Kisah Petani Kelapa, Harga Kopra di Titik Nadir Terpaksa Banting Setir Jadi Pemburu Madu Hutan
Imbas harga kopra dan kelapa yang saat ini berada di titik nadir, Youke banting setir menjadi pemburu madu hutan.
Penulis: | Editor: Fernando_Lumowa
Kisah Petani Kelapa, Harga Kopra di Titik Nadir Terpaksa Banting Setir Jadi Pemburu Madu Hutan
Liputan Wartawan Tribun Manado, Felix Tendeken
TRIBUNMANADO.CO.ID, MOLIBAGU - Ketika seseorang diperhadapkan dengan masalah hidup tentu banyak ide yang akan muncul dalam kepala agar dapat keluar dari permasalahan tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh Youke Moningka (48) warga Desa Poigar yang punya perkebunan kelapa di Desa Matandoi Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Imbas harga kopra dan kelapa yang saat ini berada di titik nadir, Youke banting setir menjadi pemburu madu hutan.
Baca: Mahasiswa Demo Tuntut Pemprov Sulut Naikan Harga Kopra 10 Desember , Asisten II: Tidak Masuk Akal
Baca: Mahasiswa Bawa Tabung Elpiji, Ban Bekas dan Bensin, Humas Gerakan Kopra Bantah Mau Anarkis
Ditemui di kawasan perkantoran Bupati Bolsel
Baca: Balai Penelitian Palma Sulut Coba Kembangkan Produk VCO Sulut Kualitas Tinggi
di Panango, Desa Tabilaa, Kecamatan Bolaang Uki, Jumat (30/11), warga kelahiran Kecamatan Sinonsayang ini sementara menjajakan madu hasil buruannya kepada siapa saja yang melewati jalan tersebut.
Sambari menikmati sebatang rokok, bapak satu anak ini mengaku ide tersebut datang saat melihat ribuan lebah bersarang di kebun kelapa miliknya.
"Padahal saya tidak punya pengalaman bakar sarang lebah, jadi ajak dua orang lainnya yang sudah berpengalaman," jelasnya.
Kata dia, turunnya harga kopra adalah pukulan telak bagi keluarganya yang menggantungkan hidup dengan hasil pertanian tersebut untuk membiayai hidup keluarga.

"Saya nekat masuk keluar hutan kurang lebih selama dua bulan terakhir berburu sarang lebah. Kalau tidak nanti mau makan pakai apa," jelasnya.
Sebagai pemula dalam hal ini tentu kata dia sengatan lebah menjadi makanan hari-hari ketika sedang melakukan perburuan.
"Sakit, tapi apa daya hanya ini yang bisa saya lakukan agar asap di dapur terus mengepul," jelasnya.
Hasilnya pun tidak menentu, kadang dia bersama dua orang teman lainnya yaitu Jhon Mewengkang (40) dan Alex Rurukan (39) harus pulang dengan tangan kosong.
"Kadang saat menemukan sarang lebah sudah tidak ada madunya melainkan sudah berubah menjadi telur lebah, kalau dipaksa panen tidak manis tapi asam," jelasnya sambari sesekali mengisap sebatang rokok.
Jika beruntung kata dia kadang sekali panen sarang lebah mampu menghasilkan 15 sampai 25 botol madu.
"Kadang cuma dapat lima botol," jelasnya.

Untuk mengurangi sengatan sang predator, dia harus mengusapkan minyak tanah ke sekujur tubuhnya. Kemudian naik ke pohon memotong sarang lebah kemudian dijatuhkan ke tanah.
"Tapi sebelumnya sudah diusir dengan asap dan api yang dihasilkan dari daun kelapa kering," jelasnya.
Hasil perburuan tersebut harus dibagi rata kemudian masing-masing bertugas menjual madu tersebut dengan harga sebotol Rp 85 ribu.
"Sehari kalau beruntung bisa laku sampai 20 botol, tapi kalau sepi yah palingan hanya tiga botol," jelasnya.
Senada diucapkan oleh Jhon, bahwa pekerjaan ini akan dilakukan sambari menunggu harga kopra kembali normal mengingat untuk memanen madu ada bulan-bulan tertentu.
"Modal nekat, kita jadi pemburu madu. Memang sebelumnya sedikit tahu bagaimana cara mengusir lebah," jelasnya.
Warga kelahiran Kota Tomohon ini mengaku, hanya ini cara yang bisa dilakukan untuk bertahan dari tekanan hidup dimana harga kopra setiap bulannya terus mengalami penurunan.
"Hasilnya lumayan meski hanya cukup untuk biaya makan dan kebutuhan sekolah anak," jelasnya.
Bersama kawannya kata dia mereka kerap harus menginap di tengah hutan selama berminggu-minggu, karena lokasi sarang lebah jarang yang berdekatan.
Kadang umbi-umbian hutan dan udang di sungai dimakan untuk mengganjal perut kosong yang mulai bunyi karena minta diisi.
"Sungguh berat, tapi apa boleh buat ini adalah tuntutan hidup," ucapnya. (lix)