Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Wajar Presiden Menuai Kritik: Kebebasan Akademik di Kampus Menurun

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan upaya mengkritisi atau mengkritik presiden

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan upaya mengkritisi atau mengkritik presiden merupakan suatu hal yang wajar dan bagian dari kebebasan berpendapat.

Tahun Ajaran Baru Tetap Juli: Pembelajaran Jarak Jauh Masih Dipertahankan

"Presiden itu identitas abstrak. Sama seperti pejabat publik, karena dipilih melalui jalur politik. Maka sudah sewajarnya presiden dikritik. Itu bagian tanggungjawab politik kepada pemilih," kata dia, pada sesi diskusi "Ada Apa Dengan Kebebasan Berbicara" yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Selasa (9/6).

Menurut dia, seharusnya upaya mengkritik presiden itu tidak dapat diproses hukum berdasarkan ketentuan aturan hukum pidana. Presiden sebagai seorang individu manusia, kata Usman, dapat mengajukan gugatan secara hukum perdata apabila merasa menjadi korban penghinaan.

Namun, kata dia, hukum pidana menyediakan celah agar seorang yang mengkritik presiden dapat dijerat hukum. Salah satunya melalui penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008.

"Menjadi konsekuensi politik kalau ke ranah hukum dibawa ke ranah perdata, bukan  ke  pidana. Pidana kenapa terjadi? Karena undang-undang menyediakan celah cukup tinggi. Diarahkan pada sanksi non pidana, bukan langsung memenjarakan orang. Tidak mengandung unsur kriminal," kata dia.

Dia melihat di Indonesia masih terdapat perdebatan. Batasan paling sederhana di kasus itu , katanya, kebencian. "Kalau itu didasarkan pada kebencian, rasial, etnis, asal-usul kebangsaan harus dilarang. Kalau dilanggar apa dipidana itu perdebatan," tambahnya.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengungkapkan soal ketentuan perbuatan melanggar hukum yang diatur di dalam KUHPerdata terkait peluang orang mengajukan gugatan apabila merasa dihina.

Lama Tak Terekspos, Begini Kabar Terbaru Dorce Gamalama, Dulu Pernah Mengaku Makan Harus Hati-hati

"Diatur, kalau Anda dihina oleh orang bisa melakukan gugatan. Kalau saya dihina si A, saya dibilang muka lo kayak monyet. Itu personal," ujarnya.

Sehingga, apabila presiden merasa dihina, maka dapat menempuh gugatan perdata tersebut. Sebab, dia menambahkan, jabatan publik seseorang termasuk presiden dapat dikritik.

"Karena kalau jabatan harus dikritik. Kalau presiden tidak bisa dikritik itu namanya paradigma feodal dan menyeret negara untuk turut serta persoalan personal. Dalam hukum itu soal perdata," tambahnya.

Musuh Kekuasaan

Di tempat yang sama, Haris Azhar kemudian menyoroti kebebasan berpendapat dan berpikir di Indonesia. Menurut dia, telah terjadi penurunan kebebasan berpendapat dan berpikir di Indonesia pada saat ini.

Pada saat ini, kata dia, sulit membedakan antara kritik dan penghinan kepada pemerintah, sebab jika mengkritik seorang pejabat pemerintah atas kinerja, itu hak publik yang harus didengarkan pejabat itu, bukan dilaporkan melalui jalur hukum.

"Kebebasan berbicara itu memang sarana untuk menyampaikan kritik yang sebenarnya, ini musuh dari penguasa, jadi hampir semua rezim bermusuhan dengan kebebasan berbicara," kata dia.

Dia menjelaskan, kebebasan berpendapat dan berpikir diatur di Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Acuan kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat di suatu negara bukan mengacu Indeks Freedom House atau Indeks Rule of Law, melainkan harus melihat langsung pada realitas yang ada di masyarakat.

Dia mencontohkan, pemerintah membuat hingga mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) bersama DPR, sama sekali mengabaikan masukan dari publik dan tanpa naskah akademik yang berbasis pada fakta sosial berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Misalnya, kata Haris, tentang kebijakan lingkungan hidup, bukannya justru memperbaiki undang-undang minerba untuk pemulihan mencegah anak-anak agar tidak gampang menjadi korban atau misalnya perlindungan para karyawan di perusahaan tambang, mestinya perbaikannya ke  sana kalau berbasis pada fakta atau truth.

"Kita jadi lebih buruk lagi situasi demokrasi kita, salah satu pilar penting dalam demokrasi kan kebebasan berbicara," kata dia.

Dia mengungkapkan hal menarik pada saat BJ Habibie dan Abdurahman Wahid saat memimpin negara Indonesia. Kalau Habibie yang demo dihitung sama dia, jadi waktu selesai laporan pertanggungjawaban di MPR disebutkan ada berapa demonstrasi terhadap dirinya.

Pelanggaran di Kampus

Pada diskusi yang sama, dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratman, mengungkapkan pelanggaran terhadap kebebasan akademik mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut berdasarkan hasil riset terkait kebebasan akademik yang dilakukan mulai dari tahun 2015-2018.

"2015, saya mengerjakan riset berfokus kebebasan akademik. Saya menelusuri kasus dan mengkomplikasi. Coba saya kualifikasi. Riset fokus pada kebebasan ekspresi," ujarnya.

Selama tiga tahun melakukan riset, dia mendapatkan kesimpulan serangan terhadap kebebasan berbicara di level universitas menunjukkan angka yang cukup tinggi. mUpaya serangan kebebasan berbicara itu dilakukan dengan berbagai macam cara.

China Sebut Sangat Konyol Terkait Peneliti yang Mengatakan Covid-19 Sudah Menyebar Sejak Agustus

"Mahasiswa ataupun dosen mau bikin acara ada pembatalan, ada pembubaran. Bahkan ada intimidasi selama proses maupun setelah diskusi. Ini berlanjut sampai 2018," kata dia.

Dia melihat cara-cara penyerangan kebebasan akademik itu merupakan bagian dari melegitimasi otoritarianisme.

"Menguat kembali otoriter. Menunjukkan karakter negara otoriter. Cara membungkam masih ada legasi otoritarianisme. Pemilu sistem politik kartel memberi jalan kuat bagi tampilnya otoritarianisme dalam model baru," ujarnya.

Belakangan, serangan terhadap kebebasan akademik kembali dilakukan. Terakhir, upaya ancaman disertai teror kepada panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.  Dia menambahkan apa yang terjadi merupakan sesuatu yang sama seperti apa yang pernah ditelitinya.

"Hanya mengulang tiga tahun saya melakukan riset," tambahnya.

Untuk diketahui, ancaman disertai teror dialami panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Insiden itu berawal dari diskusi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Constitutional Law Society (CLS). Diskusi itu bertema 'Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Namun, diskusi yang semula dijadwalkan diselenggarakan pada Jumat 29 Mei itu dibatalkan. Pembatalan itu karena dari pembicara hingga moderator mendapat ancaman dari sejumlah orang.

Berbagai teror dan ancaman dialami pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas 'Constitutional Law Society' (CLS). Teror mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.

Akhirnya, mahasiswa pelakasana kegiatan mengubah judul di dalam poster, sekaligus mengunggah poster dengan judul yang telah diubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Klarifikasi tersebut disertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan di dalam akun Instagram "Constitutional Law Society" (CLS)(https://www.instagram.com/p/CAuzTSqFZzu/). 

Terjadi 14 Kasus Peretasan dan Intimidasi Digital

Selama periode April hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat adanya 14 kasus peretasan dan intimidasi digital yang dialami oleh aktivis hak asasi manusia (HAM) dari lintas bidang.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan kasus yang banyak disorot antara lain peretasan terhadap pegiat advokasi yang kerap mengkritik pemerintah yakni Ravio Patra.

Usman mengungkapkan Ravio sempat ditahan dan dituduh menyebarkan pesan bernada provokatif melalui aplikasi Whatsapp, padahal saat itu aplikasinya tengah diambil alih oleh peretas.

Tidak hanya itu, Usman mencontohkan pada pekan lalu beberapa akun memakai foto profil tak senonoh dan membuat kebisingan selama sidang saat sidang PTUN pemblokiran internet yang disiarkan secara virtual.

Ia mengatakan, hal tersebut mengganggu tim pembela kebebasan pers yang mengikuti jalannya sidang.Selain itu, menurut Usman, diskriminasi dan intimidasi juga terjadi terhadap para aktivis HAM yang menuntut penuntasan kasus Papua.

“Bentuk lain adalah munculnya desakan untuk membatalkan diskusi soal Papua. Diskusi yang sedianya diselenggarakan BEM UI Sabtu lalu misalnya. Karena pembicara dianggap tidak kompeten maka ada desakan agar diskusi itu dibatalkan,” kata Usman ketika dikonfirmasi pada Senin (8/6).

Usman juga mengungkapkan, tiga pembicara diskusi virtual mengenai laporan Amnesty International Indonesia ke Komite HAM PBB tentang lima masalah HAM di Papua Jumat lalu mendapat rentetan panggilan secara bersamaan dengan identitas penelepon dari luar Indonesia.

“Ini kan patut dipertanyakan. Bagaimana bisa tiga pembicara dalam diskusi yang sama mendapat panggilan bertubi-tubi dari lokasi yang serupa yaitu luar Indonesia? Belum lagi diskusi kami dipenuhi, peserta yang membuat kegaduhan sepanjang diskusi. Menurut hemat kami itu adalah intimidasi terhadap perjuangan penegakan HAM di Papua,” kata Usman.

Karenanya, Usman menilai walaupun sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan acuan untuk menjamin hak asasi manusia (HAM), dalam praktiknya masih banyak laporan-laporan masuk tentang pelanggaran hak untuk berkumpul dan berekspresi secara damai.

Usman mebegaskan, kebebasan berpendapat dan berekspresi telah secara jelas dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.

"Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia," kata Usman.  (gita/tribunnetwork/cep/glery)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved