Wajar Presiden Menuai Kritik: Kebebasan Akademik di Kampus Menurun
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan upaya mengkritisi atau mengkritik presiden
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Dia mencontohkan, pemerintah membuat hingga mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) bersama DPR, sama sekali mengabaikan masukan dari publik dan tanpa naskah akademik yang berbasis pada fakta sosial berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Misalnya, kata Haris, tentang kebijakan lingkungan hidup, bukannya justru memperbaiki undang-undang minerba untuk pemulihan mencegah anak-anak agar tidak gampang menjadi korban atau misalnya perlindungan para karyawan di perusahaan tambang, mestinya perbaikannya ke sana kalau berbasis pada fakta atau truth.
"Kita jadi lebih buruk lagi situasi demokrasi kita, salah satu pilar penting dalam demokrasi kan kebebasan berbicara," kata dia.
Dia mengungkapkan hal menarik pada saat BJ Habibie dan Abdurahman Wahid saat memimpin negara Indonesia. Kalau Habibie yang demo dihitung sama dia, jadi waktu selesai laporan pertanggungjawaban di MPR disebutkan ada berapa demonstrasi terhadap dirinya.
Pelanggaran di Kampus
Pada diskusi yang sama, dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratman, mengungkapkan pelanggaran terhadap kebebasan akademik mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut berdasarkan hasil riset terkait kebebasan akademik yang dilakukan mulai dari tahun 2015-2018.
"2015, saya mengerjakan riset berfokus kebebasan akademik. Saya menelusuri kasus dan mengkomplikasi. Coba saya kualifikasi. Riset fokus pada kebebasan ekspresi," ujarnya.
Selama tiga tahun melakukan riset, dia mendapatkan kesimpulan serangan terhadap kebebasan berbicara di level universitas menunjukkan angka yang cukup tinggi. mUpaya serangan kebebasan berbicara itu dilakukan dengan berbagai macam cara.
• China Sebut Sangat Konyol Terkait Peneliti yang Mengatakan Covid-19 Sudah Menyebar Sejak Agustus
"Mahasiswa ataupun dosen mau bikin acara ada pembatalan, ada pembubaran. Bahkan ada intimidasi selama proses maupun setelah diskusi. Ini berlanjut sampai 2018," kata dia.
Dia melihat cara-cara penyerangan kebebasan akademik itu merupakan bagian dari melegitimasi otoritarianisme.
"Menguat kembali otoriter. Menunjukkan karakter negara otoriter. Cara membungkam masih ada legasi otoritarianisme. Pemilu sistem politik kartel memberi jalan kuat bagi tampilnya otoritarianisme dalam model baru," ujarnya.
Belakangan, serangan terhadap kebebasan akademik kembali dilakukan. Terakhir, upaya ancaman disertai teror kepada panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Dia menambahkan apa yang terjadi merupakan sesuatu yang sama seperti apa yang pernah ditelitinya.
"Hanya mengulang tiga tahun saya melakukan riset," tambahnya.
Untuk diketahui, ancaman disertai teror dialami panitia serta narasumber diskusi mahasiswa Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Insiden itu berawal dari diskusi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Constitutional Law Society (CLS). Diskusi itu bertema 'Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.