Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

17 Agustus 2019

Kebiasaan Bung Karno Bikin Pidato 17 Agustus, Libatkan Emosi hingga Air Mata

Dikenal sebagai orator ulung, pidato yang disampaikan Soekarno mampu membangkitkan emosi mereka yang mendengarnya.

Editor: Indry Panigoro
Kolase Tribun Manado/Foto dari berbagai sumber
Soekarno Dijuluki 'Indonesia Dandy', Desain Seragam Kepresidennya Sendiri Hingga Punya Parfum Khas 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kali ini kita akan mengulik soal kebiasaan Presiden pertama Republik Indonesia ketika membuat pidato.

Dikenal sebagai orator ulung, pidato yang disampaikan Soekarno mampu membangkitkan emosi mereka yang mendengarnya.

Tak terkecuali saat Soekarno, sering pula disapa Bung Karno, menyampaikan pidato saat peringatan Hari Kemerdekaan RI pada setiap 17 Agustus.

Meski terbiasa mempersiapkan naskah pidato atau menyampaikan pidato secara spontan, konon ada perbedaan saat Soekarno mempersiapkan pidato untuk amanat Hari Kemerdekaan.

Pada hari spesial itu, Soekarno yang biasa berpidato secara spontan, harus melewati perenungan panjang sebelum akhirnya berbicara saat 17 Agustus.

Baca: 6 Artis Indonesia Ini Lahir Tepat Tanggal 17 Agustus, Ada yang Diberi Nama Dirgahari hingga Cinta

Baca: Puluhan Kata Bijak Para Pahlawan, Cocok Jadi Ucapan HUT ke-74 RI, 17 Agustus 2019

Baca: DISKON HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus: Ada Pizza Hut, Holland Bakery, Hingga J.CO, Cek Tanggalnya

Memandang bintang dan bermunajat

Membuka arsip lama Kompas terbitan 11 Agustus 1965, tertulis sedikit cerita mengenai cara Bung Karno mempersiapkan amanatnya.

Kisah itu termuat pada halaman pertama dalam artikel berjudul “Tjara Bung Karno Mempersiapkan Amanat 17 Agus”.

Salah satu orang dekat Bung Karno yang merupakan wartawan sekaligus penyiar RRI kala itu, Darmosugondo, mengungkapkan, Soekarno kerap memandangi bintang pada malam hari sebelum menuliskan amanat untuk disampaikan pada 17 Agustus.

Menurut kisah Darmosugondo, Soekarno keluar dari rumahnya, kemudian menatap langit secara seksama.

Ia memerhatikan bintang-bintang yang bertebaran hingga menemukan satu yang paling terang.

Darmosugondo mengatakan, saat itulah Soekarno memanjatkan doa dan memohon petunjuk kepada Tuhan untuk negeri besar yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang Pemimpin Negara.

Tidak hanya melandasi amanat yang akan disampaikannya dengan kekayaan spiritual, Soekarno juga turun menemui rakyat untuk memahami permasalahan konkret yang tengah dialami bangsanya.

Ketika dua hal itu sudah dilakukan, Soekarno akan menuliskan amanatnya, bukan dengan mesin tik, melainkan tulisan tangan.

Berita Populer:

Baca: Menderita Skoliosis, Biaya Operasi Zefanya Tembus Rp 200 Juta, Ibunda : Kami tak Punya Uang

Baca: Mahfud MD Duga Enzo Sejak Awal tak Memenuhi Prasyarat Jadi Bagian dari TNI: Sebaiknya Diberhentikan

Baca: Perilaku Aneh Olga Syahputra 4 Hari Sebelum Koma Terungkap, Wanita Rambut Panjang Bahas Firasat

Libatkan emosi hingga air mata

Sementara, ada pengakuan langsung sang Proklamator melalui penggalan amanat yang ia sampaikan saat peringatan kemerdekaan tahun 1963.

Soekarno menyebutkan, ia kerap menitikkan air mata saat menuliskan amanat karena kondisi batin yang penuh dengan emosi.

“Dengan terus terang saya katakan di sini bahwa beberapa kali saya harus ganti kertas, oleh karena air mataku kadang-kadang tak dapat ditahan lagi,” kata Soekarno dalam pidatonya.

Emosi ini bukan amarah, melainkan perasaan haru dan cinta yang begitu besar kepada bangsa dan negara.

“Tiap kali saja mempersiapkan pidato 17 Agustus lantas menjadi seperti dalam keadaan keranjingan,” ujar Soekarno.

Presiden pertama RI, Soekarno
Presiden pertama RI, Soekarno (KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)

Dia pun menjelaskan maksud dari ‘keadaan keranjingan’ yang ia sebutkan sebelumnya sejumlah perumpamaan.

 “Segala yang gaib dalam tubuh saya lantas meluap-luap. Seluruh alam halus di dalam tubuh saya ini lantas seperti menggetar dan berkobar dan menggempur. Dan bagiku, api lantas seperti masih kurang panas, samudera lantas seperti masih kurang dalam, bintang di langit lantas seperti masih kurang tinggi,” papar Bung Karno.

Soekarno juga mengungkapkan betapa ia bangga dan kagum terhadap bangsa majemuk yang ia pimpin.

Kekaguman ini tak jarang membawanya pada perasaan terharu.

“Saya menulis pidato ini sebagaimana biasa dengan perasaan cinta yang meluap-luap terhadap Tanah Air dan bangsa. Tetapi ini kali dengan perasaan terharu juga. Lebih daripada biasa terhadap keuletan Bangsa Indonesia dan kekaguman yang amat tinggi terhadap kemampuan Bangsa Indonesia,” ujar Soekarno saat upacara peringatan kemerdekaan 56 tahun lalu.

Pidato Kemerdekaan 1965

Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 5 tahun kemerdekaan R.I. di halaman Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950.
Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 5 tahun kemerdekaan R.I. di halaman Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950. (Arsip KOMPAS)

Pada peringatan kemerdekaan ke-20 RI, 17 Agustus 1964, Soekarnno menyampaikan pidatonya yang berjudul “Berdikari”.

Beberapa poin penting yang disebutkan sang Founding Father dalam pidatonya adalah kemerdekaan sepenuhnya yang sudah didapatkan Bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan.

“Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah-Air kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka, Negara Republik Indonesia, merdeka, kekal, dan abadi, Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”

Ia juga mengobarkan semangat kepada seluruh rakyatnya agar terus bersemangat mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bersifat membangun. Sehingga kemerdekaan bukan hanya sebatas slogan, melainkan kebebasan yang benar-benar dapat dirasakan maknanya.

“Resapkanlah, endapkanlah, renungkanlah, bahwa kita ini sudah 20 tahun merdeka. Apa artinya 20 tahun dalam sejarah tergantung saudara-saudara, tergantung dari peranan iuran kita kepada sejarah itu.

Manakala kita melempem, manakala jiwa kita lembek, manakala kita menyerah sebagai obyek sejarah dan tidak berusaha menjadi subjek sejara, maka jangankan 20 tahun, 200 tahun sekalipun akan tertancap dalam debu sejarah sebagai bukan apa-apa. Ya, bukan apa-apa

Tapi manakala kita berlawan, berjuang, menjebol, dan membangun, mendestruksi dan mengkonstruksi, berfantasi dan berkreasi, manakala kita berjiwa elang rajawali dan bersemangat banteng, manakala kita pantas disebut pejuang sebagaimana 20 tahun ini kita membuktikannya.

Maka jangankan 20 tahun, 2 tahun saja pun, tapi 2 tahun yang dahsyat demikian itu akan tercatat abadi dalam sejarah dan akan abadi sebagai teladan.”

Menanggapi pidato yang disampaikan Bung Karno, 17 Agustus 1965, Menko saat itu, Roeslan Abdoelgani, menyebutnya sebagai konsep politik yang rasional dan ilmiah.

“Adapun konsep ‘Berdikari’ adalah suatu konsepsi politik yang rasionil serta ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, karena sikap berdikari itu adalah respons yang tepat terhadap challenge pihak Nekolim di segala bidang terhadap revolusi dan Republik Indonesia kita, terutama challenge mereka di bidang ekonomi,” kata Roeslan, dikutip dari artikel Kompas edisi 24 Agustus 1965.

Sementara, Pemuda Katolik ketika itu menganggap isi pidato Soekarno itu menjadi cambuk bagi semua pihak untuk mewujudkan Indonesia yang dapat berdiri di atas kaki sendiri, untuk berbagai bidang keperluan.

Soekarno, Presiden Pertama RI
Soekarno, Presiden Pertama RI (KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo)

Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Kebiasaan Bung Karno Bikin Pidato 17 Agustus, Pandang Bintang di Langit, Bermunajat dan Tulis Tangan,

Tonton:

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved