Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Penghapusan UN dan Peluang Peningkatan Literasi Siswa

Terobosan Nadiem jelas merupakan sebuah kemewahan. Inilah saatnya para guru sigap menangkap peluang.

Editor: Sigit Sugiharto
Basuki
Basuki, guru yang saat ini tinggal di Jakarta. 

Oleh: Basuki

Kritik bahwa bangsa kita belum literer, masih hidup dalam budaya lisan, telah berulang dikemukakan. Kita tentu sepakat dengan kritik ini. Sebab berbagai hasil survei pun meneguhkannya. Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University pada Maret 2016, menunjukkan tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat kita, memang masih rendah. Kita berada di urutan ke-60 dari total 61 negara yang disurvei (The Jakarta Post, 12/3/2016, detik.com, 5/1/2019).

Demikian pun survei UNESCO empat tahun sebelumnya (2012), hasilnya setali tiga uang. Badan khusus PBB yang bertugas mempromosikan kerja sama antarnegara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya ini, mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca (Kompas.com, 19/5/2015).

Literasi memiliki banyak arti. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary & Thesaurus memaknai literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Sementara Duta Baca Indonesia Najwa Shihab memberikan penjelasan lebih luas (republika.co.id, 31/7/2019): Literasi bukan hanya sekadar membaca atau kemampuan menulis, literasi itu adalah kemampuan menyerap informasi dan mengolahnya sehingga berguna untuk kehidupan.

Dari pengertian di atas tidak berlebihan jika dikatakan, siapa lebih literer, dalam arti bisa menyerap informasi dan mengolahnya, dialah yang akan memenangi persaingan. Tahun 1904, sebagaimana ditulis H Witdarmono (“Literasi Memenangi Kehidupan”, Kompas.com, 23/11/2010), Jepang dan Rusia terlibat perang. Perang ini mencapai puncaknya pada 27-28 Mei 1905, yakni saat terjadi pertempuran hebat di Selat Thushima. Jepang menang. Yang menarik adalah analisa dari Geoffrey Jukes. Jukes dalam bukunya The Russo Japanese War 1904-1905 mengatakan bahwa penentu hasil perang itu bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi. Lho kok bisa? Bisa. Ternyata, hanya 20 persen personel militer Rusia bisa ”membaca dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern (saat itu) dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi.

SEBAB LITERASI JALAN DI TEMPAT

Jika literasi itu penting dalam kehidupan, mengapa tingkat literasi kita jalan di tempat? Apakah karena nature bangsa (murid) kita kurang pintar? Jelas tidak. Tidak mungkin Tuhan menciptakan ada bangsa bodoh, ada bangsa pintar. Cerdas tidaknya suatu bangsa, jelas sangat berkorelasi dengan kualitas pendidikannya. Bicara tentang kualitas pendidikan, tidak bisa tidak hal ini berkait erat dengan sistem. Karena itu jika ditemukan anak-anak kita kurang literer, menurut saya, hal ini terjadi karena sistem yang salah.

Anak-anak kita telah berpuluh tahun ditelantarkan bakat dan potensinya. Pelajaran Bahasa Indonesia (BI) di sekolah tidak dijadikan sarana pemekaran keterampilan berbahasa yang semestinya, yakni: menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Lihatlah Ujian Nasional (UN) BI kita selama ini. Sudah bentuknya pilihan ganda, isinya pun sangat memberat ke tata bahasa. Mana mungkin dengan alat pengukur kompetensi semacam ini anak bisa menjadi komunikator handal?

Syukurlah, di tengah kegelapan dunia pendidikan Tanah Air, tampil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang dengan berani menghapus UN mulai 2021 dan menggantinya dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Terobosan Nadiem jelas merupakan sebuah kemewahan. Inilah saatnya para guru sigap menangkap peluang. Mereka bisa membantu meningkatkan level literasi siswa agar nantinya para peserta didik bisa menjadi pemikir-pemikir dan sekaligus komunikator-komunikator handal.

PILIHAN STRATEGI

Ada beberapa strategi yang bisa dipilih untuk meningkatkan literasi siswa. Pertama, guru harus bisa melihat signifikansi setiap topik. Topik yang dianggap kurang relevan dengan kebutuhan siswa bisa diabaikan. Setelah topik-topik yang “wajibkan” kurikulum diseleksi, guru bersama siswa berusaha bersama menemukan manfaat setiap materi yang dipelajari untuk kehidupan sehari-hari.

Kita sebagai guru, mesti tahu dan yakin bahwa materi yang kita ajarkan penting dan bermanfaat. Pelajaran sering menjadi tidak menarik dan membosankan karena guru gagal menemukan relevansi materi dengan kebutuhan anak didik. Inilah yang dikritik oleh murid bernama Sophie Amundsen dalam novel Sophie’s World karya Jostein Gaarder (1996). Sophie, gadis 14 tahun, dalam novel ini protes keras. Ia menganggap pelajaran di sekolah selama ini kurang berguna dan menantang. Katanya, “Mengapa di sekolah kita hanya membicarakan hal-hal yang remeh temeh (trivialities)?”

Sophie juga menuduh sekolah selama ini nampaknya berkutat membicarakan hanya persoalan-persoalan tidak penting. Dengan sinis, si Remaja ini lalu memberi saran, “Why couldn’t they talk about what a human being is—or about what the world is and how it come into being?” (hlm. 10)

Wow hebat sekali! Saya percaya ada banyak murid kita yang sekritis dan secerdas Sophie. Mungkin mereka juga bertanya, “Mengapa guru saya hanya berputar-putar mengajarkan awalan se, me, di, ber, pe, ter. Mengapa kita tidak belajar menganalisis gelontoran informasi yang sering berupa hoaks dan merusak serta mengacaukan persahabatan?”

Kedua, latih terus keempat keterampilan berbahasa dari tingkat yang sederhana ke yang lebih kompleks. Seperti halnya keterampilan-keterampilan lain, keterampilan berbahasa pun akan semakin mantap jika terus dilatih. Dhenok Kristianti, penyair perempuan Indonesia pemenang Sayembara Menulis Puisi Esai Asean 2019 bahkan mengatakan, “Kalau anak-anak ingin mahir berbahasa, mereka harus banyak praktik dan hindari teori yang muluk-muluk.”

Dhenok yang juga seorang guru di sekolah yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB) menambahkan, murid-murid kelas 11-12 yang mengambil A1 BI, mereka diwajibkan membaca 11 buku sastra dari berbagai genre. Semua buku yang dibaca ada tugasnya. Tugas ini bisa berupa presentasi lisan, analisis tulisan dan menulis esai sepanjang 1.500 kata.

Cambridge International Examinations lain lagi. Untuk menguji kompetensi Bahasa Indonesia 0538, kurikulum ini mensyaratkan siswa kelas 10 mengambil 3 ujian, yakni: tes lisan, Paper 1 (Reading and Understanding), dan Paper 2 (Reading and Writing). Di Paper 2 ini, dalam waktu 90 menit, murid harus menyelesaikan dua soal. Pertama, membaca dan membuat ringkasan sepanjang 130-180 kata. Kedua, menulis salah satu jenis teks (argumentasi, deksripsi, narasi) sepanjang 350-500 kata.

Saya yakin, murid-murid kita yang mengikuti kurikulum 2013 pun pasti mampu menulis esai sepanjang 500, 1.500 kata bahkan lebih. Tentu, hal ini bisa dicapai asal mereka dipersiapkan dan dilatih.

Terakhir, berbicara tentang meningkatkan literasi murid, khususnya dalam keterampilan menulis, sepertinya kurang efektif jika guru sendiri tidak menguasainya. Karena itu, sebagai guru BI yang tugas utamanya membantu mengembangkan keterampilan berbahasa peserta didik, khususnya keterampilan menulis, maka guru pun mau tidak mau harus belajar sehingga bisa menghasilkan jenis-jenis teks yang diajarkan kepada anak didiknya. Percayalah dengan terampil menulis, diharapkan guru tidak saja mampu menilai tugas siswa dengan jernih, tapi juga akan menambah kepercayaan diri saat memberikan pendampingan.***

Basuki, guru tinggal di Jakarta. Penulis bisa dihubungi di: basuki_cakbas@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Polisi Sipil, Bukan Alat Kekuasaan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved