Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Buku Gerakan 30 September: Isu Dewan Jenderal jadi Pemicu Utama

Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965

Editor: Aldi Ponge

Dewan Jenderal

Hubungan PKI dengan Bung Karno berubah setelah Bung Karno menderita sakit pada awal Agustus 1965. Ada kekhawatiran, penyakit itu akan berlangsung lama, bahkan permanen.

Strategi PKI yang selama itu memanfaatkan perlindungan Presiden, berubah. Apalagi Angkatan Darat mulai melancarkan tekanan, dan di masyarakat pun demonstrasi anti-PKI bermunculan.

Lantas ada isu Dewan Jenderal: sekelompok perwira tinggi Angkatan Darat akan mengambil alih kekuasaan di saat presiden sakit. Momentum terdekat adalah peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965.

Resah dengan kabar itu, Presiden Sukarno sedianya akan memanggil Menteri Panglima AD Letjen A. Yani pada 1 Oktober untuk membahasnya.

Tapi ada juga informasi, justru PKI yang akan melakukan kudeta. Birgjen Soegandhi yang melaporkan hal itu kepada Presiden Sukarno, justru dimarahi.

Baca: Kisah Pierre Tendean Batal Menikah karena Dibunuh G30S PKI, Ini Sosoknya di Mata Kakak dan Adiknya

Tapi sejarah telah terjadi. Enam orang jenderal, perwira pada Markas Besar Angkatan Darat, dan seorang perwira pertama, diculik dan dibunuh oleh sekeIompok tentara gabungan yang dimotori oleh pasukan Batalyon I Tjakrabirawa pada Jumat dini hari 1 Oktober 1965.

Mereka adalah A. Yani, Suprapto, Soetojo Siswomihardjo, Suwondo Parman, DI Panjaitan, dan MT Harjono. Sasaran utama, Jenderal Abdul Harris Nasution yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) merangkap Menteri Keamanan Nasional pada Kabinet Dwikora pimpinan Presiden Sukarno, justru berhasil lolos.

Tapi putrinya, Ade Irma Suryani, tertembak hingga meninggal lima hari kemudian, dan ajudannya Letnan I (Inf.) Pierre Tendean, diambil sebagai pengganti.

Operasi - yang semula hanya menculik para anggota Dewan Jenderal - itu dinamakan Gerakan 30 September, dipimpin oleh Letkol Untung Sjamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa.

Brigjen Soepardjo adalah Panglima Komando Tempur Siaga II di Kalimantan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia, Letkol Heroe adalah perwira intelijen Angkatan Udara yang secara kebetulan pada hari terakhir Gerakan 30 September diikutsertakan oleh Letkol Untung, sedangkan Mayor Udara Soejono adalah Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan yang berhasil direkrut oleh Ketua Biro Khusus PKI Sjam Kamaruzzaman.

Di tengah jalan, operasi menjadi berantakan karena beberapa jenderal langsung ditembak hingga meninggal. Mereka pun tidak dihadapkan kepada Bung Karno, melainkan dibawa ke Lubang Buaya, wilayah pelatihan sukarelawan simpatisan PKI di daerah Jakarta Timur.

Tujuan operasi makin jauh dari rencana ketika pada pukul 07.00 WIB 1 Oktober 1965, melalui Radio Republik Indonesia, Letkol Untung Sjamsuri berpidato mengenai pimpinan pemerintahan sementara yang dipegang oleh Dewan Revolusi.

Dewan itu berbentuk presidium yang diketuai oleh Letkol Untung, dengan empat anggota: Brigjen Soepardjo, Letkol Udara Heroe, Kolonel Laut Sunardi, Adjun Komisaris Besar Polisi Anwar.

Presiden Sukarno ternyata tidak terlalu terpukul. la menganggap peristiwa itu riak kecil dari luasnya samudera revolusi.  Ditambahkannya, peristiwa itu hanya buah dari konflik internal Angkatan Darat.

Halaman
1234
Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved