Tajuk Tamu Tribun Manado
Pelaksanaan Tri Hita Karana dalam Kehidupan New Normal Masyarakat Bali
Meskipun situasi masih dalam pandemi Covid-19, tidak menyurutkan tekad masyarakat Bali dalam melakukan yadnya atau persembahan.
Oleh:
Ni Nyoman Kurnia Wati M.Pd
Dosen PGSD STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Bali
Anggota Komunitas Art & Culture
BALI merupakan daerah yang terkenal dengan banyak budaya dengan penduduknya yang mayoritas beragama Hindu. Masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, memiliki beberapa ajaran yang diyakini untuk mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan, salah satunya adalah ajaran Tri Hita Karana.
Hakikat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan atau kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Kesejahteraan itu bersumber pada Parahyangan, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya; Pawongan, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya; dan Palemahan, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Keputusan Presiden Joko Widodo tentang kembalinya tatanan kehidupan normal atau new normal dalam masa pandemi Covid-19 yang berlaku mulai tanggal 5 Juni 2020 menyebabkan banyaknya perubahan pola kehidupan masyarakat. Berbagai kalangan menyambut baik keputusan presiden untuk memberlakukan new normal.
Betapa cepatnya penularan Covid-19 di berbagai daerah, khususnya Bali, menyebabkan keresahan masyarakat, namun pelaksanaan Tri Hita Karana masih tetap berlaku di masyarakat tentunya dengan memperhatikan aturan dan imbauan dari pemerintah.
Di era new normal ini pelaksanaan Tri Hita Karana di masyarakat dapat kita lihat secara nyata. Dari segi Parahyangan, masyarakat mengenal adanya upacara Dewa Yadnya. Meskipun situasi masih dalam pandemi Covid-19, tidak menyurutkan tekad masyarakat Bali dalam melakukan yadnya atau persembahan.
Selama pandemi Covid-19 masih berlangsung pelaksanaan upacara agama tetap dilaksanakan dengan memperhatikan prosedur tetap (protap) penanggulangan pandemi Covid-19 dari instansi yang berwenang, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Protap yang dimaksud antara lain menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), menjaga jarak antar orang paling sedikit 1,5-2,0 meter, menyediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau cairan pembersih tangan (hand sanitizer), kemudian mereka yang terlibat dalam upacara tersebut wajib menggunakan masker. Ketua PHDI Bali Prof I GN Sudiana menyatakan bahwa pada prinsipnya upacara tetap dilaksanakan sesuai tatwa, susila, dan upacara namun tidak melibatkan banyak orang.
Demikian halnya dengan pelaksanaan Pawongan atau hubungan manusia dengan sesama. Hubungan masyarakat dalam ngayah/menyama braya (gotong royong) dalam kehidupan masyarakat Bali masih tetap terlihat. Tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Dewa Yadnya, acara ngayah (gotong royong) pada masyarakat Bali juga tetap memperhatikan protokol kesehatan dan mengurangi kerumunan.
Hal yang dapat dilakukan sebagai salah satu contoh adalah dengan sistem Regu. Regu yang dimaksud adalah pembagian krama (masyarakat) ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 15-20 orang. Saat ada pelaksanaan ngayah (gotong royong) pada suatu desa maka yang diambil hanya satu regu sebagai bentuk gotong royong yang mewakili krama desa yang lainnya.
Poin ketiga dari Tri Hita Karana adalah Palemahan. Pelaksanaan Palemahan dilakukan oleh masyarakat Bali secara Niskala dan Sekala. Secara Niskala pelaksanaanya adalah melalui sesajen pada makhluk bawah/ Butha Kala (simbol raksasa).
Sesajen yang marak dilakukan saat Covid-19 adalah salah satunya adalah nasi wong-wongan. Nasi wong-wongan atau orang-orangan itu berupa bagian kepala dibentuk dari nasi warna putih, tangan kanan nasi merah, tangan kanan nasi kuning, dan badannya nasi campuran dari beberapa warna dan kakinya nasi warna hitam. Lalu, di sekitar bentuk wong-wongan itu ditaruh ulam (lauk) bawang, jahe, dan garam serta beralaskan ujung dari lembar daun pisang. Sesajen nasi wong-wongan ini diyakini sebagai makanan dari Butha Kala. Harapannya, Butha Kala datang memangsa nasi ini sebagai ganti agar tidak memangsa si pemilik rumah.
Seluruh imbauan sesajen ini berasal dari Lontar Rogha Sanghara Bumi. Lontar ini merupakan salah satu referensi yang berisi antara lain beberapa upacara serta sesajinya guna menetralisasi dari bencana di bumi. Tujuannya agar manusia kembali introspeksi dalam menjaga keseimbangan alam bumi.
Secara Sekala hal yang dilakukan masyarakat adalah dengan tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar. Dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan maka dapat memimalisasi penularan Covid-19. (*)
• Kursi Prabowo Aman: Empat Menteri Diprediksi Takkan Dicopot
• Angka Kematian Covid 19 di Indonesia Tinggi: Mencapai 5 Persen
• Pria Malang Tidur di Kuburan hingga Subuh, Pakai APD untuk Makamkan Jenazah Covid-19, Fotonya Viral