Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Culture Shock, Peluang dan Tantangnya Saat Pandemi Covid-19

Culture shock tidak hanya terjadi dalam skala individu, namun bisa terjadi dalam skala komunitas.

Penulis: Dewangga Ardhiananta | Editor: Maickel Karundeng
Istimewa
Asep Rahman SKM MKes 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Sebelum kita benar-benar masuk dalam kebiasaan baru, yang disebut the new normal, kita akan sejatinya akan dan mungkin sedang mengalami proses yang bernama transisi kebiasaan.

Tahap transisi ini sering kali menjadi titik dilematis apakah kebiasaan baru tersebut diterima, ditolak ataupun dimodifikasi. Kondisi transisi ini biasanya disebut dengan culture shock.

Culture shock sendiri, lazimnya kita pahami sebagai kondisi dimana seseorang mengalami rasa kaget akan kondisi baru, mungkin karena berada pada lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya.

Culture shock tidak hanya terjadi dalam skala individu, namun bisa terjadi dalam skala komunitas.

Di era pandemi covid-19, culture shock benar-benar tampak terjadi di semua belahan bumi, semua lapisan masyarakat, dan bahkan berpeluang mempengaruhi seluruh komponen roda kehidupan umat manusia.

Contoh sederhana dari culture shock, yakni dulunya masyarakat kita memiliki kebiasaan cuci tangan hanya dilakukan sebelum makan.

Kini berbeda, bahkan seseorang hendak belanja di warung tetangga-pun diharuskan cuci tangan oleh pemiliknya.

Orang yang biasanya memakai masker hanya ketika berkendara di jalan, atau sedang sakit, maka sekarang seperti wajib pakai masker ketika berada di luar rumah.

Apalagi jaga jarak, yang dulunya identik dengan anti-sosial, justru kini menjadi hal yang lumrah.
Dalam kajian promosi kesehatan, culture shock bisa menjadi salah satu tahapan dalam perubahan perilaku sesorang dan masyarakat.

Oleh Prochaska dan DiClemente, yang merumuskan bahwa stages of change pasti melewati lima tahapan.

Pertama, tahap pra-kontemplasi, dimana seseorang belum menyadari perlunya perubahan perilaku karena individu tersebut merasa kebiasaan yang dilakukan merupakan normalitas yang baik-baik saja.

Tahap kedua disebut kontemplasi, dimana tahapan ini seseorang menyadari perlu untuk berubah. Bisa dikatakan, shock culture saat ini karena pandemic Covid-19 berada tahapan ini.

Tahapan ini benar-benar membuat seseorang mulai merasa bahwa kebiasaan lamanya perlu direnungkan kembali untung-ruginya.

Pada tahap ini, proses edukasi yang kuat sangat dibutuhkan, karena upaya menemukan ‘belief’ guna membangun motivasi perubahan sangat dibutuhkan pada kondisi ini.

Jika kita sukes pada proses kontemplasi, selanjutkan akan masuk pada tahapan ketiga yakni determination atau pengambilan keputusan.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved