Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pilpres 2024 Bakal Terjadi Duel Lagi: Ambang Batas Parlemen pun Belum Disepakati

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Mochamad Nurhasim menilai, jika ambang batas presidensil (presidential threshold) yang diterapkan

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Kolase Tribun Manado/Foto: Istimewa
Penerus Jokowi di Pilpres 2024 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Mochamad Nurhasim menilai, jika ambang batas presidensil (presidential threshold) yang diterapkan sebesar 20-25 persen dalam draf RUU Pemilu, ada kemungkinan terjadinya polarisasi di masyarakat dan politic head to head antar capres-cawapres.

Masjid di Jakarta Perlahan Selenggarakan Salat Berjemaah

"Kita sudah mengalami ini di 2019, kenapa harus diulang?" ujar Nurhasim dalam iskusi virtual bersama Perludem, Minggu (7/6).

Presidential threshold perlu diubah, dikatakan Nurhasim, supaya bisa terciptanya tahapan awal capres yang berjumlah menjadi tiga sampai lima orang.

"Kemungkinan besar dua calon (jika menerapkan 25 persen presidential threshold), tiga calon sudah rumit. Apalagi kalau menggunakan komposisi perolehan suara Pemilu 2019, dan kemungkinan Pilpres akan satu putaran, polarisasi akan tinggi, dan ini akan berulang terus-menerus dalam konteks politik di Indonesia," lanjutnya

Pilihan 0 persen pun, dikatakan Nurhasim, tidak mudah karena bisa saja calonnya lebih dari 10 karena setiap partai mengajukan, fragmentasi politiknya jadi tinggi.

"Jadi yang memungkinkan adalah diturunkan jadi 10 untuk suara DPR dan 15 persen untuk suara tingkat nasional agar kemungkinannya bisa ada 4-5 calon," tutur Nurhasim.

Menurut Nurhasim, syarat ini memang perlu diubah dan tidak terlalu tinggi, karena Pemilu di Indonesia menganut sistem mayoritas mutlak atau pemenang harus mengantongi suara 50 persen plus 1.

"Ini memaksakan sistem Pilpres kita menjadi plurality seperti Pemilu 2014-2109. Indonesia  tidak menerapkan dalam amandemen UUD untuk pilpresnya itu plurality, karena kita membutuhkan mayoritas mutlak agar presiden itu milik bersama, bukan milik kelompok, sehingga kebijakan-kebijakan dan langkah-angkah yang diambil tidak menimbulkan persoalan," katanya.

SENIN, ASN dan THL Kotamobagu Mulai Masuk Kerja Seperti Biasa

"Kalau kemudian plurality terus, problem kepercayaan dan legitimasi yang dianggap kurang dan sebagainya ini akan terus-menerus menjadi persoalan," kata Nurhasim.

Ambang Batas Parlemen

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustofa mengatakan, ada tiga alternatif ambang batas parlemen dalam RUU Pemilu yang kni tengah digodok. Saan mengatakan, alternatif pertama adalah ambang batas parlemen minimal tujuh persen dan berlaku secara nasional.

"Jika pilihan ini diterapkan, partai yang masuk parlemen tingkat daerah mengikuti partai yang lolos ambang batas tujuh persen di nasional," kata Saan dalam diskusi virtual, Minggu (7/6). Adapun partai yang setuju alternatif pertama ini adalah NasDem dan Golkar.

Alternatif kedua, ditambahkan Saan, adalah ambang batas yang ditetapkan secara berjenjang. Saan mengatakan berjenjang itu yang dimaksud yakni lima persen untuk DPR RI, DPRD Provinsi empat persen, dan DPRD Kabupaten/Kota tiga Persen.

"Ini yang diinginkan PDIP. Jadi dari nasional, provinsi, kabupaten kota itu parlementary thresholdnya beda-beda dan berjenjang," tuturnya.

Politisi NasDem itu kemudian mengatakan, alternatif ketiga, yakni ambang batas DPR RI tetap empat persen. Adapun ambang batas DPRD provinsi dan kabupaten/kota menjadi nol persen.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved