Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hitam Putih Undang Aldi Adilang, Nelayan Hanyut 49 Hari ke Laut Guam, Tayang Pukul 18.00 WIB

Hidup Aldi Adilang (18), Nelayan asal Wori Minahasa Utara kini mulai berubah pasca-selamat dari musibah mengerikan karena hanyut selamat selam 49 hari

Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge

Aldi Teriak ‘Help’ di HT

Aldi Novel Adilang yang rakitnya hanyut dari Ternate bukannya tanpa usaha untuk mencari pertolongan.

Saat kapal melintas, ia selalu berteriak meminta pertolongan tapi yang ada di atas kapal seakan tak mengubris.

Satu minggu berlalu setelah hanyut, persediaan makanan Aldi pun habis.

Aldi pun mengail ikan dan sering merebusnya. Tapi seminggu kemudian tabung gas pun habis.

Aldi membakar papan di atas rakit untuk merebus atau membakar ikan di atas wajan.

Bukan hanya menghemat tenaga karena kondisi fisik yang menurun, Aldi selalu mematikan lampu saat kapal tidak ada yang lewat. Ia menghemat tenaga listrik.

Semua kapal berusaha dimintai pertolongan sampai 31 Agustus dini hari.

Tapi usahanya nanti berhasil saat kapal Arpegio (kapal laut Amerika, ABK Filipina) lewat saat ia bangun pagi. Kapal itu sudah melewatinya satu mil saat Aldi ingat saran temannya untuk menghubungi lewat HT dan berteriak "help" jika tak lancar Bahasa Inggris.

Dengan ingatan itu, Aldi berhasil membuat Kapal Arpegio berbalik setelah stom dua kali.

Suara HT dari kapal meminta Aldi stand by walau akhirnya ia bisa meraih tali pada kesempatan keempat.

"Kurang tagate (tersangkut) di tangga kapal. Begini tidak bisa diselamatkan," katanya.

Aldi Adilang
Aldi Adilang ()

Baca Alkitab di Rakit

Aldi mengaku selalu membaca Alkitab di rakit untuk memperoleh kekuatan rohani selama sorang diri di laut

Dan dengan kehendak Tuhan yang Mahakuasa, ia diselamatkan Kapal Arpegio pada 31 Agustus 2016 setelah hanyut lebih dari satu bulan. Ia langsung diberikan air dingin atas permintaan Aldi sendiri.

"Memang ada air di rakit. Walau pernah minum air laut satu kali," katanya.

Ia lalu diberi makan kue dan diberi pakaian. Hari ketiga ia dipanggil kapten untuk ditanyai.

Di hari keempat, ia ditelepon kedutaan. Mereka akan meminta izin pemerintah Jepang agar bisa ke daratan.

Setelah sandar dalam perjalanan seminggu, surat-surat Aldi diurus. Keesokan harinya, ia diizinkan turun

Ia menginap di hotel dan naik kereta api dari Osaka. Aldi sempat melihat pemandangan di Jepang. "Saat itu saya telepon orangtua," katanya

Tangis pecah saat video call dibuat. Tak ada yang bicara, hanya suara sang ayah yang memperkenalkan diri"Ini kita," kata Alfian Adilang.

Sempat Ingin Akhiri Hidup, Diburu Ikan Raksasa

 Selama 1 bulan 18 hari, Aldi Adilang (18), berada dalam keadaan antara hidup dan mati di atas rakit di tengah lautan lepas.

Rakit yang dijaganya putus di Pulau Doi, perairan Ternate, Maluku Utara.

Nyaris rakit berukuran 2 kali 3 meter tersebut jadi kuburannya. Nyawanya tertolong setelah dievakuasi sebuah kapal di perairan Guam.

Saat Tribun datang Senin siang, Aldi baru saja tiba bersama ayahnya. 

Keduanya naik motor seharian bersama - sama. "Saya rindu mereka, " kata Aldi.

Aldi nampak masih trauma. Dia menunjukkan sebuah foto rakit  yang ditumpanginya dan lengannya bergetar. "Jujur saya masih trauma," kata dia.

Aldi bercerita peristiwa buruk yang dialaminya itu berawal dari lepasnya rakit yang ia tumpangi pada tanggal 14 Juli 2018.

"Saya ingat pukul 7 pagi gelombang keras menghempas, hal itu menyebabkan tali yang mengikat rakit bergesekan dengan bantalan rakit, tali itu lantas putus dan rakit ini hanyut," kata dia.

Aldi langsung melaporkan kejadian itu ke teman-temannya lewat HT. Sebuah pamboat dikirimkan.

"Pamboat itu berjaga di posisi dimana rakit teman saya berada karena diperkirakan rakit saya hanyut ke sana, tapi rakit hanyut ke tempat lain, " kata dia.

Pamboat terus mengejar. Kuatnya hempasan ombak menyebabkan pamboat itu nyaris terbalik. "Waktu itu saya katakan tidak usah kejar saya nanti kalian celaka," kata dia.

Kesedihan mulai terasa kala itu. Ia menangis sejadi - jadinya. "Saya langsung teringat ayah 
ibu saya, " kata dia.

Meski demikian, ia masih beranggapan kejadian itu biasa.  Toh HT-nya masih berfungsi hingga masih bisa berkomunikasi.

Ia juga masih memiliki makanan dan minuman. Apalagi di perairan Ternate selalu ramai dengan kapal ikan.

Sebelumnya ia juga pernah dua kali putus rakit. "Namun kala itu bisa diselamatkan kapal, " kata dia.

Berharap hal yang sama, ia harus menanggung kecewa. Bangun keesokan harinya, ia langsung berdiri depan pintu dan meminta pertolongan pada kapal yang lewat.

"Seharian kerja saya hanya memanggil kapal yang lewat namun tak ada yang peduli pada saya," kata dia.

Hal itu terjadi seterusnya. Lewat perairan Ternate, makin sedikit kapal yang lewat.

Di hari kelima HT miliknya mulai kehilangan sinyal. Pas seminggu stok makanan habis. "Tak lama kemudian 
gas juga habis, " kata dia.

Mulailah periode survival di lautan ganas. Untuk makan ia terpaksa memancing ikan.

"Saya memotong kayu rakit lantas menjadikannya umpan api untuk membakar ikan," katanya.

Beberapa kali ia makan ikan mentah. Rasanya anyir. "Tapi masuk juga di perut," kata dia.

Untuk minum, ia sangat berhemat. Sehari tiga teguk air. 

"Kalau air habis memang jadi masalah besar karena tak mungkin minum air laut, " kata dia.

Suatu kali air benar-benar kehabian air. Terpaksa ia minum dari air dari pakaian yang dicelupkan di air laut.

"Pakaian itu saya celup di air laut lantas remas, tak terlalu asin, namun tak bisa terus terusan demikian, " kata dia.

Suatu waktu ia tengah duduk kelelahan di pintu rakit.  Sekonyong-konyong terdengar suara yang memerintahkannya agar membuat pancuran.

Ia patuh, dibuatnya pancuran dari bambu dari bawah rakit. Ajaib. Malam itu hujan deras.

Ia kemudian menampung air. Selama sebulan terapung di batas air, seingatnya, hujan hanya turun kala itu. "Saya merasa itu 
antara mimpi dan sadar, ini mungkin pertolongan Tuhan, " kata dia.

Pengalaman unik dialaminya di minggu ketiga. Pernah suatu kali ia diburu ikan Hiu.

Siripnya terus nampak di sekeliling rakit selama seharian penuh. 

"Saya hanya bisa berdoa, dan ikan hiu itu pergi," kata dia.

Pernah pula ia bertemu ikan berukuran raksasa. Anehnya ikan itu hanya tampak sisi kanannya. "Saya tak tahu ikan apa itu, " kata dia.

Ombak juga kian kencang. Pernah ombak nyaris menghancurkan rakit itu.

Kehidupan Aldi kala itu seperti sudah terjadwal. Pagi ia tangkap ikan. Siang tiduran di rakit dan baca Alkitab.

Sore ia memasak, malam berdoa. "Saya sulit tidur, paling hanya bisa tidur setengah jam, itu pun tak lelap," kata dia.

Untuk menghemat energi, lampu ia matikan kala malam. Ia bisa tiba-tiba sibuk kala ada kapal yang lewat.

"Saya menyalakan lampu agar bisa terlihat kapal," kata dia. 

Saat itu jangankan kapal. Pulau pun tak nampak satupun.

"Saat itu saya merasa akan mati di sini, kembali saya menangis, kali ini bukan di dalam rakit tapi di depan pintu rakit, " kata dia.

Pada pekan keempat, fisik dan mental Aldi benar benar sudah merosot.

Semua yang dilakukannya seakan tak berguna dan hanya buang buang waktu belaka.

Segera terbayang kehidupan yang ia jalani sebelumnya, ia yang badung hingga tidak tamat SMP dan bagaimana kedua orangtuanya tetap mengampuninya. Semua menghakiminya. Memicu pikiran untuk bunuh diri. 

"Rasanya seperti melompat ke laut itulah jalan keluar, namun saat itu saya teringat ayah ibu saya yang mengajar saya untuk berdoa dalam kesesakan, " kata dia.

Di saat inilah Aldi memperbanyak baca alkitab dan berdoa. Keinginan mengakhiri hidup diusirnya dengan menyanyi lagu rohani.

Malam sebelum 31 Agustus, ia ingat, dirinya menyanyi lagu rohani sepanjang malam itu.

Keadaan gelap gulita, mencekam, namun ia tetap menyanyi hingga pada akhirnya lelap. Keesokan paginya melintas Kapal Arpegio (kapal laut Amerika, ABK Filipina).

Kapal melintas begitu dekat dan ia pun coba berhubungan dengan kapal itu lewat radio HT.

Tak berhasil. Kapal itu melaju terus. "Tiba-tiba saya ingat teman saya pernah katakan kalau bahasa inggris tolong itu help, jadi saya bilang help eh ternyata ada balasan, " kata dia.

Kapal itu kemudian coba menolongnya. Empat kali kapal itu berputar. Ia berhasil meraih tali dari kapal itu. Namun keadaannya sangat lemah hingga pegangan ke tali terlepas.

Mujizat kembali terjadi. "Kala itu tangan saya nyangkut di tangga, jika tidak saya pasti sudah mati, " kata dia.

Di kapal ia diberi makan dan disuruh istirahat selama dua hari. 
Hari ketiga ia diinterogasi kapten. "Kaptennya pakai bahasa inggris saya pakai google traslate, " kata dia.

Dibantu Pulang KJRI Osaka

Atas bantuan KJRI Osaka, Aldi telah dipulangkan ke kampung halamnnya pada awal September silam

Ketika kejadian Aldi bekerja penjaga lampu di rompong (rumah rakit di lautan) yang berjarak sekitar 125 km dari pesisir utara Manado.

Peristiwa ini diunggah akun Facabook Indonesian Consulate General Osaka yang diduga merupakan akun milik Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Osaka 14 September Silam.

Berikut unggahan pihak KJRI Osaka:

Sdr. Aldi Novel Adilang (19 thn), penjaga lampu di rompong (rumah rakit di lautan) hanyut terbawa arus pada pertengahan Juli 2018 sampai perairan Guam ketika tengah berada di perairan berjarak o. Aldi ditemukan oleh kapal berbendera Panama, M.V. Arpeggio, pada 31 Agustus 2018.

KJRI Osaka telah menjemput Aldi pada 6 September 2018 di Tokuyama, Prefektur Yamaguchi, Jepang setelah kapal bersandar untuk memastikan Aldi dalam kondisi yang baik dan selanjutnya mengawal hingga mendapat izin kepulangan ke Indonesia dari otoritas imigrasi Jepang.

Pada 8 September 2018, KJRI Osaka telah mendampingi kepulangan Aldi ke Manado dengan Garuda Indonesia melalui Tokyo. Saat ini Aldi telah berkumpul dengan keluarganya di Wori, Manado, dan dalam keadaan sehat.

KJRI Osaka mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penyelamatan hingga kepulangan Aldi dengan selamat ke Tanah Air.

Kementerian Luar Negeri RI

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved