Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Menjabarkan Trilogi Pembangunan Jemaat

MTPJ 03-09 November 2019; Diusir dari Taman Kebahagiaan

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang termulia. Kepadanya dikaruniakan berbagai bentuk keistimewaan antara lain; otak sebagai alat

Editor: Aswin_Lumintang
Netralnews.com
Alkitab 

Kegagalan itu terlihat dari ucapannya, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu nanti kamu mati. Dibandingkan dengan Kejadian 2:27, kutipan firman sebagai bantahan itu tidak lengkap dan tepat. Penambahan kata ‘ataupun raba’ buah itu dan menganti kata-kata pastilah engkau mati dengan nanti kamu mati mendeskripsikan inkonsistensi.

Di satu sisi memberatkan aturan/hukum Tuhan dan disisi yang lain meringankan sanksi hukuman. Demikian juga menghilangkan kata-kata “sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati” memperlihatkan adanya pemahaman yang “kurang utuh” mengenai firman Tuhan.

Inkonsistensi dan hilangnya komitmen untuk mentaati firman secara utuh menciptakan ruang kosong di dalam hati sehingga diisi oleh berbagai keinginan yang tidak benar. Ini menyebabkan konflik batin yang berat sehingga hidup dikuasai oleh keinginan semata lalu bertindak berdasarkan naluri atau kehilangan pertimbangan moral dan akal sehat.

ayat 4 dan 5 boleh disebut sebagai hoax (kebohongan) yang paling tua, yang pertama hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Dengan mudahnya hoaks ini merasuk dan merusak otak dan hati. “sekali-kali kamu tidak akan mati…kamu akan menjadi seperti Allah,” menjadi suatu tawaran menarik. Ini semakin merintangi untuk fokus kepada larangan, diperdaya oleh kebohongan yang menghanyutkan perempuan itu di dalam bayang-bayang keinginan yang kuat.

Perkataan-perkataan ular (ayat 4,5,6) menyeret si perempuan berada dalam ketegangan antara keinginan dan larangan. “…melihat bahwa buah pohon itu baik, sedap kelihatannya, menarik hati, memberi pengertian adalah upaya internal mencari solusi membenarkan diri untuk memperoleh kekuatan dan kekuasaan magis dari buah pohon itu. Ketegangan ini memproyeksikan larangan Tuhan sebagai penghalang keinginan manusia untuk mendapatkan haknya menjadi seperti Allah, tahu segala sesuatu. Jalan keluar memecahkan dilema ini, mengambil dan  memakan buah itu. Tragisnya, perempuan itu memberikan juga kepada suaminya yang tanpa pertimbangan menerima dan memakan buah itu.

Perbuatan melawan firman itu berlangsung seperti sebuah kecelakaan yang terjadi secara mendadak, terbukalah mata mereka (ayat 7). Pemberontakan itu segera menanggalkan kumuliaan, tanpa datangnya babak baru kehidupan primitif (kuno, keadaan sangat sederhana). Kejatuhan manusia dalam dosa mengubah gambar hidup yang indah, status mulia dan agung menjadi status hina dan rendah.

Selanjutnya digambarkan dua hal: Tuhan yang selalu aktif bekerja menyertai dan memelihara ciptaan-Nya (ayat 8). Pemberontakan manusia menimbulkan rasa malu dan rasa takut. Akumalasi keduanya menyatakan bahwa hidup manusia telah dikuasai oleh dosa yang merusak relasi dengan Allah.

Bersembunyi adalah usaha yang sia-sia. Dihadapan Allah tidak ada yang disembunyikan (ayat 9). Allah yang aktif, bertindak memanggil dan mencari. “Dimanakah engkau?” adakah penyataan kasih Allah kepda ciptaan-Nya. Pengakuan yang tulus dan jujur itulah yang dikehendaki Allah.

Tetapi kuasa dosa menjadi penghalang bagi manusia untuk mengakui kesalahan dan kelemahannya. Rasa takut dan malu memaksa manusia membenarkan diri dengan mempersalahkan yang lain. Manusia mempersalahkan isterinya dan si isteri mempersalahkan si ular.

Hasil interogasi interpersonal dalam pengadilan Allah yang bertindak sebagai hakim membuktikan ketiga oknum ini bersalah. Hukuman dijatuhkan. Ular sebagai binatang paling cerdik dihukum menjadi binatang terkutuk, menjalar dengan perut, makan debu tanah dan menjadi musuh abadi manusia.

Perempuan (isteri) mendapat hukuman, susah payah dan kesakitan ketika mengandung dan melahirkan anak serta merendahkan derajatnya di bawah suaminya.

Manusia (suami) divonis dengan hukuman bersusah payah mencari rezeki, berpeluh mencari makanan dan hidup di tanah yang terkutuk. Akibat kejahatan dan pemberontakan manusia, Allah mengutuk ular dan tanah tapi bukan manusia. Penghukuman kepada manusia lebih bersifat pendidikan dari pada pembalasan (ayat 10-19).

Pemberian nama kepada perempuan oleh suaminya dari isyah atau penolong yang sepadan menjadi hawa atau ibu semua yang hidup menjadi tanda dimulainya babak baru kehidupan manusia dalam keterbatasan/ kelemahan tetapi berkelanjutan (ayt 20). Perhatian dan kepedulian Allah yang memelihara dan menyediakan dibuktikan dengan membuat dan mengenakan pakaian dari kulit binatang. Kata-kata membuat dan mengenakan menggambarkan perasaan Allah yang penuh belas kasihan kepada manusia (ayat 21).

Selanjutnya, Tuhan Allah mengusir (Ibr shalch, menyuruh, membiarkan pergi) dan menghalau (Ibr, garash=mengusir, menyingkirkan) manusia dari taman Eden (Ibrani: kesenangan, kebahagiaan) supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Penggunaan kedua kata kerja ini (mengusir, menghalau) memberi penegasan bahwa manusia tidak diizinkan lagi untuk kembali.

Jalan ke kehidupan sesungguhnya telah tertutup, oleh penjagaan beberapa kerub (Ibr, karuwb=golongan malaikat yang digambarkan sebagai makluk bersayap dan melambangkan kehadiran Allah dan keagungan-Nya) dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, manusia dicegah untuk menghalangi pemberontakannya dan menjaga jalan ke pohon kehidupan.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved