Kasus Jiwasraya
Enam Terdakwa Kasus Jiwasraya Alirkan Dana ke 13 Perusahaan Investasi, Didasari Penyidik Kejagung
Dugaan ini yang mendasari penyidik menjerat 13 korporasi tersebut dengan pasal tindak pidana pencucian uang.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Kabar terbaru kasus Jiwasraya, Kejaksaan Agung menduga enam terdakwa kasus dugaan korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengalirkan uang ke 13 perusahaan manajer investasi yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Dugaan ini yang mendasari penyidik menjerat 13 korporasi tersebut dengan pasal tindak pidana pencucian uang.
“Sementara ini, penyidik menetapkan 13 korporasi itu karena diduga ada peran aktif dari terdakwa kemarin itu,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono di Gedung Bundar, Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (25/6/2020).
“Kemana sih duitnya? Para terdakwa kemarin, baik itu dari Jiwasraya maupun swasta, ada dugaan uang itu dialirkan ke 13 korporasi,” lanjutnya.
Keenam terdakwa yang dimaksud yaitu, Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.
Kemudian, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.

Penyidik, kata Hari, masih melakukan penyidikan lebih lanjut, termasuk motif terdakwa mengalirkan uang ke 13 perusahaan itu.
Sejauh ini, baru perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Hari, penyidik sedang menelusuri keterlibatan pengelola perusahaan yang juga diduga berperan aktif.
“Penyidik tentu akan mengembangkan apakah ada peran aktif dari pengelola tersebut,” tutur Hari.
“Ataukah para terdakwa yang kemarin sudah disidangkan itu yang berperan aktif untuk menempatkan dananya di korporasi,” ucapnya.
Menurut Kejagung, 13 perusahaan tersebut menyumbang kerugian negara sebesar Rp 12,157 triliun dari total penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 16,81 triliun.

Selain 13 perusahaan, Kejagung juga menetapkan satu tersangka baru.
Tersangka tersebut berinsial FH yang pada saat kejadian menjabat sebagai Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode Februari 2014-2017.
Sejak 2017 hingga sekarang, FH menjabat sebagai Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II OJK. Hari menuturkan, sejauh ini FH belum ditahan.
FH dijerat dengan dugaan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang apabila ditemukan bukti dari hasil pengembangan nantinya.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan enam tersangka yang kini tengah memasuki proses persidangan.
Keenamnya didakwa merugikan negara sebesar Rp 16,81 triliun seperti hasil penghitungan yang dilakukan BPK.
Selain dugaan tindak pidana korupsi, khusus terdakwa Heru Hidayat dan Benny Tjokro, keduanya juga didakwa dengan pasal terkait tindak pidana pencucian uang.
• Sidang Kasus Korupsi Jiwasraya Berlanjut ke Pemeriksaan Perkara Setelah Eksepsi Bentjok Ditolak
• Tolak Nota Keberatan Penasehat Hukum Terdakwa, Majelis Hakim Diminta Lanjutkan Perkara Jiwasraya
• Terdakwa Kasus Jiwasraya Benny Tjokro Bongkar Keanehan Dakwaan Jaksa, Singgung Direktur Keuangan
Karangan Bunga Terdakwa Bentjok Bukan Pelaku
Muncul dukungan berupa karangan bunga bagi Benny Tjokrosaputro, salah satu tersangka kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Sejumlah karangan bunga bagi Benny, tampak menghiasi PN Jakarta Pusat, jelang sidang kedua kasus korupsi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor yang beralamat di PN Jakarta Pusat.
Ada sekitar 30 karangan bunga di sepanjang trotoar PN Jakpus, bukan cuma itu terlihat juga karangan bunga dari nasabah Wanaartha.
Tampak sebuah karangan bunga bertuliskan 'BENTJOK BUKAN PELAKU UTAMA' terpampang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Nama Benny Tjokro, panggilan Benny Tjokrosaputro, sudah tidak asing lagi di kalangan investor saham.
Strategi investasi putra pertama dari pasangan Handoko Tjokrosaputro dan Lita Anggriani ini kerap menjadi rujukan bagi banyak pemain saham lain dalam meracik portofolio.
Majalah Forbes tahun lalu memasukkan Benny Tjokro dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia.
Cucu dari Kasom Tjokrosaputro, sang pendiri grup usaha Batik Keris, ini ada di urutan ke-43.
Forbes menaksir kekayaan pria yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Mei 1969, ini mencapai US$ 670 juta atau sekitar Rp 9,14 triliun (kurs Rp 13.650 per dolar AS).
Benny Tjokro memulai aktivitas investasinya di pasar modal sejak duduk di bangku kuliah.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Trisaksi, Jakarta, ini kenal dunia saham lantaran diajak teman-teman kuliahnya.
Saham PT Bank Ficorinvest Tbk merupakan portofolio pertama yang Benny Tjokro beli bermodal tabungan dari uang saku kuliah.
Dia membelinya langsung di pasar perdana alias saat Ficorinvest melantai di bursa efek.
Lalu, apa yang membuat Benny Tjokro tertarik bermain saham waktu itu? "Sederhana saja, mau cari untung," katanya kepada KONTAN dalam wawancara pada 1 Februari 2019 lalu.

Tapi, ketika itu, sang Ayah memarahinya begitu tahu Benny Tjokro bermain saham. "Awalnya, dia pikir bermain saham itu judi, lalu saya dimarah-marahin.
Tapi lama-kelamaan dibiarkan juga. Mungkin dia berfikir anaknya ini punya bakat. Sempat dimarah-marahi karena kalau saya rugi, kan dia yang nombokin," bebernya.
Mulanya, Benny Tjokro hanya mengeluarkan modal beberapa juta rupiah saja untuk bermain saham.
Tapi, "Begitu mau lulus kuliah, nekat main sampai ratusan juta rupiah," ungkap dia.
Sejatinya, sang ayah pernah meminta Benny Tjokro untuk belajar berbisnis biar tidak ketagihan bermain saham.
Misalnya, dengan membantu mengurus bisnis Keris Gallery.
"Disuruh ngurusin pertanian, juga pernah. Disuruh dagang semen sampai ke Timor Timur, pernah.
"Bangun rumah, pernah. Bikin pom bensin, pernah. Bebasin tanah, pernah. Jadi pengalaman saya sudah macam-macam," sebutnya.
Tapi, biarpun mendapat kerjaan macam-macam, tetap saja Benny Tjokro bermain saham.
"Dasar doyan, ya akhirnya saya dibiarkan bermain saham oleh bapak.
"Sebenarnya dikasih tanggungjawab pekerjaan saat itu agar saya tidak bermain saham. Tetapi, ya tetap saja saya bermain saham," ujar dia.
Cuma akhirnya, Benny meneruskan bisnis sang ayah yang kini menjelma menjadi Hanson International.
Dulu, ini merupakan pabrik garmen kecil yang ayahnya ambil alih.
Namun, waktu krisis moneter 1007-1998, kondisinya menjadi sangat berat sehingga harus menjalani restrukturisasi.
"Sebetulnya, itu punya adik saya, oleh adik saya lalu dijual untuk bayar utang.
"Adik saya lalu minta tolong agar Hanson diselamatkan, padahal isinya sudah dijual untuk bayar utang," jelas Benny Tjokro.
Lalu, Benny Tjokro pun menyelamatkan Hanson.
"Hanson tidak ada isinya, pabriknya sudah dijual, tetapi masih punya utang ke Bank Mandiri dan BNI Sekuritas.
"Saya tebus karena ingin menolong adik saya. Kemudian saya isi properti, hingga jadi seperti sekarang ini," ujarnya.
(Kompas.com/Kontan.co.id)