Ini Imbauan Jusuf Kalla kepada Massa Prabowo
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta massa pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
"Jadi peristiwa 21-22 (Mei) itu sudah direncanakan memang untuk rusuh. Saya tidak ingin itu terulang kembali, kebaikan yang kita lakukan, diskresi, saya tidak ingin lagi disalahgunakan. Untuk itu, saya larang semua unjuk rasa di depan MK yang melanggar ketertiban publik," ungkap dia.
Tito juga menginstruksikan personel yang mengamankan sidang putusan sengketa hasil Pilpres 2019 untuk tidak membawa peluru tajam. "Saya sudah menegaskan kepada anggota saya tidak boleh membawa peluru tajam, itu protap (prosedur tetap)-nya," kata Tito saat ditemui di ruang Rupatama Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri), Jakarta Selatan, Selasa.
Pihak kepolisian telah melarang aksi unjuk rasa di depan MK. Massa yang mau melakukan aksi dialihkan ke area di depan Patung Kuda. Tito mengatakan, polisi akan membubarkan massa aksi yang tidak tertib dan mengganggu kepentingan publik, apalagi menciptakan kerusuhan.
Namun, penindakan akan dilakukan secara terukur, misalnya dengan imbauan hingga maksimal menembak menggunakan peluru karet. "Jadi nanti kalau ada peluru tajam, bukan dari Polri dan TNI karena tegas saya dengan Pak Panglima itu sudah menyampaikan kepada para komandan, maksimal yang kami gunakan adalah peluru karet itu pun teknisnya ada dan kami akan berikan warning sebelumnya," ujarnya.
Tito juga mengimbau masyarakat agar tidak berbuat rusuh. Ia meyakini publik tidak menginginkan adanya kericuhan. "Saya minta jangan buat kerusuhan, termasuk pihak ketiga mungkin. Karena apa, selain kami melakukan tindakan hukum yang berlaku, percayalah bahwa masyarakat Indonesia tidak menghendaki adanya kerusuhan," tutur Tito.
Total terdapat 47.000 personel gabungan yang diturunkan. Rinciannya, 17.000 personel TNI dan 28.000 dari Polri. Ada pula personel dari pemerintah daerah sebanyak 2.000 orang. Fokus pengamanan adalah gedung MK dengan jumlah personel sekitar 13.000 orang.
Lalu, ada pula aparat yang berjaga di obyek vital nasional lain, seperti Istana Kepresidenan, kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan beberapa kedutaan besar negara sahabat di Jakarta.

BPN Yakin MK Berpihak
Adu argumen dua pihak yang sedang bersengketa hasil pemilihan umum presiden di MK terus terjadi. Pihak pasangan calon 02, Prabowo Subianto - Sandiaga S Uno selaku Pemohon yakin Mahkamah Konstitusi mengabulkan, setidaknya sebagai petitum yang diajukan. Kalaupun Paslon 01, Jokowi-Ma'ruf tidak dianulir, mereka berharap diadakan pemungutan suara ulang.
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno optimistis akan memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). BPN berharap putusan MK minimal memutuskan pemungutan suara ulang (PSU).
"Kami sangat optimistis bahwa insya Allah tanggal 27 nanti paling sial mudah-mudahan akan ada PSU. Walaupun Pak Prabowo dan Bang Sandi tidak langsung ditetapkan menjadi presiden 2019-2024," kata Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, di kantor media center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Selasa (25/6).
Andre mengatakan, KPU tidak bisa menunjukkan bukti C7 atau daftar hadir dalam sidang MK. Menurutnya, C7 itu bisa digunakan untuk membuktikan dugaan penggunaan daftar pemilih tetap (DPT) siluman dalam pilpres.
"Bahkan KPU sampai penghabisan tidak berhasil menghadirkan barang bukti C7. Ini membuktikan memang KPU tidak mampu menjawab soal DPT siluman," ujarnya.
Di tempat serupa, Anggota Tim Kuasa Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Denny Indrayana menegaskan daftar pemilih tetap (DPT) bisa menjadi dasar untuk membatalkan hasil Pemilu 2019.
Denny Indrayana mengatakan saksi ahli yang dihadirkan pihaknya dalam sengketa hasil Pilpres 2019 yakni Jaswar Koto menemukan ada 27 juta pemilih bermasalah melalui metode forensik teknologi informasi (IT).
“Melalui forensik itu BPN menemukan 27 pemilih bermasalah di antaranya berupa NIK (nomor induk kependudukan) ganda, rekayasa kecamatan hingga pemilih di bawah umur. Secara teori kepemiluan kalau DPT tidak beres bisa menjadi dasar pembatalan hasil Pemilu. Itu yang kita minta,” ungkap Denny Indrayana.