Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

BPJS Kesehatan

Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Ini Rincian Perbedaan Perpres Dibatalkan MA

Hal ini berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Editor: Aldi Ponge
Kompas.com
Presiden Jokowi (Kompas.com) 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I, II dan III.

Hal ini berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan mulai diberlakukan pada 1 Juli 2020. Namun iuran kelas III baru akan naik atau diberlakukan pada tahun 2021.

Adapun kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres 64/2020 adalah sebagai berikut :

Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.

Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu.

Lantas apa bedanya dengan perpres yang sebelumnya dibatalkan MA?

Kenaikan ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) lalu.

Kenaikan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.

Pada Oktober tahun lalu, Jokowi juga sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut.

Lantas, apa bedanya Perpres terbaru dengan yang sudah dibatalkan MA?

Kompas.com membandingkan kedua aturan tersebut. Ada perbedaan dalam jumlah besaran kenaikan bagi peserta.

Kenaikan iuran dalam Perpres terbaru tak mencapai seratus persen, sehingga jumlahnya lebih kecil dari perpres yang dibatalkan MA.

Lalu, Perpres terbaru juga menerapkan subsidi dari pemerintah bagi peserta kelas III. Aturan subsidi itu tak terdapat dalam perpres lama.

Berikut rincian perbedaan tarif dalam perpres baru dan perpres yang dibatalkan MA:

Perpres 64/2020

  1. Iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
  2. Iuran peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
  3. Iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.

Perpres 75/2019

  1. Iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp 160.000, dari semula Rp 80.000
  2. Iuran peserta mandiri Kelas II naik menjadi Rp 110.000, dari semula Rp 51.000
  3. Iuran peserta mandiri Kelas III naik menjadi Rp 42.000, dari semula Rp 25.500

Pemerintah Tak Miliki Empati pada Masyarakat

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres 64/2020 di tengah pandemi Covid-19 tidaklah tepat.

Saleh mengatakan kenaikan iuran tersebut memperlihatkan pemerintah tidak memiliki empati kepada masyarakat.

"Saya melihat bahwa pemerintah tidak memiliki empati kepada masyarakat. Saat ini bukanlah waktu yang tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan, masyarakat dimana-mana sedang kesulitan," ujar Saleh, ketika dihubungi Tribunnews.com, Rabu (13/5/2020).

Apalagi, Saleh mengatakan di dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 jelas-jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Negara harus memberikan jaminan bagi terselenggarannya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Wakil Ketua Fraksi PAN tersebut mengkhawatirkan banyak masyarakat yang tidak sanggup membayar iuran karena kenaikan tersebut.

Akibatnya, kata dia, masyarakat tidak mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan.

Hal tersebut dinilai bisa menimbulkan dampak serius dan dapat mengarah pada pengabaian hak-hak konstitusional warga negara.

"Kita memahami bahwa negara tidak memiliki anggaran yang banyak. Tetapi, pelayanan kesehatan mestinya dijadikan sebagai program primadona. Seluruh lapisan masyarakat membutuhkan," jelas Saleh.

Di sisi lain, Saleh menuturkan Perpres baru tersebut akan dilawan oleh masyarakat dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA).

Berkaca pada gugatan sebelumnya, Saleh melihat potensi masyarakat menang sangat tinggi. Seharusnya, hal ini juga sudah dipikirkan oleh pemerintah.

"Kan repot sekali urusannya. Dinaikkan (iuran BPJS Kesehatan) lalu digugat. Gugatan menang, ganti perpres dan naikkan (iuran BPJS Kesehatan) lagi. Nanti digugat lagi, mungkin menang. Lalu pemerintah ganti perpres, iuran dinaikkan lagi," tandasnya.

Pemerintah Sebut Akan Turuti MA

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, pemerintah akan mengikuti keputusan terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung ( MA).

"Judicial review itu sekali diputus final dan mengikat.

Oleh sebab itu, kita ikuti saja, pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ujar Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (9/3/2020).

Dia menjelaskan, putusan judicial review merupakan putusan final dan tidak bisa banding kembali.

Sebab, judicial review berbeda dengan gugatan perkara maupun perdata yang masih memiliki cela untuk ditinjau kembali.

" Putusan MA, kalau judicial review itu adalah putusan yang final, tidak ada banding terhadap judicial review.

Berbeda dengan gugatan perkara, perdata atau pidana itu masih ada PK ya, kalau sudah diputus oleh MA di kasasi," jelas dia.

Sebelumnya, MA memutuskan mengabulkan sebagian uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, putusan itu dibacakan pada Februari lalu.

"Ya (sudah diputus). Kamis 27 Februari 2020 diputus. Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil," ujar Andi ketika dikonfirmasi, Senin (9/3/2020).

"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut," lanjut Andi.

Sementara itu, dikutip dari dokumen putusan MA, menyatakan pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian putusan tersebut.

Sebagaimana diketahui, pasal ini menjadi dasar pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.

Adapun uji materi ini diajukan oleh KPCDI.

Secara rinci, ini bunyi pasal yang dinyatakan tidak lagi mempunyai hukum mengikat:

Pasal 34

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:

a. Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.

b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau

c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. 
 

SUMBER: https://www.tribunnews.com/corona/2020/05/13/jokowi-naikkan-iuran-bpjs-kesehatan-pemerintah-tak-miliki-empati-pada-masyarakat?page=all

https://mataram.tribunnews.com/2020/05/13/jokowi-kembali-naikkan-iuran-bpjs-kesehatan-lalu-apa-bedanya-dengan-yang-dibatalkan-ma?page=all

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved