Wajar Presiden Menuai Kritik: Kebebasan Akademik di Kampus Menurun
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan upaya mengkritisi atau mengkritik presiden
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan upaya mengkritisi atau mengkritik presiden merupakan suatu hal yang wajar dan bagian dari kebebasan berpendapat.
• Tahun Ajaran Baru Tetap Juli: Pembelajaran Jarak Jauh Masih Dipertahankan
"Presiden itu identitas abstrak. Sama seperti pejabat publik, karena dipilih melalui jalur politik. Maka sudah sewajarnya presiden dikritik. Itu bagian tanggungjawab politik kepada pemilih," kata dia, pada sesi diskusi "Ada Apa Dengan Kebebasan Berbicara" yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Selasa (9/6).
Menurut dia, seharusnya upaya mengkritik presiden itu tidak dapat diproses hukum berdasarkan ketentuan aturan hukum pidana. Presiden sebagai seorang individu manusia, kata Usman, dapat mengajukan gugatan secara hukum perdata apabila merasa menjadi korban penghinaan.
Namun, kata dia, hukum pidana menyediakan celah agar seorang yang mengkritik presiden dapat dijerat hukum. Salah satunya melalui penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008.
"Menjadi konsekuensi politik kalau ke ranah hukum dibawa ke ranah perdata, bukan ke pidana. Pidana kenapa terjadi? Karena undang-undang menyediakan celah cukup tinggi. Diarahkan pada sanksi non pidana, bukan langsung memenjarakan orang. Tidak mengandung unsur kriminal," kata dia.
Dia melihat di Indonesia masih terdapat perdebatan. Batasan paling sederhana di kasus itu , katanya, kebencian. "Kalau itu didasarkan pada kebencian, rasial, etnis, asal-usul kebangsaan harus dilarang. Kalau dilanggar apa dipidana itu perdebatan," tambahnya.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengungkapkan soal ketentuan perbuatan melanggar hukum yang diatur di dalam KUHPerdata terkait peluang orang mengajukan gugatan apabila merasa dihina.
• Lama Tak Terekspos, Begini Kabar Terbaru Dorce Gamalama, Dulu Pernah Mengaku Makan Harus Hati-hati
"Diatur, kalau Anda dihina oleh orang bisa melakukan gugatan. Kalau saya dihina si A, saya dibilang muka lo kayak monyet. Itu personal," ujarnya.
Sehingga, apabila presiden merasa dihina, maka dapat menempuh gugatan perdata tersebut. Sebab, dia menambahkan, jabatan publik seseorang termasuk presiden dapat dikritik.
"Karena kalau jabatan harus dikritik. Kalau presiden tidak bisa dikritik itu namanya paradigma feodal dan menyeret negara untuk turut serta persoalan personal. Dalam hukum itu soal perdata," tambahnya.
Musuh Kekuasaan
Di tempat yang sama, Haris Azhar kemudian menyoroti kebebasan berpendapat dan berpikir di Indonesia. Menurut dia, telah terjadi penurunan kebebasan berpendapat dan berpikir di Indonesia pada saat ini.
Pada saat ini, kata dia, sulit membedakan antara kritik dan penghinan kepada pemerintah, sebab jika mengkritik seorang pejabat pemerintah atas kinerja, itu hak publik yang harus didengarkan pejabat itu, bukan dilaporkan melalui jalur hukum.
"Kebebasan berbicara itu memang sarana untuk menyampaikan kritik yang sebenarnya, ini musuh dari penguasa, jadi hampir semua rezim bermusuhan dengan kebebasan berbicara," kata dia.
Dia menjelaskan, kebebasan berpendapat dan berpikir diatur di Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Acuan kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat di suatu negara bukan mengacu Indeks Freedom House atau Indeks Rule of Law, melainkan harus melihat langsung pada realitas yang ada di masyarakat.