Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Donald Trump Tuding TikTok Lakukan Pencurian Data, China Pilih Tutup Bisnisnya di Amerika Serikat

Konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China bukan hanya terkait urusan politik.

Editor: Ventrico Nonutu
Kolase Tribun Manado/Istimewa
Ilustrasi 

Presiden dari Partai Republik tersebut mendesak divestasi TikTok, dan apabila TikTok menolaknya aplikasi itu akan dilarang di "Negeri Paman Sam".

Pada laman web berjudul "The Last Sunny Corner of The Internet", TikTok menyatakan, mereka tidak pernah aneh-aneh.

"TikTok tidak pernah memberikan data pengguna AS ke Pemerintah China, juga tidak akan melakukannya jika diminta," kata perusahaan aplikasi itu dalam unggahannya.

"Setiap sindirannya bertentangan, tidak berdasar, dan benar-benar salah," lanjut bunyi keterangan itu yang dikutip AFP, Selasa (18/8/2020).

TikTok melanjutkan, data pengguna AS disimpan di negara itu dan cadangannya ada di Singapura.

Aplikasi yang dimiliki ByteDance yang berbasis di China itu juga meluncurkan akun Twitter @tiktok_comms untuk membantu menyelesaikan masalah secara cepat.

Saat ketegangan meningkat antara AS dan China, Trump mengklaim TikTok dapat digunakan oleh China untuk melacak lokasi karyawan federal, membuat dokumen untuk memeras orang, dan melakukan spionase perusahaan. Suami Melania Trump itu juga memerintahkan pelarangan pada aplikasi perpesanan WeChat yang banyak dipakai di China.

Pada Jumat (14/8/2020), Trump menandatangani perintah eksekutif secara terpisah bagi ByteDance untuk menjual sahamnya ke Musical.ly.

Aplikasi itu dibeli ByteDance dan dilebur menjadi TikTok pada 2017.

TikTok mengatakan, tindakan AS itu "berisiko merusak kepercayaan bisnis global pada komitmen AS terhadap supremasi hukum, yang telah menjadi magnet bagi investasi dan memacu pertumbuhan ekonomi Amerika selama beberapa dekade."

Lebih lanjut TikTok juga menegaskan, mereka akan "mengupayakan semua pemulihan yang tersedia untuk memastikan aturan hukum tidak diabaikan."

Sementara itu, China pada Senin (17/8/2020) mengecam Washington dengan istilah "diplomasi kapal perang digital" dalam kasus TikTok.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Senin mengatakan, TikTok telah melakukan semua yang diminta AS, termasuk mempekerjakan orang Amerika sebagai eksekutif puncaknya, menyediakan server-nya di AS, dan memublikasikan source code-nya.

Namun, aplikasi tersebut "tidak dapat menghindari perampokan melalui tipu daya yang dilakukan oleh beberapa orang di AS, berdasarkan logika bandit dan kepentingan politik," kata Zhao dalam konferensi pers yang dikutip AFP.

Pada Senin juga, TikTok menjalin kesepakatan dengan platform distribusi musik UnitedMasters untuk menjangkau artis pemula dan penggemar mereka, meski ada bayang-bayang ancaman AS yang akan melarang aplikasi itu.

Sumber: TribunnewsWiki
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved