Tajuk Tamu
Mujiburrahman: KPK dan Karakter Kita
Sejak dibentuk 2002 hingga sekarang, KPK telah menjebloskan ratusan orang ke penjara akibat korupsi.
Oleh:
Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari
TRIBUNMANADO.CO.ID - “BAPAK-bapak kok kelihatan lebih hati-hati dan jaim hari ini,” kata seorang pria. “Begitulah jika sedang didampingi KPK,” kata yang lain menanggapi, diiringi ledak tawa teman-temannya.
Mereka adalah para pejabat pria yang sama-sama menghadiri rapat nasional. Jangan Anda kira yang dimaksud dengan KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang dimaksud adalah istri sang pejabat.
Meskipun bercanda, menyebut istri sebagai KPK menyiratkan betapa para pejabat itu takut pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagaimana tidak, orang sekelas menteri, ketua DPR, ketua Mahkamah Konstitusi, ketua partai hingga pengusaha besar bisa dibui oleh KPK, apalagi yang di bawahnya.
Sejak dibentuk 2002 hingga sekarang, KPK telah menjebloskan ratusan orang ke penjara akibat korupsi.
Korupsi memang tidak lantas berhenti, tetapi keberadaan KPK yang membuat orang takut itu memberi harapan pada publik bahwa setidaknya orang akan berpikir panjang jika ingin korupsi.
Jika korupsi itu ibarat gedung dengan pintu pengaman berlapis, rasa takut adalah pintu terakhir. Jika pintu ini jebol apalagi sengaja dibuka, maka akan semakin banyak orang yang tergoda dan mudah memasukinya.
Selain rasa takut, apa saja pintu sebelumnya yang harus diterobos? Pertama adalah pintu rasa bersalah.Orang yang masih punya nurani pasti akan merasa bersalah jika melakukan korupsi, meskipun publik tidak mengetahuinya.
Bagi yang beriman, rasa bersalah artinya merasa berbuat dosa. Jika pintu ini jebol, masih ada pintu penghalang lainnya, yaitu rasa malu. Betapa malunya kelak jika dia ketahuan korupsi.
Jika rasa bersalah, rasa malu hingga rasa takut sudah lenyap, maka orang pun berani melakukan tindak kejahatan seperti korupsi. Salah satu yang membuat orang kehilangan tiga perasaan itu adalah jika banyak orang melakukannya.
Perlahan tapi pasti, perasaan bersalah, malu dan takut akan sirna jika hampir semua orang di jaringan kerja kita ramai-ramai alias berjemaah melakukan korupsi. Karena itu, keresahan banyak pihak atas revisi UU KPK yang berjalan begitu cepat dapat dipahami.
Bagi mereka, UU KPK yang baru itu jelas melemahkan lembaga itu seperti adanya Dewan Pengawas yang diangkat langsung oleh presiden dan keharusan mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan.
Mereka sangat kesal dengan para anggota DPR dan pemerintah yang mensahkan UU itu. Di sisi lain, para anggota DPR dan pemerintah pendukung UU KPK yang baru itu mengatakan, memang sudah waktunya UU itu direvisi karena sudah berusia 17 tahun.
Masyarakat sudah berubah. Selama ini KPK dianggap terlalu kuat tanpa ada yang mengawasi. Para pegawainya juga lebih menyerupai aktivis LSM dengan gaji yang tinggi ketimbang aparatur sipil negara (ASN). Pendeknya, KPK tak boleh arogan.
Barangkali kontroversi UU KPK ini adalah wujud nyata dari paradoks yang terjadi dalam masyarakat kita. Banyak orang berharap korupsi semakin berkurang hingga ke titik terendah, tetapi pada saat yang sama mereka tahu betapa suara diperjualbelikan saat pemilu dan jabatan diperdagangkan.