Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tribun Wiki

Desa Mopuya, Utopia Dunia Yang Terwujud di Pedalaman Bolmong

Desa Mopuya dikenal sebagai laboratorium kerukunan umat beragama di Indonesia. Di sana, umat Islam, Kristen dan Hindu, hidup berdampingan dengan damai

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Istimewa
Mesjid, Gereja dan Pura di Mopuya. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Letaknya di pedalaman. Di Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).

Tapi Desa Mopuya adalah etalase alias taman depan Bolmong.

Bukan hanya Bolmong, tapi Indonesia. Bahkan, menurut Ustadz kondang Yusuf Mansur, merupakan etalase 
dunia dalam hal kerukunan beragama.

Desa Mopuya memang dikenal sebagai laboratorium kerukunan umat beragama di Indonesia.

Di sana, umat Islam, Kristen dan Hindu, hidup berdampingan dengan damai.

Kerukunan itu termanifestasi dengan tiga tempat ibadah yakni Mesjid, Gereja dan Pura yang berimpitan di jalan masuk desa tersebut.

Keteladanan lainnya desa itu adalah kemakmurannya.

Lihat saja rumah warganya. Umumnya berukuran besar.

Setiap rumah memiliki taman dan garasi mobil.

Rumah umat Hindu punya tempat pemujaan yang berarsitektur indah dan mahal.

Tak perlu jauh jauh belanja, desa itu punya pusat pertokoan sendiri.

Untuk urusan kesehatan, tersedia dua klinik.

Di kiri kanan, sawah membentang. Tiap pagi, pria dan wanita menuju sawah dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

Kehidupan di sini mirip utopia.Contohnya, jika dompet jatuh, tak akan ada yang akan mengambilnya.

Semua pada sibuk dengan kemakmuran masing - masing. Jika anda skeptis, menganggap dunia yang penuh kekerasan, politik identitas, ekstrem kanan dan kemiskinan adalah keniscayaan, datanglah 
ke Mopuya. Niscaya skeptisme akan berubah jadi harapan.

Masih ada peluang bagi dunia untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Desa Mopuya berjarak sekira 70 KM dari pusat kota Lolak, Bolmong dan 30 kilometer dari Kota Kotamobagu.

Dari Manado, perjalanan dapat ditempuh selama hampir lima jam menggunakan kemdaraan roda empat.

Transportasi bisa memakai layanan Damri, angkutan umum lainnya atau taksi rental.

Kisah Suksis Transmigrasi

Kemakmuran tersebut merupakan buah perjuangan dari warga transmigran Bali.

Perjuangan mereka bak kisah perwayangan, di mana seseorang harus menahankan derita yang panjang, menanggung hinaan, demi menempuh jalan yang mulia, dan akhirnya kemenangan jadi milik yang tabah, tulus serta sabar.

Tribun berjumpa dengan Made Gunung, salah satu transmigran generasi pertama. Dia bercerita, mereka sekeluarga bermigrasi ke Bolmong pada tahun 1974.

"Waktu itu Bali sudah sangat padat, lahan sangat sempit, hingga ayah kami memutuskan menerima tawaran bertransmigrasi," kata dia.

Sebab lain, beber dia, adalah meletusnya gunung agung di Bali.

Made yang waktu itu baru berumur 11 tahun, naik kapal bersama ayah, ibu dan lima saudaranya. Malangnya, sang ibu wafat di kapal.

"Terpaksa jenazah ibu kami tinggalkan di Sulawesi Selatan," kata dia.

Dalam keadaan masih berduka, mereka mendarat di Inobonto.

Perjalanan menuju Dumoga memakan waktu hingga sehari.

"Kami naik truk tapi jalan waktu itu sangat sulit, banyak sungai kecil dan jembatan masih pakai batang kelapa," kata dia.

Ia bercerita, sebuah sungai harus dilewati dengan berenang. Tiba di Mopuya, Made sekeluarga mendapati lahan yang dijanjikan masih hutan belantara. 

"Masih hutan rimba, kami ditampung sementara di rumah seorang jawa yang lebih dulu bermukim di sana," kata dia. 

Made menjelaskan, lahan untuk rumah maupun lahan pertanian yang diberikan pada warga sudah ditandai. 

Persoalannya tak mudah mencarinya di tengah hutan belantara.

"Kami harus naik pohon yang tingginya puluhan meter untuk melihat di mana lahan kami," kata dia. 

Melewati deretan pohon berdiameter hampir dua meter, menyusuri rawa, Made sekeluarga mencari lahan mereka dengan tekun. Kadang sampai berhari hari lamanya. 

Sebuah rumah gubuk pun berdiri di tengah hutan. Namun masalah tak berhenti.

"Kini jadi masalah bagaimana kami makan, makanan tak ada, pasokan beras sering tersendat, uang pun tak ada," kata dia. 

Made bercerita, sang ayah kerap berjalan kaki hingga belasan kilometer hanya untuk mengambil ubi. Setiap hari mereka makan ubi.

"Hidup kami sangat sulit, waktu itu banyak yang ingin kembali ke Bali tapi tak sanggup karena tak punya uang, kami berpikir entah sampai kapan hidup seperti ini," kata dia. 

Made memulai usaha pertaniannya dengan menanam kedelai. Kemudian jagung. Tahun 1990, mulailah ia menanam padi sawah.

Ekonomi keluarga pun terkatrol. Kini ia punya sebuah rumah yang besar, tempat usaha, mobil serta tempat pemujaan keluarga di dalam halaman rumah. Ia membeber, kerja keras adalah kuncinya.

"Kami datang di sini hanya fokus bekerja, tak ada hal lain yang dipikirkan, hanya bekerja dan fokus, ulet, hemat dan pantang menyerah, itulah kuncinya," kata dia.

Ia mengaku sudah betah di Bolmong. Tanah Bali hanya enam kali diinjaknya setelah ia bermukim di Bolmong.

Indahnya Kerukunan

Di Indonesia, mungkin hanya gereja GMIBM Immanuel di Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara, yang ibadah natalnya dijaga dua umat beragama sekaligus. 

Pemuda Muslim dan Pecalang Hindu nampak menjaga ibadah natal di gereja yang berdampingan dengan Mesjid dan Pura tersebut Rabu (25/12/2019) pagi.

Toleransi berlangsung dalam penggormatan terhadap keyakinan yang berbeda dan keyakinan kuat terhadap iman sendiri.

Umat Muslim mengenakan baju koko sedang pecalang dengan baju serta ikat kepala khasnya. Suasana mengharukan nampak kala ibadah selesai.

Umat Kristen salaman dan pelukan dengan Umat Islam dan Hindu yang berjaga depan gereja tersebut. Acara berlanjut dengan pesiar natal. 

Umat Muslim dan Hindu mengunjungi rumah umat Kristen. Tiga rumah ibadah berdampingan di Mopuya, Bolmong Sulut. Disana mereka bercakap - cakap dan makan dengan lahap.

Sang empunya rumah sudah menyiapkan makanan halal. "Itu jadi salah satu prioritas kami, menyediakan makanan halal agar saudara saudara kami yang beragama muslim dapat makan bersama sama kami," kata Suwito salah satu umat Kristen. 

Suasana kerukunan sudah nampak sejak beberapa hari sebelumnya. Kala itu, umat Muslim dan Hindu kerja bakti membersihkan halaman gereja. Kaum pria mencabut ilalang, memotong rumput yang tinggi dan meratakan tanah.

Kemudian membangun tenda, menghiasnya dengan nuansa natal. Di dalam gereja, kaum wanita sibuk mengepel lantai gereja. Ada pula yang turut mendekorasi bagian dalam gereja. 

Jal salah satu warga yang beragama Muslim mengatakan, tenda untuk ibadah natal di depan gereja dan pastori dibangun oleh umat Muslim.

"Kami buat secara gotong royong," kata dia. 

Sebut dia, umat Kristen taunya beres. Semua dikerjakan umat Muslim dan Hindu. Bahkan sampai bebersih gereja.

"Kami yang bersih - bersih. Gereja kami yang pel," katanya.

Sebut dia, hal tersebut sudah mentradisi. Hal yang sama terjadi saat Idul Fitri. 

"Gantian mereka yang sibuk," kata dia sambil tertawa. 

I Ketut Kolak, pemuka agama Hindu mengatakan, pihaknya mengerahkan pecalang untuk menjaga gereja saat ibadah natal. 

Para pecalang ini berbaur dengan pemuda muslim yang juga ikut berjaga.

"Sebaliknya saat nyepi, giliran mereka yang berjaga," kata dia. 

Sebut dia, tradisi tersebut sudah setua usia desa itu dan terus dipelihara generasi selanjutnya.

"Kami tahunya sudah seperti ini," kata dia. 

Usai ibadah natal, beber dia, umat Islam dan Umat Hindu akan bertamu di rumah umat Kristen. 

Sang tuan rumah menyediakan makanan yang halal bagi para tamunya.

"Kami seperti keluarga saja," kata dia. 

Beber Kolak, warga Hindu terpengaruh secara positif dengan tradisi pesiar natal dan idul fitri. 

Beberapa hari setelah nyepi, ia akan menyediakan jamuan bagi umat kristen dan islam yang datang bersilaturahmi. 

Dikatakan Kolak, kerukunan di Mopuya juga ditunjang adanya ikatan kekeluargaan diantara warga.

Sebutnya, warga sudah kawin mawin. Ada orang bali yang sudah kawin lantas pindah agama dan sebaliknya, jadi kami terikat saudara," beber dia. 

I Gede Gunung warga lainnya mengatakan, kawin mawin lantas pindah agama lumrah dan itu terjadi dengan mulus.

"Kalau sudah saling mencintai ya mau bagaimana," katanya. 

Bambang Triyanto Sekretaris BPJM Gereja Imanuel Mopuya mengibaratkan Mopuya sebagai miniatur keberagaman di Indonesia. 

"Disini perbedaan tak dipermasalahkan, justru jadi kekuatan," beber dia. 

Saat natal, beber dia, umat kristen merasa sangat aman dan nyaman. Sukacita natal begitu terasa.

"Paling bersukacita kalau natalan dalam suasana rukun, kami bersyukur akan hal ini," kata dia.

Ia membeber sembilan puluh persen jemaat beretnis jawa.

"Kami adalah transmigran dari Jawa Timur, tepatnya Banyuwangi, dari sana memang sudah Kristen," kata dia.

Ia bercerita, gelombang transmigran Jawa tiba di Mopuya pada 1972. Mereka datang lewat program pemerintah kala itu. Kami pertama tiba di sini, kemudian menyusul dari Bali," kata dia. 

Dikatakannya, umat Kristen mulanya beribadah di sebuah tempat. Menariknya tempat tersebut juga dipakai umat Islam dan Hindu untuk beribadah. 

"Jadi kami gantian beribadah," kata dia. 

Ketika ekonomi warga mulai maju, para pemuka agama berpikir untuk membuat tempat ibadah masing-masing. 

Dan diputuskanlah untuk membuat tiga tempat ibadah berdampingan agar marwah kerukunan dapat terjaga di setiap generasi.

"Sampai kini kerukunan itu terjaga betul," kata dia.

Itulah kerukunan di Desa Mopuya. Saat ibadah di gereja, bau dupa tercium kemudian adzan menggema.

"Sampai sampai ada humor Tuhan pun bingung mau dengar yang mana," kata Remmy salah seorang warga berkelakar sambil tertawa. (art)

Baca juga: Presiden Jokowi Minta Mendagri Tegur Kepala Daerah yang Ikut Berkerumun, Beri Contoh Baik

Baca juga: Seleksi Tamtama Paskhas TNI AU di Lanud Sam Ratulangi

Baca juga: Presiden Jokowi Minta Mendagri Tegur Kepala Daerah, Jangan Ikut Berkerumun

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved