Harapan Seorang Guru untuk Nadiem Makarim
Menteri Nadiem, buat kami para guru berotak encer. Jangan suruh kami menjadi beo, tukang salin, tukang copy paste dan pendusta. Jika kami menjadi g
Oleh: Basuki
Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud, bagi guru seperti saya, jelas membawa harapan tersendiri.
Seperti kita tahu, sudah sejak lama pendidikan kita dipenuhi dengan pesimisme yang mengerikan.
Adigium “ganti menteri ganti kurikulum” adalah semacam sarkarme betapa menteri-menteri pendidikan kita sebelumnya hanya jago berteori tapi gagal mendaratkan gagasan di aras praksis.
Mengapa gagal? Mungkin karena menterinya cuma macan kertas, sementara pendidikan kita dipenuhi maling.
Tahun lalu (news.detik.com, 19 Maret 2018), KPK menyebutkan bahwa korupsi paling banyak ditemukan di bidang pendidikan!
Mungkin ada yang meragukan Nadiem. Salah satunya Ust. Dr. Miftah el-Banjary, M.A. lewat tulisannya berjudul “Mengapa Kami Menolak Mendikbud dari CEO Gojek?” (https://akuratnews.com/tag/dr-miftah-el-banjary-ma/.)
Miftah beralasan: Nadiem perlu ditolak karena ia bukan seorang pakar pendidikan.
Pertanyaannya, memang kalau pakar pendidikan bisa menjamin dunia pendidikan kita moncer?
Belum tentu. Data statistik UNESCO 2012 menunjukkan, indeks minat baca kita baru mencapai 0,001.
Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca.
Penelitian lebih baru, “The World’s Most Literate Nations”, yang disusun oleh Central Connecticut State University (2016), menunjukkan hasil senada: dari 61 negara yang diteliti, Indonesia berada di peringkat ke-60, hanya satu tingkat di atas Botswana.
Dari dua data di atas dapatlah disimpulkan, para menteri pendidikan kita selama ini terbukti telah gagal dalam mengatasi persoalan paling penting dalam jagat pendidikan, yakni menyiapkan masyarakat kita menjadi literate.
Kita pasti tahu, level literasi berkorelasi secara signifikan dengan kemajuan bangsa.
Bahkan, secara empiris pun literasi berperan penting dalam menentukan menang-kalah sebuah pertempuran.
Seperti ditulis Geoffrey Jukes dalam bukunya The Russo-Japanese War 1904-1905, selama dua hari, tepatnya 27-28 Mei 1905, terjadi pertempuran hebat antara Jepang dan Rusia di Selat Thushima dan dimenangkan Jepang.
Yang menarik, menurut Geoffrey Jukes, penentu hasil perang ini bukan teknologi, tetapi tingkat literasi.
Lho kok bisa? Bisa. Ternyata, hanya 20 persen personel militer Rusia bisa ”membaca dan menulis”.
Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern (saat itu) dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman.
Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu ”membaca dan menulis” (Literasi Memenangi Kehidupan, H Witdarmono, Kompas.com, 23/11/2010).
Apa yang bisa kita katakan? Jika dalam perang konvensional saja, terbukti literasi memegang peranan penting, apalagi di era perang modern yang disebut dengan proxy war, cyber warfare, pun asymmetric warfare.
WAJIBKAN GURU MEMBACA
Karena itu, jika kita memang mendukung mimpi besar bangsa, yakni menjadi negara maju pada 2045 sebagaimana dicanangkan Jokowi ketika memberikan pidato perdananya sebagai presiden dalam periode keduanya, saya berharap Menteri Nadiem benar-benar serius dalam meningkatkan literasi murid-murid kita.
Caranya? Dari guru dulu. Guru jangan terlalu banyak dibebani mengerjakan tugas-tugas administrasi yang tidak berguna.
Menteri Nadiem pasti tahu, sekolah-sekolah secara berkala diwajibkan mengikuti proses akreditasi.
Tujuan akreditasi bagus, yakni untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tapi, praktiknya, hampir selalu guru ditugasi menyediakan dokumen-dokumen administrasi yang jumlahnya tidak masuk akal.
Saya usul, tolong Menteri Nadiem mengurangi tugas-tugas yang sering dikerjakan hanya dengan copy paste ini dan diganti dengan mewajibkan guru-guru untuk membaca buku-buku terbagus.
Silakan kami dipilihkan buku-buku paling bermutu dan suruh kami merangkum, mendiskusikan, membuat laporan dan membagikannya dalam bentuk lisan pun tulisan.
Menteri Nadiem, buat kami para guru berotak encer.
Jangan suruh kami menjadi beo, tukang salin, tukang copy paste dan pendusta.
Jika kami menjadi guru yang literate, saya yakin, anak didik kami juga akan meneladani.
Sebaliknya, jika guru tidak pernah mempunyai waktu untuk membaca, apa yang bisa kami bagikan?
Kami akan mengulang-ulang hal yang sama.
Kami tidak mungkin bisa kreatif, inovatif apalagi demokratis.
Tepat sekali kritik W.S. Rendra lebih empat puluh tahun lalu dalam “Sajak Seonggok Jagung” dan “Sajak Anak Muda”.
Si Burung Merak ini mengatakan, murid-murid kita tidak kreatif, hanya terlatih menjadi pemakai bukan kreator karena: Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan / Bukan pertukaran pikiran / Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan / Dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Jika balik ditanyakan: Mengapa guru mengajarnya tidak bermutu?
Sudah kami jelaskan di atas, bagaimana kami bisa memberikan sajian bermutu pada anak-anak jika kami sendiri tak pernah mengkonsumsi makanan bergizi lantaran nirwaktu baca?
Bapak Menteri Nadiem pasti tahu, BJ Habibie hebat salah satunya juga karena membaca.
Mantan presiden kita yang tercatat memiliki 46 hak paten terutama di bidang aeronautika ini setiap hari menyediakan waktu baca 7,5 jam.
Bapak pendiri bangsa seperti: Soekarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, Cokroaminoto dan seabrek yang lain, pasti mereka adalah manusia-manusia pembaca hebat.
Mengingat begitu pentingnya aktivitas membaca, di hadapan para dokter di Gedung Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA), Jakarta Pusat (29/7/2018), sampai-sampai Buya Syafii Maarif mengatakan, “Jika Anda mengeluh tidak punya waktu (membaca), ingatlah pesan Dokter Bahder Djohan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Kabinet Natsir dan Wilopo ini selalu mendorong para cerdik cendikia untuk meluaskan wawasan dengan membaca. Curi waktu tidurmu untuk membaca!”
Saya yakin, Menteri Nadiem, sebagai seorang yang memiliki ororitas tertinggi di dunia pendidikan Indonesia, pasti berani membuat terobosan substansial.
Kurangi tugas-tugas administrasi yang tidak perlu untuk guru dan sebaliknya wajibkan guru untuk membaca.
Pak Menteri Nadiem percayalah, anak-anak kita bisa sehebat, sekreatif dan secerdas Bapak.
Syaratnya, buat mereka menjadi manusia literate.
Jika mereka melek literasi, maka mereka akan menjadi manusia beradab dan mereka akan mampu berpartisipasi membangun masyarakat dan pemerintahan dengan cara-cara yang bermakna.
Mereka akan menjadi manusia yang memiliki tenggang rasa, dan tidak mudah diprovokasi.
Sebaliknya, jika banyak penduduk kita kurang literate, mereka akan dengan mudah dihasut, menjadi pelaku vandalisme, intoleran, perusak, dan perilaku memalukan lain sebagaimana yang kita saksikan bersama menjelang Bapak dilantik, 23 Oktober 2019 lalu.
Basuki, guru tinggal di Jakarta.
Penulis bisa dihubungi di: basuki_cakbas@yahoo.com