NEWS
Mengenal Sejarah Cap Tikus dan Istilah Pancing Dulu hingga Anggapan Orang Bisa Tingkatkan Nafsu
Mulai dari pembuatan, penyajian, rasa, takaran, hingga tak afdal jika kita tak membahas soal sejarah awal mula cap tikus itu ada hingga dikenal.
Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
Belakangan, teknologi penyulingan ikut diperkenalkan, hingga ke pelosok.
Denni mengatakan, menurut sejarawan Minahasa, Jessy Wenas, teknik penyulingan cap tikus ini diperoleh orang Minahasa yang jadi tentara kolonial ketika ditugaskan ke Jawa.
Sejak zaman kolonial, di beberapa daerah sudah muncul beragam nama minuman tradisional.
Di Ambon disebut sopi, kemudian disebut arak di daerah jawa.
Saguer sebutan orang Minahasa
Saguer fermentasi ini kemudian disuling
"Kalau perkirakan akhir abad 19 orang minahasa membuat cuka saguer kemudian dimasak jadi captikus," kata dia Denni.
Tradisi orang Eropa, menyuguhkan minuman keras seperti brendi atau whisky saat menyambut tamu.
Captikus di masa itu masih barang langka, produksinya masih terbatas, itu sekitar tahun 1900-an
Akibat terjadi resesi ekonomi global sekitar 1929-1930, sehingga barang masuk impor minuman berkelas sudah berkurang.
Sementara kegemaran minum tetap ada di masyarakat, maka beralihlah ke cap tikus.
Cap tikus pun semacam naik kelas.
Cap tikus sempat dicap ilegal oleh pemerintah Belanda.
Di Masa penjajahan produksi, peredaran dan konsumsi cap tikus tetap berlangsung.
Upaya pemerintah Hindia Belanda membatasi dan memerangi minuman keras lokal tidak sepenuhnya berhasil, hingga di era Indonesia merdeka, cap tikus masih tetap ada dan digemari masyarakat Minahasa.
Perkembangan Cap Tikus dan Istilah Pancing Dulu
Captikus ini dalam perkembangannya melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa.
Sampai sekarang, masih populer istilah pancing dulu.
Itu merujuk kepada kebiasaan saat hendak bekerja menengak miras dengan takaran tertentu.
Ada anggapan ini membuat orang jadi lebih kuat kerja, atau menengak ketika hendak makan, semacam resep untuk menambah atau meningkatkan nafsu makan.
"Tradisi ini masih dipengaruhi kebiasaan serupa orang Eropa, " kata dia.
Sampai tahun 1980 minum captikus itu ada campuran akar-akaran dipercaya berkhasiat untuk kesehatan.
Acara khusus minum bersama, di Minahasa ada istilah captikus obat.
Minum itu sekadarnya semisal untuk menghilangkan dingin si tubuh akibat hawa di daerah dataran tinggi di Minahasa.
Captikus pun kala itu belum jadi minuman untuk berpesta, atau kumpul -kumpul minum bersama, peran itu masih diisi oleh minuman saguer atau bir.
Mulai tahun 1990- an, berubah tren captikus itu jadi minuman saat kumpul bersama berkelompok
Belakangan berkembang varian rasa cap tikus, berkembang berdasar kebiasaan orang barat mencampur minuman beralkohol seperti cocktail.
Captikus yang mukai umum kemudian meniru rasa coktail.
Artinya memberi rasa, maka mulai mucul varian rasa caltikus, saledo misalnya.
Varian minuman berbahan cap tikus pun beragam di pasaran, semisal merek-merek minuman produksi lokal berbahan dasar captikus.
Captikus tak sekadar jadi minuman, bahkan ikut digunakan dalam tradisi ritual, dan itu termasuk kekayaan tradisi budaya.
Selain diminum, masyarakat menggunakannya untuk membuat kue.
Mula sebagai campuran adonan diberi minuman beralkohol bermerek Jenever, kemudian dipakai cap tikus.
Akhirnya jadi bagian untuk resep kue.
Captikus juga digunakan sebagai bahan campuran makanan tradisional Minahasa yakni rw, berbahan daging anjing.
Untuk menghilangkan bau daging dicampurkan setengah botol cap tikus
Perkembanganmya cap tikus jadi komoditi perdagangan, bahan bakunya berasal dari pohon aren tersebar di wilayah Minahasa.
Daerah penghasil cap tikus di antaranya Motoling dan Langowan.
Petani menggarap ladang, dan juga bateru (membuat) cap tikus.
Nyatanya cap tikus berdampak terhadap ekonomi, ada multiplayer efek.
Banyak keluarga menggantungkan ekonomi dari usaha bater cap tikus sebagai mata pencaharian.
Membentuk jaringan yang jadi salah satu struktur dalam ekonomi masyarakat. (ryo/ind)
Tonton: