Virus Corona
Obat HIV Kaletra dan Obat Flu Arbidol Belum Mampu Atasi Virus Corona, Sebelumnya Dinilai Berpotensi
Studi lain tentang Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada Maret, juga menyimpulkan
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebuah hasil penelitian di China menemukan, obat HIV "Kaletra" dan obat influenza "Arbidol" tidak memiliki efek menyembuhkan pada pasien Covid-19 dengan gejala ringan ke cukup parah.
Seperti yang dilansir Forbes, Selasa (21/4/2020), studi tersebut merupakan penelitian acak kecil.
Hasil studi pun dipublikasikan di jurnal Med by Cell Press.
Ada 86 pasien virus corona yang dilibatkan dalam studi tersebut.
Sejumlah 34 pasien menerima Kaletra (lopinavir/ritonavir), 35 orang menerima Arbidol (umifenovir), dan 17 pasien lainnya hanya menerima perawatan suportif dan bantuan oksigen jika diperlukan.
Para peneliti menemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam jangka waktu perawatan atau keparahan gejala mereka berdasarkan obat yang mereka minum.
Bahkan, beberapa peserta yang menggunakan Kaletra memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok terkontrol.
Studi lain tentang Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada Maret, juga menyimpulkan obat itu tidak efektif.
Meski penelitian menyebut obat itu tidak efektif, pasar gelap untuk obat ini telah muncul di seluruh dunia, termasuk di Rusia, NY Times mengabarkan.
Meskipun kecil, penelitian ini mendepak dua dari perawatan virus corona yang sebelumnya dinilai potensial.
Menurut FDA, hingga saat ini, tidak ada obat yang disetujui untuk mengobati COVID-19.
Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, pertama kali direkomendasikan oleh pemerintah China untuk pengobatan virus corona pada Januari lalu.
Obat itu menghentikan replikasi virus HIV.
Para pejabat berharap Kaletra dapat melakukan hal yang serupa terhadap virus corona.
Kaletra kini masih sedang dipelajari dalam setidaknya 10 uji klinis aktif di seluruh dunia, menurut ClinicalTrials.gov.