Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tribun Wiki

Desa Mopuya, Utopia Dunia Yang Terwujud di Pedalaman Bolmong

Desa Mopuya dikenal sebagai laboratorium kerukunan umat beragama di Indonesia. Di sana, umat Islam, Kristen dan Hindu, hidup berdampingan dengan damai

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Istimewa
Mesjid, Gereja dan Pura di Mopuya. 

Di Indonesia, mungkin hanya gereja GMIBM Immanuel di Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara, yang ibadah natalnya dijaga dua umat beragama sekaligus. 

Pemuda Muslim dan Pecalang Hindu nampak menjaga ibadah natal di gereja yang berdampingan dengan Mesjid dan Pura tersebut Rabu (25/12/2019) pagi.

Toleransi berlangsung dalam penggormatan terhadap keyakinan yang berbeda dan keyakinan kuat terhadap iman sendiri.

Umat Muslim mengenakan baju koko sedang pecalang dengan baju serta ikat kepala khasnya. Suasana mengharukan nampak kala ibadah selesai.

Umat Kristen salaman dan pelukan dengan Umat Islam dan Hindu yang berjaga depan gereja tersebut. Acara berlanjut dengan pesiar natal. 

Umat Muslim dan Hindu mengunjungi rumah umat Kristen. Tiga rumah ibadah berdampingan di Mopuya, Bolmong Sulut. Disana mereka bercakap - cakap dan makan dengan lahap.

Sang empunya rumah sudah menyiapkan makanan halal. "Itu jadi salah satu prioritas kami, menyediakan makanan halal agar saudara saudara kami yang beragama muslim dapat makan bersama sama kami," kata Suwito salah satu umat Kristen. 

Suasana kerukunan sudah nampak sejak beberapa hari sebelumnya. Kala itu, umat Muslim dan Hindu kerja bakti membersihkan halaman gereja. Kaum pria mencabut ilalang, memotong rumput yang tinggi dan meratakan tanah.

Kemudian membangun tenda, menghiasnya dengan nuansa natal. Di dalam gereja, kaum wanita sibuk mengepel lantai gereja. Ada pula yang turut mendekorasi bagian dalam gereja. 

Jal salah satu warga yang beragama Muslim mengatakan, tenda untuk ibadah natal di depan gereja dan pastori dibangun oleh umat Muslim.

"Kami buat secara gotong royong," kata dia. 

Sebut dia, umat Kristen taunya beres. Semua dikerjakan umat Muslim dan Hindu. Bahkan sampai bebersih gereja.

"Kami yang bersih - bersih. Gereja kami yang pel," katanya.

Sebut dia, hal tersebut sudah mentradisi. Hal yang sama terjadi saat Idul Fitri. 

"Gantian mereka yang sibuk," kata dia sambil tertawa. 

I Ketut Kolak, pemuka agama Hindu mengatakan, pihaknya mengerahkan pecalang untuk menjaga gereja saat ibadah natal. 

Para pecalang ini berbaur dengan pemuda muslim yang juga ikut berjaga.

"Sebaliknya saat nyepi, giliran mereka yang berjaga," kata dia. 

Sebut dia, tradisi tersebut sudah setua usia desa itu dan terus dipelihara generasi selanjutnya.

"Kami tahunya sudah seperti ini," kata dia. 

Usai ibadah natal, beber dia, umat Islam dan Umat Hindu akan bertamu di rumah umat Kristen. 

Sang tuan rumah menyediakan makanan yang halal bagi para tamunya.

"Kami seperti keluarga saja," kata dia. 

Beber Kolak, warga Hindu terpengaruh secara positif dengan tradisi pesiar natal dan idul fitri. 

Beberapa hari setelah nyepi, ia akan menyediakan jamuan bagi umat kristen dan islam yang datang bersilaturahmi. 

Dikatakan Kolak, kerukunan di Mopuya juga ditunjang adanya ikatan kekeluargaan diantara warga.

Sebutnya, warga sudah kawin mawin. Ada orang bali yang sudah kawin lantas pindah agama dan sebaliknya, jadi kami terikat saudara," beber dia. 

I Gede Gunung warga lainnya mengatakan, kawin mawin lantas pindah agama lumrah dan itu terjadi dengan mulus.

"Kalau sudah saling mencintai ya mau bagaimana," katanya. 

Bambang Triyanto Sekretaris BPJM Gereja Imanuel Mopuya mengibaratkan Mopuya sebagai miniatur keberagaman di Indonesia. 

"Disini perbedaan tak dipermasalahkan, justru jadi kekuatan," beber dia. 

Saat natal, beber dia, umat kristen merasa sangat aman dan nyaman. Sukacita natal begitu terasa.

"Paling bersukacita kalau natalan dalam suasana rukun, kami bersyukur akan hal ini," kata dia.

Ia membeber sembilan puluh persen jemaat beretnis jawa.

"Kami adalah transmigran dari Jawa Timur, tepatnya Banyuwangi, dari sana memang sudah Kristen," kata dia.

Ia bercerita, gelombang transmigran Jawa tiba di Mopuya pada 1972. Mereka datang lewat program pemerintah kala itu. Kami pertama tiba di sini, kemudian menyusul dari Bali," kata dia. 

Dikatakannya, umat Kristen mulanya beribadah di sebuah tempat. Menariknya tempat tersebut juga dipakai umat Islam dan Hindu untuk beribadah. 

"Jadi kami gantian beribadah," kata dia. 

Ketika ekonomi warga mulai maju, para pemuka agama berpikir untuk membuat tempat ibadah masing-masing. 

Dan diputuskanlah untuk membuat tiga tempat ibadah berdampingan agar marwah kerukunan dapat terjaga di setiap generasi.

"Sampai kini kerukunan itu terjaga betul," kata dia.

Itulah kerukunan di Desa Mopuya. Saat ibadah di gereja, bau dupa tercium kemudian adzan menggema.

"Sampai sampai ada humor Tuhan pun bingung mau dengar yang mana," kata Remmy salah seorang warga berkelakar sambil tertawa. (art)

Baca juga: Presiden Jokowi Minta Mendagri Tegur Kepala Daerah yang Ikut Berkerumun, Beri Contoh Baik

Baca juga: Seleksi Tamtama Paskhas TNI AU di Lanud Sam Ratulangi

Baca juga: Presiden Jokowi Minta Mendagri Tegur Kepala Daerah, Jangan Ikut Berkerumun

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved