Wajar Presiden Menuai Kritik: Kebebasan Akademik di Kampus Menurun
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan upaya mengkritisi atau mengkritik presiden
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Namun, diskusi yang semula dijadwalkan diselenggarakan pada Jumat 29 Mei itu dibatalkan. Pembatalan itu karena dari pembicara hingga moderator mendapat ancaman dari sejumlah orang.
Berbagai teror dan ancaman dialami pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas 'Constitutional Law Society' (CLS). Teror mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.
Akhirnya, mahasiswa pelakasana kegiatan mengubah judul di dalam poster, sekaligus mengunggah poster dengan judul yang telah diubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Klarifikasi tersebut disertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan di dalam akun Instagram "Constitutional Law Society" (CLS)(https://www.instagram.com/p/CAuzTSqFZzu/).
Terjadi 14 Kasus Peretasan dan Intimidasi Digital
Selama periode April hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat adanya 14 kasus peretasan dan intimidasi digital yang dialami oleh aktivis hak asasi manusia (HAM) dari lintas bidang.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan kasus yang banyak disorot antara lain peretasan terhadap pegiat advokasi yang kerap mengkritik pemerintah yakni Ravio Patra.
Usman mengungkapkan Ravio sempat ditahan dan dituduh menyebarkan pesan bernada provokatif melalui aplikasi Whatsapp, padahal saat itu aplikasinya tengah diambil alih oleh peretas.
Tidak hanya itu, Usman mencontohkan pada pekan lalu beberapa akun memakai foto profil tak senonoh dan membuat kebisingan selama sidang saat sidang PTUN pemblokiran internet yang disiarkan secara virtual.
Ia mengatakan, hal tersebut mengganggu tim pembela kebebasan pers yang mengikuti jalannya sidang.Selain itu, menurut Usman, diskriminasi dan intimidasi juga terjadi terhadap para aktivis HAM yang menuntut penuntasan kasus Papua.
“Bentuk lain adalah munculnya desakan untuk membatalkan diskusi soal Papua. Diskusi yang sedianya diselenggarakan BEM UI Sabtu lalu misalnya. Karena pembicara dianggap tidak kompeten maka ada desakan agar diskusi itu dibatalkan,” kata Usman ketika dikonfirmasi pada Senin (8/6).
Usman juga mengungkapkan, tiga pembicara diskusi virtual mengenai laporan Amnesty International Indonesia ke Komite HAM PBB tentang lima masalah HAM di Papua Jumat lalu mendapat rentetan panggilan secara bersamaan dengan identitas penelepon dari luar Indonesia.
“Ini kan patut dipertanyakan. Bagaimana bisa tiga pembicara dalam diskusi yang sama mendapat panggilan bertubi-tubi dari lokasi yang serupa yaitu luar Indonesia? Belum lagi diskusi kami dipenuhi, peserta yang membuat kegaduhan sepanjang diskusi. Menurut hemat kami itu adalah intimidasi terhadap perjuangan penegakan HAM di Papua,” kata Usman.
Karenanya, Usman menilai walaupun sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan acuan untuk menjamin hak asasi manusia (HAM), dalam praktiknya masih banyak laporan-laporan masuk tentang pelanggaran hak untuk berkumpul dan berekspresi secara damai.
Usman mebegaskan, kebebasan berpendapat dan berekspresi telah secara jelas dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
"Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia," kata Usman. (gita/tribunnetwork/cep/glery)