 parpol koalisi. Pertama, koalisi partai pemerintah. Kedua, koalisi partai nasionalis tapi oposisi. Ketiga, koalisi partai dan masyarakat sipil konservatif agama.
Pola ini pun lahir dengan tindakan represifitas, serta legislatif yang represif hingga terkesan ngebet atau bakuat skali mengesahkan UU berbau oligarki. Plus, jangan lupa presidennya pun dijuluki the smiling president.
Usai diskusi dilanjutkan dengan ibadah menyambut Natal yang dipimpin Bung Afry Pedju, STh ketua cabang GMNI Tomohon 2018-2020. (*)
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUN MANADO: