Dilema Korea Selatan di Tengah Rivalitas AS-China
Terjebak di antara persaingan sekutu perdagangan dan sekutu pertahanannya di Asia Pasifik, Korea Selatan berada di posisi canggung dan penuh dilema.
Penulis Jefferson Winata Bachtiar Mahasiswa Hubungan Internasional, UKI Jakarta
Persaingan Amerika Serikat-China menempatkan banyak negara-negara berada di posisi yang canggung.
Beberapa negara seperti Australia, Jepang, Filipina, Selandia Baru, dan lain-lain berada di posisi tidak nyaman karena saat ini memang mereka tidak harus memilih di antara Amerika Serikat sebagai sekutu pertahanan atau China sebagai sekutu perdagangan.
Rivalitas keduanya membuat sistem perpolitikan di Asia Pasifik menjadi lebih kompleks belum lagi dengan adanya perang dagang AS-China, perselisihan laut China Selatan dan perbedaan pendapat di dalam ASEAN mengenai isu laut China Selatan, persaingan Jepang dan China dalam hal investasi infrastuktur di Asia Tenggara dan lain-lain.
Korea Selatan tidak juga menjadi pengecualian dalam hal pengaruh yang diberikan akibat adanya rivalitas AS-China.
Jika kita melihat lebih jauh, Korea Selatan memang sudah lama melakukan hubungan diplomatis dengan Amerika Serikat pada saat Dinasti Joseon menetapkan the 1882 Treaty of Peace, Amity, Commerce, and Navigation. Kemudian diikuti dengan kedatangan utusan diplomasi AS pada tahun 1883 hingga keterlibatan Washington dalam perang Korea. Pada tahun 2020 keduanya juga merayakan 67 tahun aliansi keduanya.
Di sisi lain, hubungan antara Korea Selatan dan China tidak dimulai dengan baik ditandai dengan keterlibatan China dalam Perang Korea. Namun, hal ini sangat berbeda dengan beberapa tahun belakangan.
Hubungan keduanya menjadi cukup harmonis dibawah perjanjian perdagangan bebas yang kedua belah setujui.
Bahkan, jumlah perdagangan yang dilakukan oleh Korea Selatan dengan China jauh melebihi dari jumlah perdagangan yang dilakukan oleh Korea Selatan dengan gabungan Jepang dan Amerika Serikat.
Lalu, apa yang menjadi masalah? Yang pertama adalah adanya power dilemma, Korea Selatan yang berjarak sangat dekat dengan China yang memiliki anggaran pertahanan enam kali lebih besar dari Korea Selatan dan memiliki ekonomi Sembilan kali lebih besar tentu sulit untuk melihat China sebagai sekutu.
Namun dengan adanya kehadiran militer AS di Korea Selatan membantu mencegah kedatangan ancaman keamanan yang ada.
Perlu diketahui juga bahwa beberapa waktu lalu Presiden Donald Trump mengisyaratkan Seoul untuk membayar lebih atas kehadiran militer AS di Korea Selatan.
Peningkatan biaya pembayaran yang signifikan ini menjadi sesuatu yang mengganggu Korea Selatan
Namun, apabila AS menarik kembali militernya, apakah Korea Selatan siap untuk berdiri sendiri menghadapi tekanan yang ada di sekitarnya?
Lalu, yang kedua adalah dilema ekonomi, melihat besarnya kuota perdagangan Korea Selatan dan China (telah mencapai hingga 284 juta dollar pada tahun 2019) serta perjanjian perdagangan (FTA) yang disetujui oleh keduanya, membuat Korea Selatan sulit untuk hanya memihak sepenuhnya pada salah satu pihak. Kemudian, mengingat kembali pada tahun 2017, ketika penempatan sebuah sistem pertahanan misil AS yang dinamai THAAD di Korea Selatan,
akhirnya membuat China membalas dengan memberhentikan turisme dari China ke Korea Selatan dan menghukum bisnis-bisnis Korea Selatan yang ada di China. Kejadian ini menegaskan keberadaan dan kekuatannya di kawasan.
Menyadari berada di posisi yang tidak diuntungkan, Presiden Moon Jae In menyatakan akan berusaha untuk menemukan “common ground” di antara kepentingannya dan Indo-Pacific Strategy Presiden Trump.
Kemudian untuk mengurangi ketergantungannya terhadap China, Seoul mulai membuka diri dengan negara-negara Asia Tenggara dan Selatan dan menjalankan New Southern Policy miliknya.
Kemudian, bagaimana masa depan Korea Selatan? Sulit untuk dibayangkan. Namun, sudah jelas bahwa Korea Selatan sekarang terus melakukan hedging terhadap kedua belah pihak dan berharap dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak walaupun kecenderungan untuk bekerjasama dengan AS tidak dapat diabaikan sepenuhnya.(*)
Referensi
U.S. Government. “U.S. Relations with the Republic of Korea.” U.S Department of State. Diperbarui September 22, 2020. https://www.state.gov/u-s-relations-with-the-republic-of-korea/
Ministry of Commerce of PRC. “China-Korea FTA.” China-FTA Network. Diakses pada November 2, 2020. http://fta.mofcom.gov.cn/topic/enkorea.shtml
Connect Americas and Intal. “South Korea.” the Observatory of Economic Complexity. Diperbarui September, 2020. https://oec.world/en/profile/country/kor/
Cha, Victor. “Collateral Damage: What U.S.-China Competition means for China,” Center for Strategic and Iinternational Studies, diperbarui pada 10 Oktober 2019, https://www.csis.org/analysis/collateral-damage-what-us-china-competition-means-korea#:~:text=The economic dilemma for South,relationship with the United States.&text=In short, South Korea cannot,third dilemma relates to unification.
The White House. “Remarks by President Trump and President Moon of the Republic of Korea in Joint Press Conference.” Remarks. Dikabarkan pada Juni 30, 2019. https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/remarks-president-trump-president-moon-republic-korea-joint-press-conference/
O’Hanlon, Michael E. “What is going on with the United States alliance with South Korea?” Order Chaos. Dikabarkan pada November 27, 2019. https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2019/11/27/what-is-going-on-with-the-united-states-alliance-with-south-korea/
Terry, Sue Mi. “The Unraveling of the U.S.-South Korean Alliance.” Foreign Affairs, Juli 3, 2020. https://www.foreignaffairs.com/articles/north-korea/2020-07-03/unraveling-us-south-korean-alliance
Friedman, Uri. “How to Choose Between the U.S. and China? It’s Not That Easy.” The Atlantic, Juli 26, 2020. https://www.theatlantic.com/politics/archive/2019/07/south-korea-china-united-states-dilemma/594850/