Warga Pilih Turun Kelas: Imbas Iuran BPJS Kesehatan Naik
Rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disambut masyarakat dengan kekecawaan.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disambut masyarakat dengan kekecawaan. Mereka menilai, kenaikan iuran tersebut memberatkan di tengah situasai ekonomi yang tak menentu. Salah seorang anggota BPJS Kesehatan yang menolak kenaikan iuran tersebut adalah Eviani Masitoh, warga Pancuran, Salatiga.
• Ibu Peluk dan Doakan Kapolri Baru: Hari Ini Akan Dilantik Presiden Jokowi
Eviani mengaku dalam posisi dilema karena jika terus membayar iuran akan sangat berat bagi keuangan keluarganya. "Tapi di sisi lain, kesehatan itu faktor yang penting juga," ujarnya, Kamis(31/10).
Setiap bulan, pedagang di Pasar Raya Salatiga ini membayar iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dengan tiga anggotanya sebesar total Rp 240.000 dengan rincian per orang Rp 80.000 per bulan. "Kalau nanti jadi bayar setiap bulan Rp 160.000 (per orang), wah ya tentu berat. Belum lagi kebutuhan sehari-hari yang harganya juga terus naik," kata Eviani.
Dia pun memertimbangkan untuk turun kelas agar tetap menjadi anggota BPJS Kesehatan. Secara terpisah, Kepala Cabang BPJS Ungaran, Titus Sri Hardianto mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, ada penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan.
• Larangan Bercadar di Instansi Pemerintah: MenPAN-RB Sebut Tak Langgar Aturan ASN
Yakni Kelas III menjadi Rp 42.000 dari sebelumnya Rp 25.500, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 dan Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf yang mengungkapkan bahwa melihat ketentuan penyesuaian iuran dalam perpres tersebut, pemerintah masih mendapatkan andil sebagai pembayar iuran terbesar. Pemerintah menanggung 73,63 persen dari total besaran penyesuaian iuran yang akan ditanggung oleh pemerintah melalui peserta PBI APBN, penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, pegawai pemerintah pusat/daerah, TNI, dan Polri.
Kontribusi pemerintah tersebut sangat membantu peserta mandiri sehingga penyesuaian iuran peserta mandiri tidak sebesar seharusnya. “Besaran iuran yang akan disesuaikan tidaklah besar apabila dibandingkan dengan besarnya manfaat yang diberikan Program JKN-KIS ketika ada peserta yang sakit atau membutuhkan layanan kesehatan,” kata Iqbal.
M Iqbal Anas Ma'ruf juga mengatakan ada salah satu syarat untuk mengubah kelas yang harus terpenuhi. Syarat itu adalah harus sudah menjadi peserta selama 1 tahun. "Memang ada syarat bergeser dari kelas 1 ke kelas 2 atau kelas 3. Syaratnya harus sudah jadi peserta selama 1 tahun," ujarnya.
Syarat itu pun berlaku bagi peserta yang sudah pernah berganti kelas kepesertaan. Jika sudah berganti kelas maka harus menunggu 1 tahun kepesertaan lagi jika ingin kembali mengganti kelas.
"Itu kunci karena takutnya orang pindah setiap dua bulan kita yang pusing," ujar Iqbal.
Selain syarat itu ada pula persyaratan dokumen, seperti fotocopy akta kelahiran, kartu keluarga hingga foto cover buku rekening untuk proses auto debet. "Itu bisa dilakukan pakai e mobile JKN bisa. Nanti akan dipandu, semua sudah di tangan kok," tutur Iqbal.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan masyarakat harus mengikuti regulasi yang ada apabila berniat ingin turun kelas peserta BPJS Kesehatan. "Pemerintah sudah mendengarkan dana luar biasa untuk masyarkat melalui PBI ya sedangkan masyarakat yang sudah mampu dia harus mengikuti regulasi yang ada," kata Terawan.
• Prabowo Terima dan Gunakan Gaji Menteri
Seharusnya lanjut Terawan, masyarakat membela pemerintah karena sudah berjuang untuk mereka yang berasal dari golongan tidak mampu. Apalagi pemerintah sudah memberikan anggaran yang sangat besar untuk hal tersebut.
"Kalian semua harusnya membela bagaimana pemerintah berjuang untuk masyarakat tidak mampu, sedangkan untuk PPBU itu kan dianggap mampu, nah sekarang mau bela yang mana, ya bela orang yang kurang mampu lah, kan sudah diberikan anggaran puluhan triliun untuk membuat mereka bisa.," ujar Terawan.
Hati-hati
Presiden Jokowi memang sempat menyinggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam rapat terbatas (Ratas) dengan topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Kantor Presiden, Kamis (31/10).
Ini karena banyak pihak menyoroti iuran BPJS Kesehatan yang naik mulai 1 Januari 2020. Dimana Jokowi telah sepakat menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Jangan sampai misalnya urusan yang berkaitan dengan kenaikan tarif BPJS, kalau tidak clear, tidak jelas, maka masyarakat membacanya kita ingin memberatkan beban yang lebih banyak kepada rakyat," ujar Jokowi di Kantor Presiden Jakarta.
Mantan Wali Kota Solo ini mengingatkan para menteri agar hati-hati menjelaskan pada masyarakat soal keputusan pemerintah menaikkan iuran. Pasalnya, di tahun 2019, pemerintah telah menggratiskan 96 juta warga yang berobat di rumah sakit daerah, sehingga anggaran total yang disubsidi mencapai Rp 41 triliun.
"Rakyat harus mengerti ini. Tahun 2020 subsidi yang kita berikan ke BPJS Rp 48,8 triliun. Ini angka besar sekali. Subsidi di APBN ini gede banget,"ujarnya.
"Kalau cara kita menjelaskan tidak pas, hati-hati. Dipikir kita memberi beban berat pada masyarakat miskin. Padahal sekali lagi, yang digratiskan sudah 96 juta jiwa lewat subsidi yang kita berikan," tambah Jokowi.
Jokowi melanjutkan kenaikan iuran ini demi mengatasi defisit di BPJS, bukan untuk membebankan masyarakat miskin. Dia meminta warga untuk memahami hal tersebut. Dia kembali berpesan agar ke depan jangan ada lagi rakyat yang berfikir kenaikan ini merupakan beban bagi rakyat miskin.
Jokowi menyebut para menteri harus hati-hati menjelaskan soal kenaikan iuran BPJS sehingga tidak memunculkan aksi protes. "Kalau cara kita menjelaskan tidak pas hati-hati. Dipikir kita memberi beban berat pada masyarakat miskin," ujar Jokowi.
Ancam Mogok
Buruh mengancam akan melakukan aksi mogok nasional jika tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah."Aksi ini akan berlanjut terus di semua kabupaten kota, aksi nasional akan lebih besar lagi, dan tidak menutup kemungkinan akan ada aksi mogok nasional kalau buruh merasa nasibnya semakin terancam," kata ketua KSPI Said Iqbal.
Said menegaskan, presiden Jokowi harus menganulir kenaikan iuran BPJS kesehatan dan mendorong Kemnaker merevisi PP 78. "Kalau ini tidak didengar akan ada gelombang aksi terus menerus di daerah-daerah, 100 kota industri akan melakukan aksi habis ini. Tuntutan mereka hanya dua, upah minimum dan tolak PP 78 dan menolak kenaikan iuran BPJS, termasuk rencana revisi UUK nomor 13," tegasnya.
Dia menjelaskan, saat bertemu Presiden Jokowi 2 Oktober 2019 lalu di istana Bogor, belum ada konsep revisi UUK Nomor 13 yang diharapkan oleh kaum buruh. "Artinya belum ada rencana revisi. Baru gagasan, tapi belum ada draft," ujarnya.
Di sisi lain, rakyat makin terbebani lantaran kenaikan upah hanya 8%, sementara iuran BPJS naiknya 100%. Hal itu dinilainya sangat tidak masuk akal, ditambah lagi ada agenda mengurangi nilai pesangon untuk buruh.
"Itu tidak masuk akal, itu sangat tidak masuk akal. Dan mau ada revisi dengan mengurangi nilai pesangon, sangat membebani," kata Said.
"Kami berharap presiden Jokowi dan menteri mau mendengar aspirasi buruh," kata Said. (Tribun Network/fia/gen/sen/wly)